Hening beberapa saat hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Perlahan Ratih menghela napas panjang, lalu menatap Revan dengan mata masih basah."Kalau bukan karena Harika yang bicara, aku takkan pernah mau mendengar kata maafmu, Revan, tapi untuk malam ini, aku pilih diam bukan karena aku sudah ikhlas, tapi karena aku tak ingin masalah ini merusak anakku lebih jauh."Revan menunduk dalam-dalam, suaranya parau. "Terima kasih, Ratih. Aku tahu ini tidak mudah."Kakek Gunawan mengetukkan tongkatnya pelan ke lantai, kali ini nadanya lebih lembut. "Harika benar. Malam ini kita berhenti saling menyalahkan. Besok kalau perlu kita bicarakan lagi dengan kepala dingin. Sekarang semua orang sudah terlalu lelah."Rendra yang sejak tadi bersitegang hanya bisa mengusap tengkuknya. "Baiklah, kita istirahat dulu. Aku juga takut Harika pingsan kalau tegang begini terus.""Eh, maksudnya aku yang pingsan?"sela Harika polos sambil menunjuk dirinya sendiri.Rendra menatap keponakannya dengan dahi ber
Tatapan Revan hanya tertuju pada sosok Adeline yang sedang ditahan Erwin."Adeline!!" suaranya menggelegar penuh amarah sekaligus kecewa.Adeline yang masih meronta menoleh, wajahnya pucat lalu berubah garang. "Ayah! Mereka semua mau melawanku! Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan! Semua orang selalu salah paham padaku!"Revan maju beberapa langkah, wajahnya tegang. "Kau tidak minum obatmu lagi, ya?!"Adeline membeku. Sekilas ketakutan melintas di wajahnya."Selama ini kau bilang kau baik-baik saja, sudah sembuh, tapi nyatanya kau berbohong! Kau hentikan obatmu sendiri makanya penyakitmu kambuh lagi dan sekarang kau hampir membunuh Harika."Harika menelan ludah, matanya bergantian menatap Adeline dan Revan. Sementara Alister merangkul Harika lebih erat, seolah tak mau melepas.Adeline meraung, suaranya pecah. "Aku benci dia! Semua orang selalu lebih peduli pada Harika! Aku yang sakit, aku yang menderita, tapi mereka selalu membandingkan aku dengan dia!"Erwin menahan Adeline lebih k
Gerbang besar itu terbuka, seorang pria berjas hitam yang wajahnya terlihat tegas dan dewasa keluar menyambut. "Pak Alister?"Alister menoleh. "Erwin."Pria itu tersenyum tipis. “Saya sudah menunggu Anda.""Kenpa kamu bisa tahu ini rumah Harika?" Nada suara Alister ada rasa tidak suka karena Erwin lebih tahu tentang keluaga Harika."Semasa kami kecil, saya pernah diundang ke sini, jadi aku tahu."Alister mengangguk mengerti. Begitu masuk ke ruang tamu, ia langsung disambut Ratih, Rendra, Yudhistira, dan Kakek Gunawan. Wajah mereka semua tegang, jelas-jelas cemas karena Harika yang menghilang."Selamat malam, Pak Alister!" Ratih menyapa dengan suara bergetar. Alister mengangguk dalam, suaranya berat. "Saya sudah dengar dari Erwin, karena itu saya langsung datang. Saya ingin membantu menemukan Harika."Ayahnya Harika menatap Alister lekat-lekat. "Terima kasih! Harika sudah banyak bercerita tentang Anda, tapi sebelum itu mungkin ada sesuatu yang perlu Anda tahu."Alister terdiam. Jantu
Harika menempelkan pipinya ke kaca jendela gudang kosong tempat Adeline mengurungnya. Ia bergumam lirih sambil mengembungkan pipi, "Ya ampun, ini kayak film thriller tapi versi low budget. Mana aku jadi pemeran utama yang nggak dikasih naskah."Pintu berderit, Adeline masuk sambil membawa segelas air. Senyumnya tampak manis, tapi tatapannya menusuk."Kamu pikir bisa lolos dariku, Harika?"Harika langsung cengar-cengir, "Eh, lolos? Siapa juga yang mau lolos. Aku mah lagi staycation. Tuh, lihat!" Ia menunjuk lantai berdebu, "Ini kayak karpet hotel bintang minus lima."Adeline menyipitkan mata. "Kamu selalu bisa membuat orang lain tertipu dengan kelakuan bodohmu."Harika mendecak, pura-pura tersinggung. "Bodoh? Halo, Mbak, ini namanya improvisasi. Kalau aku nggak bodoh, mana bisa bikin orang bingung?"Adeline menghampiri lebih dekat, wajahnya tegang. Harika pura-pura ketakutan, lalu ia tiba-tiba bersin keras. hachiii! Hingga air di gelas Adeline muncrat ke bajunya sendiri."Ya ampun, ba
Alister duduk di ruang tamu rumah besar keluarganya. Hujan gerimis di luar membuat suasana semakin muram. Di depannya, Tirtakusuma, ayahnya, duduk dengan wajah serius, sementara ibunya, menatap penuh tanya. "Ada apa kau datang malam-malam begini, Alister?" suara Tirtakusuma dalam dan mengandung nada ketidakpercayaan. Alister menarik napas panjang. "Aku datang bukan sekadar untuk bicara. Aku ingin kalian tahu kebenaran tentang Adeline." Gayatri berkerut. "Adeline? Apa maksudmu?" Alister mengeluarkan map cokelat besar dari tasnya dan meletakkannya di meja. Tangan ayah dan ibunya refleks menoleh pada map itu. "Adeline bukan seperti yang kalian kira," ucapnya dengan tegas. "Dialah yang menyebabkan dua anak panti itu meninggal. Semua bukti ada di sini. Dia juga mengidap skizofrenia, tapi dia membalikkan fakta, membuat semua orang percaya bahwa justru Harika yang punya penyakit itu." Gayatri langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Tidak mungkin." Tirtakusuma menggeleng pelan,
Ratih menggenggam erat ponselnya yang kini terasa seperti batu. Nafasnya memburu, matanya mencari-cari ke luar jendela, berharap Harika tiba-tiba muncul sambil membawa kantong belanjaan. "Aku nggak bisa duduk diam," katanya lirih Ia meraih jaketnya. "Rendra, ayo kita keliling komplek, tanya orang-orang mungkin ada yang lihat Harika lewat." Rendra langsung mengangguk. "Aku ikut. Kita pisah jalan biar lebih cepat." Kakek Gunawan menahan tongkatnya kuat-kuat, wajah tuanya tegang. "Aku juga ikut. Jangan larang aku! Harika cucuku dan aku tidak akan tinggal diam di rumah menunggu kabar." Ratih sempat ingin membantah, tapi melihat sorot mata keras ayahnya, ia urung. "Baik, tapi jangan jauh-jauh dari aku." Mereka berempat keluar rumah dalam keadaan setengah berlari. Hujan tipis mulai turun, menyisakan aroma tanah basah. Ratih berkeliling dan bertanya pada salah satu warga di sana. "Bu, lihat Harika lewat nggak?" tanyanya kepada seorang ibu yang sedang menyapu teras. Ibu itu menggeleng.