Tatapan Weni menerawang jauh ke atas, ia kini tengah menatap langit-langit kamarnya. Rasa sesak yang terus saja dirasakannya hari ini tak kunjung hilang. Terlebih saat tadi ia beberapa kali mengajak Rena pulang tapi terus di tolak, ia akan pulang saat Ayahnya pulang. Hal itu membuatnya mendapat cacian dari keluarga Haris. Weni bahkan bisa mendengar bisik-bisik tetangganya yang mengatakan bahwa dirinya tak becus merawat satu anak saja. Entah bagaimana sang tetangga tahu, tapi yang pasti Weni kembali di hakimi. Hanya satu kesalahan, membuatnya terlihat jelek Dimata siapa pun. Hanya goresan kecil, tapi seakan itu adalah goresan yang besar. “Kenapa semua jadi seperti ini?” gumam Weni yang terus saja tak mendapatkan jawaban apa pun atas pertanyaannya. Ia mencoba menutup matanya, berharap semua bisa lebih tenang. Berharap perasaan dan pikirannya kembali berjalan dengan baik. Seharian ia tak makan, bahkan tak merasakan lapar. Namun tenaganya terus terkuras dengan kegiatan rumah tanggany
“Mamah!” teriak Rena dengan berlari kecil ke arah Weni yang sudah siap menyambut kedatangannya. Rena memeluk Weni dengan linangan air mata, entah apa yang tengah dipikirkan Rena. Tapi Weni dapat merasakan keresahan anak semata wayangnya itu, tanpa berkata ia tahu bahwa Rena merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. Weni memeluk erat Rena seakan mengatakan bahwa tidak apa-apa, ia tidak marah dan kini memaafkannya. Rena yang bisa memahami Ibunya itu pun kembali menangis dengan keras, membuat ulasan senyuman di wajah Weni. Tapi tidak dengan Haris, ia sudah siap marah kembali dengan Weni. Ia bersumpah akan memberikan pelajaran lebih pada wanita yang kini cukup membangkang dengannya. “Rena ....” “Rena sudah makan?” Weni mencoba mengalihkan pembicaraan, tak mau anaknya semakin larut dalam sedihnya. Ia juga tahu bahwa sepenuhnya itu bukan salah Rena seorang, ada dirinya juga yang salah. “Sudah,” jawab Rena. “Baguslah, sekarang Rena tidur ya. Ini sudah malam,” pinta Weni dengan bai
Weni menatap ponsel lamanya, ia bingung bagaimana bisa menghubungi Hajoon. Pasalnya ia sendiri tak memiliki nomor Hajoon yang bisa di simpan, kecuali di aplikasi tersebut. Setelah terbangun dari pingsannya, hal pertama yang dilakukan Weni adalah mencari ponsel lamanya. Ia terus mengotak-atik sebisa yang ia bisa. Namun karena ketatnya aplikasi tersebut, ia tak bisa masuk ke beda perangkat. Weni tak memedulikan luka-lukanya, ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan Haris pada ponselnya. Ia yakin Hajoon mengiriminya pesan dan hal itu membuat Weni tak kunjung memikirkan apa yang terjadi. Bahkan rasa sakit yang sesekali menyerang tak ia hiraukan, tapi hasilnya adalah nol besar. Satu-satunya cara Weni hanya bisa meminta tolong pada Mila, karena Mila memiliki aplikasi yang sama dengannya. “Mbak?” Mila terkejut dengan kedatangan Weni yang sangat jarang terjadi, terlebih di malam yang cukup larut dengan penampilan yang cukup berantakan. Meski ia tahu bahwa Wanita yang lebih tua darinya itu
Setelah menerima panggilan dari orang yang dinantikannya Weni segera menjemput Rena kembali. Hajoon memintanya untuk ikut bersama pria suruhannya dan tentu Weni akan menurutinya.Bisa dibilang Weni sudah mencapai titik batas kesabarannya, ia kini tak akan memedulikan apa pun. Yang dibutuhkannya adalah pria asing tak di kenalnya itu, mungkin terdengar gegabah hanya saja pikiran itu yang kini terlintas di benak Weni.“Mbak mau ke mana?” tanya Mila sat melihat Weni yang rapi seakan ingin pergi untuk waktu lama.“Aku hanya akan pergi sebentar bersama Rena, kalau Mas Haris menanyakan Mbak. Kamu bilang tidak tahu ya,” pinta Weni pada satu-satunya orang yang kini bisa ia percaya.“Tentu. Mbak tidak usah memikirkan di sini, Mila juga akan mengabari semua yang terjadi di sini.”Weni menggenggam tangan Mila, matanya menyorot penuh terima kasih pada Wanita muda di hadapannya. “Mbak pastikan akan membalas semuanya,” ucap Weni.Mila membalas genggaman tangan Weni dan mengangguk diiringi senyuman t
Hari demi hari berganti, Weni suah berada di rumah barunya selama 3 hari bersama Rena. Rena tidak rewel sedikit pun, ia justru menikmati fasilitas yang di dapatkannya dari Hajoon.Bahkan tanpa dipungkiri Weni juga ikut merasakan itu, ia cukup bebas dan nyaman. Dirinya tak perlu tertekan dengan Haris ataupun keluarganya, Weni menikmati kegiatannya sebagai seorang wanita dengan penuh kedamaian.Weni tak tahu apa yang terjadi di luar sana, terlebih tentang apa yang akan terjadi antara Haris dan Hajoon. Dirinya hanya mengandalkan kabar dari Mila, tapi yang di tunggu tak juga mengabarinya.Ia akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan Hajoon, untuk tetap di rumah dan mengikuti semua arahan yang diberikannya. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Mamah, Rena mau makan.” Rena menarik baju Weni yang kini tengah menikmati secangkir teh di sofa yang nyaman. Bukankah itu terlihat elegan, ia bahkan tak pernah berpikir meminum teh di ruang tengah dengan menonton televisi akan senyaman ini.“Rena
“Weni Anggara, menikahlah denganku.”Hajoon kembali melontarkan ajakannya pada Weni yang sejak tadi terdiam dan tak kunjung merespons ucapannya. Weni terlihat terkejut, hanya saja matanya berkata lain. Mata seorang Wanita yang tengah bahagia karena apa yang dinantikannya kini menjadi kenyataan.“Apa aku masih kurang baik untukmu? Katakan apa yang membuatmu ragu menjawab ajakanku?” tanya Hajoon mencoba membuat Weni yakin akan dirinya.Weni yang ditanya hanya terdiam, ia merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk memantapkan diri. Ia juga sangat penasaran pria seperti apa sebenarnya Park Hajoon yang selama ini ia kenal, masih banyak yang tak ia ketahui tentang pria di hadapannya.“Aku belum tahu banyak tentangmu, itu yang membuatku ragu.” Weni berbicara dengan mantap, terlihat Hajoon tak memperlihatkan keterkejutan akan pernyataannya.Hajoon memegang kembali pipi Weni dan tersenyum lembut. “Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui untuk aku bisa bersamamu?”Deg! Pertanyaan itu
Weni terbangun dengan pantulan cahaya yang cukup terang menembus kelopak matanya yang tertutup, membuat tidur nyenyak terusik. Dengan malas ia membuka mata, tubuhnya terasa tak nyaman. Rasanya ia menghabiskan seluruh tenaganya semalam.Memikirkan apa yang semalam terjadi, Weni dengan segera membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya hanya tertutup selembar selimut tebal. Tubuhnya kini tanpa busana, ingatan akan semalam terpampang jelas di pikirannya.Semalam adalah malam terpanas untuknya, setelah sekian lama ia merasakan kenikmatan yang tak pernah di rasakannya selama berumah tangga dengan Haris. Ia tak tahu bahwa melakukannya bisa membuatmu mabuk kepayang.“Sedang memikirkan apa?” bisikan lembut tepat di sampingnya membuat Weni terkejut dan menarik selimutnya.“Ha-Hajoon ....”Pria dengan wajah tampan itu segera membuat jantung Weni tak karuan. Terlebih saat Hajoon tersenyum manis dan mencubit pipi Weni lembut.“Apa semalam aku terlalu berlebihan? Kamu sampai pingsan da
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan