Angga menepikan mobilnya ketika sampai di salah satu restoran cepat saji. Dia mengambil langkah cepat masuk ke dalam. Belum sampai setengah jalan, tatapannya mengarah pada sebuah mobil yang sangat familiar terparkir tak jauh di pelataran restoran.
Angga kembali melanjutkan langkah masuk ke dalam restoran. Pandangannya menyapu sekeliling mencari orang yang dia cari. Di sana, tepat di ujung arah jam sembilan orang itu tengah duduk berbincang dengan orang lain yang duduk di hadapannya.
Ponsel Angga berdering. Angga melirik ke layar ponsel nama Monika tertera.
“Ada apa? Kita bicara nanti, aku sedang sibuk!”
“Kau belum menjawab pesanku!”
“Nanti saja, aku harus menutup panggilan ini!”
“Kau sudah tahu pelakunya kan? Katakan padaku!”
“Aku tidak tahu! Aku lagi sibuk, kuhubungi lagi nanti!”
Angga cepat-cepat memutuskan panggilan dan segera mendekat pada orang di ujung sana. Belum beb
Hai readers! Terima kasih yang sudah baca sampai bab ini. Jika ada saran mengenai cerita aku mohon tinggalkan jejak ya, biar kalau ada yang kurang aku bisa buat perbaikan lagi. Tq a lot ^^
Aldebaran menghentikan mobilnya tepat setelah mendengar informasi yang dia dapatkan dari kantor polisi. Saat ini Aldebaran dan Rara baru saja sampai.“Tenangkan dirimu, Pak! Aku yang akan mewakili kemarahanmu!”Aldebaran turun lebih dulu. Langkahnya mengarah cepat masuk ke dalam.“Selamat pagi, Pak Al!” sapa salah seorang petugas polisi.“Apa dia pelakunya?” Aldebaran memandang dingin melihat sosok pria yang tengah menundukkan wajahnya.Rara ikut menoleh. Raut wajahnya berubah, Aldebaran sangat terkejut melihat pria yang berbeda dengan yang dia lihat di restoran kemarin.Dia hanya orang suruhan! Aldebaran memberi isyarat pada Rara bahwa bukan dia pelakunya.“Dasar bedebah! Beraninya kau mau mencelakai aku?!” Aldebaran menarik kerah pakaian pria itu dengan penuh amarah. Beberapa petugas lantas melerai mencoba membuat Aldebaran
Rara baru saja tiba di restoran sesuai janjinya dengan Angga. Aldebaran sengaja meminta Angga untuk bertemu langsung di restoran karena tidak ingin Angga menjemputnya.Aldebaran menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Dari kejauhan Angga melambaikan tangan dengan senyum di wajahnya.Dia terlihat sesenang itu. Bahkan pakaiannya tampak rapi dari biasanya. Gaya rambutnya juga berubah. Apa jadinya jika dia tahu aku bukan Rara. Haruskah aku mengungkapkan identitasku?! Aldebaran tersenyum sendiri membayangkan hal itu jika saja terjadi. Entah seperti apa reaksi Angga nanti.“Kau tampak cantik mengenakan gaun itu, Jihan!” puji Angga merasa senang.Rara hanya membalas dengan senyuman.Tentu saja kau memang harus memuji. Aku sengaja memakai ini untukmu. Aldebaran mencibir dalam hati.Aldebaran memakai gaun pemberian Angga saat ulang tahun Rara sebelum kecelakaan
Aldebaran merebahkan tubuh mungil Rara di tempat tidur. Harinya terasa lelah setelah pulang kencan dengan Angga. Selama mereka jalan berdua tadi, Aldebaran belum mendapat celah untuk mencari tahu soal dalang kejadian yang menimpa Monika. Angga selalu saja bisa menghindari dan terus saja mengalihkan topik pembicaraan.Aldebaran mengembuskan napas panjang sebelum tangannya menggapai ponsel yang sejak tadi bergetar tanpa dihiraukannya. Aldebaran melirik nama kontak yang tengah memanggil di layar.Tanpa waktu lama, Aldebaran menggeser tombol hijau.“Ada apa?”“Aku menemukan petunjuk mengenai pria yang tempo hari berbicara dengan Angga. Mau kukirim alamatnya?”“Kirimkan padaku!”Dion menutup panggilan lalu disusul bunyi notifikasi di ponsel Aldebaran.Aldebaran segera bangkit, dia menyambar cardigan yang dilempar begitu saja di atas sofa, lalu beranjak k
Rara baru saja turun menuju ruang makan. Di sana, keluarga Aldebaran sudah duduk berkumpul untuk sarapan.“Pagi, Al!” sapa Ivanka ramah.Kening Aldebaran berkerut samar. Dia merasa terkejut dengan keramahan Ivanka yang terhitung hanya menyapanya beberapa kali selama Rara tinggal sebagai Aldebaran.Rara tidak menjawab, dia kembali melanjutkan langkah dengan acuh.“Kau baik-baik saja ‘kan, Al?”Aldebaran menghentikan langkah, menoleh ke arah Mahesa dengan tatapan dingin.Seperti yang Ayah lihat. Aku baik-baik saja!”“Ayah sudah dengar dari Angga, kau hampir saja tertabrak dan pelakunya juga sudah tertangkap!”Aldebaran berjalan mendekat, satu tangan ia masukkan ke dalam saku celana.“Kenapa dia berusaha mencelakai dirimu?” tanya Mahesa lagi.“Dari pengakuan pria itu, dia pernah bekerja di sini dan aku sendi
Angga terus saja mondar-mandir sejak tadi. Dia merasa tidak tenang setelah mendengar perkataan Aldebaran. Angga tidak bisa fokus bekerja. Dia harus memikirkan cara untuk mendapatkan bukti itu. Ponsel Angga berdering. Nomor yang sangat ia kenal memanggil. “Kau sudah menemukannya?” “Mereka sudah membawanya!” kata pria itu di seberang sana. “Apa maksudmu? Bukankah sudah kukatakan bawakan padaku apa pun caranya!” Angga meninggikan suara. Dia tampak gelisah merasa kesal setengah mati. “Maafkan aku, aku tidak tahu mereka bisa mendapatkan lebih dulu. Aku tidak menyadari jika selama ini bukti itu ada di sana. Kata petugas yang menemukannya dia memberikan langsung pada pemilik mobil itu!” “Apa? Kapan dia memberikannya?” Angga makin terlihat frustasi. “Dua minggu setelah kecelakaan itu terjadi.” “Dua minggu?!” Raut bingung kembali menyelimuti wajah tampannya. “Baiklah, aku ak
Aldebaran terus melajukan mobilnya. Dia berharap Dion baik-baik saja.Dion kembali menelepon, kali ini Rara yang lebih dulu menjawab.“Kau baik-baik saja?”“Aku tidak apa-apa. Orang yang aku kejar bukan pria itu. Sepertinya dia menyuruh orang lain. Sejak tadi dia hanya membawaku berputar-putar.”“Apa maksudmu orang lain?” tanya Aldebaran.“Aku menyadari itu saat melihat caranya mengemudikan mobil. Dia tidak cekatan seperti pria itu, orang yang saat ini di dalam mobil pastilah orang lain!”“Ada satu hal lagi, dua mobil yang terus mengejarku memintaku menepikan mobil. Begitu aku menurunkan kaca, mereka menatapku heran lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sepertinya mereka salah orang!” kata Dion lagi.Aldebaran menepikan mobilnya. Dia menghela napas.“Baiklah, aku mengerti!” Aldebaran menutup telepon.&ldquo
Kevin yang baru saja sampai di kediaman David berjalan memasuki ruang tamu. Di sana ia mendapati David tengah memandangi Monika yang meratap sedih. “Selamat Sore, Tuan!” sapa Kevin yang sudah berdiri di belakang David. Monika mengangkat muka, mengusap jejak air mata di pipinya. “Apa kau sudah tahu siapa yang mencoba mencelakai, Al? Al tidak tahu rencanaku ‘kan? Dia tidak sempat melihat rekaman kamera ‘kan? Al tidak mungkin curiga padaku ‘kan? Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya ingin mencari perhatiannya. Sungguh aku—“ “Tenanglah! Everything will be fine!” David menyela. Mencoba menenangkan Monika yang tiba-tiba mengalami serangan panik. Monika menyentak tangan David yang memegang kedua bahunya. “This not fine, Dad!” Monika mondar-mandir menggigit kuku jari. “What the fuck was I even thinking!” David mengempas napas dengan lemah. Dia menatap iba melihat Monika merasa tid
David mengamati rumah yang tampak asri dari kejauhan. Sejak satu jam lalu dia sudah berada di sana. David meminta Kevin pergi setelah menyiapkan keperluan yang ia butuhkan.Setelah pertimbangan yang matang, David menjalankan mobilnya mendekat ke sisi bahu jalan tak jauh dari gerbang rumah itu.Di halaman rumah itu, wanita yang tengah ia rindukan selama ini duduk mengurusi bunga-bunga kesayangannya. Tampak wanita itu berseri-seri sesekali merasakan kepuasan ketika mendapati kembang merah muda begitu subur.David turun dari mobil, dia mengenakan kaca mata berbingkai persegi dengan setelan formal yang sangat rapi. Tak lupa ia mampir sebelumnya ke salon merapikan jambang yang tumbuh mengitari area dagu. Wajahnya begitu menawan walau umur tidak muda lagi. David membawa beberapa paper bag di kedua tangannya.Jantung David berpacu dua kali lipat, rasa gugup menjalar menyebar ke seluruh bagian tubuhnya yang ti