LOGINAlister tidak merespons. Tatapannya begitu tajam, Harika merasa kalau dia kucing pasti sudah berubah jadi daging ikan asin saat itu juga.
"Ikut aku ke ruangan!" Aduh. Dengan langkah gontai, Harika menyeret kakinya mengikuti Alister, persis seperti narapidana yang hendak dijatuhi vonis seumur hidup. Begitu masuk ke ruangan, Alister menunjuk kursi di depan mejanya. "Duduk!" Harika langsung menuruti perintah seperti anak anjing yang baru saja ketahuan merobek sofa. Alister duduk di balik meja, membuka laptopnya, mengetik sebentar, lalu memutar layarnya ke arah Harika. "Lihat ini!" Harika menelan ludah. Di layar terpampang email yang ia kirim tadi beserta REPLY-ALL dari para karyawan. Ada yang membalas dengan emoji tertawa. Ada yang menyebutnya "sekretaris paling berani sepanjang sejarah Ardiwijaya Grup." Bahkan ada yang menambahkan, "Setuju banget! Pak Alister memang ganteng, tapi tatapannya serem. Apalagi kalau kita telat submit laporan!" Harika ingin pura-pura kesurupan agar bisa keluar dari situasi ini. Alister menatapnya lama. "Harika." "Ya, Pak?" "Apa aku terlihat seperti juri MasterChef?" Harika berpikir sejenak. "Ehm lebih seperti CEO yang bisa memecat saya kapan saja?" Alister tidak bereaksi. "Kau sadar kesalahanmu?" Harika mengangguk cepat. "Iya, Pak! Saya benar-benar tidak sengaja! Saya lupa hapus bagian itu sebelum mengirim!" Alister menarik napas panjang. "Kau sadar aku harus menghadapi 2000 karyawan yang sekarang membicarakan ini?" Harika semakin merasa bersalah. "Iya, Pak. Saya sungguh minta maaf." Alister menatapnya selama beberapa detik, lalu berkata, "Hapus email itu dan kirim klarifikasi." Harika buru-buru mengangguk. "Baik, Pak! Saya akan segera kirim permintaan maaf!" Secepat kilat, ia keluar dari ruangan dan mengetik email klarifikasi dengan penuh kesungguhan. Dari: Harika Putri Ayyara Kepada: Seluruh Karyawan Ardiwijaya Grup Subjek: Klarifikasi Email Sebelumnya Halo semuanya, Terkait email sebelumnya, mohon maaf atas ketidaksengajaan saya menambahkan komentar pribadi yang seharusnya tidak ada. Itu adalah kesalahan murni dari saya dan bukan representasi dari perusahaan. Sekali lagi, saya sangat menyesal dan akan lebih berhati-hati ke depannya. Terima kasih, Harika Harika menarik napas lega setelah menekan tombol SEND. Satu notifikasi masuk, lalu dua, lalu tiga. Balasan mulai berdatangan. "Kami semua tetap setuju bahwa Pak Alister mirip juri MasterChef!" "Beneran deh, tatapan Pak Alister tuh kayak lagi nilai plating makanan!" "Bos kita ini bisa aja! Meskipun serem, tetep ganteng kok!" Harika menepuk dahinya. YA TUHAN, KENAPA HARI INI MASIH PANJANG?! Ia melirik ke ruangan Alister. Bosnya baru saja menutup laptop dan memijat pelipisnya dengan ekspresi pasrah. Harika menatap langit-langit, bergumam lirih, "Tolong, Tuhan! Jangan biarkan aku dipecat sebelum gajian pertama!" *** Harika bersumpah, hari ini ia tidak akan membuat kekacauan lagi. Cukup sudah insiden email kemarin. Cukup sudah rasa malu yang menjalar ke seluruh penjuru perusahaan. Cukup sudah 2000 karyawan yang sekarang tahu ia menganggap bosnya mirip Gordon Ramsay dan 50 di antaranya yang kini memanggil Pak Alister dengan sebutan Chef Bos. Pagi ini, ia datang lebih awal, duduk manis di mejanya, dan memeriksa daftar tugas dengan penuh keseriusan. Tidak ada kesalahan lagi. Tidak ada kecerobohan lagi. Ia harus menjadi sekretaris profesional yang sempurna! Lalu, ponselnya bergetar. Fenny (HRD): Harika, katanya hari ini Pak Alister mau wawancara dengan calon investor penting. Dia minta kopi spesialnya, kan? Harika terdiam. Ia menoleh ke arah ruangan bosnya. Pintu masih tertutup rapat. Kopi spesial? Oke, ini tugas gampang! Ia bangkit dengan penuh semangat dan menuju pantry. Tapi kemudian, di tengah jalan, sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. Sebentar. Kopi spesialnya itu yang seperti apa? Ia menatap mesin kopi di pantry dengan ekspresi setengah berpikir, setengah panik. Ia mencoba mengingat kebiasaan Alister selama dua hari bekerja. Hitam pekat? Tanpa gula? Dengan susu? Dengan foam? Dengan boba?! Setelah beberapa menit berpikir dan nyaris mengirim pesan ke Fenny tapi gengsinya terlalu besar, ia akhirnya mengambil pilihan aman. Kopi hitam tanpa gula dengan sedikit susu untuk memperhalus rasanya. "Yes! Ini pasti aman!" pikirnya penuh percaya diri. Dengan semangat membara, ia membawa cangkir kopi itu ke ruangan Alister. Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan menemukan bosnya sedang tenggelam dalam dokumen. “Pak, ini kopinya!” katanya sambil menyuguhkan cangkir dengan senyum manis. Alister melirik cangkir itu, lalu mengambilnya tanpa berkata apa-apa. Ia menyesap sedikit. Harika menunggu reaksinya dengan penuh harap. Lalu, Alister berhenti. Ia menatap cangkir itu dengan ekspresi kosong. Harika mulai panik. “Eh, Pak? Gimana kopinya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar. Alister menatapnya selama beberapa detik, lalu berkata dengan datar, “Harika.” “Y-ya, Pak?” “Apa aku terlihat seperti orang yang suka kopi dengan susu?” Harika menelan ludah. Oh tidak. Ia menatap cangkir itu dengan ngeri. “Jadi ini salah?”Acara lamaran akhirnya usai. Satu per satu tamu pamit, suasana rumah perlahan kembali tenang. Sisa gelas dan piring sudah ditumpuk di dapur, bunga-bunga hantaran masih tertata rapi di ruang tamu. Harika langsung lari ke kamarnya, lalu menenggelamkan wajahnya ke bantal. "YA TUHAH MALUUU! Kenapa aku bisa salah ambil kotak onde-onde segala tadi?!" gumamnya dengan suara teredam. Ia menggelundung di kasur, menarik selimut sampai kepala. "Udah kayak badut lamaran, bukan calon pengantin." Suara ketukan terdengar di pintu. "Harika, boleh aku masuk?" Suara itu jelas suara Alister. Harika sontak menegakkan tubuh, wajahnya panik. "Jangan! Jangan masuk dulu! Aku…aku masih trauma!" Pintu pelan-pelan terbuka. Alister tetap masuk dengan ekspresi tenang, tapi matanya penuh senyum yang ditahan. "Trauma? Gara-gara salah sebut nama calon mertua sendiri?" "Pak Alister!!" Harika menutupi wajah dengan bantal. "Jangan diingetin! Aku bisa mati konyol detik ini juga!" Alister berjalan mendekat, dud
Kakek Gunawan mendecak pelan, lalu tersenyum samar. "Akhirnya…." Ratih menoleh cepat. "Ayah tahu soal ini?" Kakek Gunawan mengangguk mantap. "Ya. Beberapa hari lalu aku sudah bicara dengan Tirtakusuma, ayah Alister. Kita sepakat, Harika memang seharusnya berjodoh dengan Alister bukan dengan Adeline." Semua mata langsung membelalak ke arahnya. Harika terperangah. "Kakek?! Jadi selama ini kakek udah atur semuanya di belakang aku?" Kakek Gunawan menghela napas panjang. "Bukan mengatur, menyambungkan yang memang sudah seharusnya. Kamu kira dulu aku diam saja melihat Adeline berusaha merebut tempatmu? Tidak. Aku sudah bicara pada orang tua Alister dan mereka akhirnya tahu bahwa yang pantas mendampingi dia bukan Adeline, tapi kamu." Yudhistira menatap istrinya serius. "Iya, dan itu artinya kita harus menyiapkan diri. Kalau Alister datang bersama keluarganya, ini bukan main-main. Mereka akan membawa rombongan besar." Harika mengangkat kedua tangannya panik. "Hah?! Rombongan besar? Jang
Harika menutup wajahnya dengan dua tangan. "Tolong! Aku nggak kuat lagi hari ini." Alister menoleh sebentar ke arah Fenny dan Januar, nadanya tetap datar. "Kalian terlalu berisik." "Eh, iya, iya, Pak!" Fenny cepat-cepat menarik Januar pergi sambil cekikikan. "Kami nggak ganggu lagi, sumpah. Aduh, tapi sumpah ini kayak drama Korea live action!" Tinggallah Harika yang masih menutupi wajahnya dan Alister yang berdiri di depannya. "Harika," suara Alister merendah hanya untuknya. "Aku serius dengan semua ucapanku." Harika membuka sedikit tangannya, menatap Alister dengan pipi merah merona. "Saya tahu, Pak, tapi jangan bikin saya deg-degan terus begini, saya bisa pingsan." Alister mendekat, lalu menunduk cukup rendah untuk berbisik. "Kalau kau pingsan, aku yang akan menangkapmu." Harika buru-buru menurunkan tangannya dari wajah. "Pak, jangan ngomong begitu, saya beneran bisa jatuh loh." Alister menatapnya lekat, lalu dengan tenang ia mengambil kursi dan duduk tepat di depanny
Suasana ruang rapat langsung meledak lagi. "WAAAAAHHH!!!" Semua staf berdiri, bertepuk tangan, bahkan ada yang bersiul heboh."Harika Putri Ayyara," suara Alister terdengar berat namun hangat, berbeda jauh dari nada galaknya saat rapat. "Aku ingin kau tahu di hadapan semua orang di sini, aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu. Kau satu-satunya yang bisa membuatku marah sekaligus bahagia dalam satu waktu.”Harika tertegun, matanya berkaca-kaca. "Pak, jangan bercanda, saya bisa pingsan di sini lho," suaranya pelan dan bergetar.Alister tersenyum tipis. "Aku tidak bercanda, Harika, jadi maukah kau menikah denganku?""TERIMA! TERIMA! TERIMA!" Suara teriakan karyawan makin heboh. Ada yang sampai menggedor meja, ada juga yang sudah histeris saking gemasnya.Harika mengerjap cepat, pipinya panas luar biasa. Tangannya menutup mulutnya, lalu perlahan ia menunduk menatap Alister yang masih berlutut. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan."Saya takut kalau ini mimpi. Kalau saya jawab iya teru
Senyum tipis terlukis di wajah keras Tirtakusuma. Ia mengangkat tongkatnya, mengetuk lantai sekali, lalu berkata dengan nada menggoda. "Aku kira kau akan berteriak lagi seperti biasanya, tapi rupanya kalau urusannya Harika, kau langsung jinak, ya?"Gayatri tertawa kecil menutup mulutnya, sementara Alister mendengus jengkel. "Ayah, jangan menggodaku seperti itu."Namun pipinya sendiri memanas sebuah reaksi yang membuat ibunya makin tersenyum lebar."Kalau begitu," ujar ibunya lembut, "Mungkin ini pertama kalinya kita benar-benar sepakat dalam urusan perjodohan, ya?"Alister menarik napas panjang, dadanya sekarang terasa lebih ringan. Ia memandang biodata Harika sekali lagi, lalu bergumam hampir tak terdengar."Sepertinya ini memang takdir."Namun kemudian ia menoleh pada ayahnya, tatapannya serius. "Ayah, boleh aku tahu, kenapa kalian menjodohkanku dengan Harika? Kenapa bukan orang lain? Aku perlu tahu alasannya."Ruangan hening sejenak. Tirtakusuma menundukkan wajahnya seakan mencari
Saat Harika sibuk membereskan berkas di mejanya, suara langkah cepat terdengar mendekat."Harikaaaa!"Belum sempat menoleh, Harika langsung dipeluk erat dari samping hampir saja ia terjungkal bersama kursinya kalau tidak cepat berpegangan ke meja."Woi, Fenny! Aku masih hidup, jangan dipeluk kayak boneka stress!" Harika protes sambil terkekeh, tapi matanya berkaca-kaca karena terharu.Fenny memeluknya lebih kencang. "Ya Tuhan, aku kangen banget sama kamu! Kamu nggak tahu selama kamu nggak ada di sini aku kayak kerja di kantor zombie. Semua orang kaku nggak ada yang bikin rame."Harika tersenyum lebar, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Tenang, sekarang aku balik. Aku siap bikin kamu nggak bisa kerja serius lagi tiap hari."Fenny mengusap air matanya lalu mendengus sambil tertawa. "Iya, iya. Aku bahkan sempat ngobrol sama printer saking sepinya, tau nggak?!"Harika langsung ngakak. "Astaga, printer? Terus jawabannya apa? ‘Tolong isi tinta’?!"Mereka berdua tertawa keras sampai beberap







