Share

bab5

"Denger dulu, Num. Aku bisa jelasin." ucapnya mencoba untuk menyabarkanku. Shanum menangkis tangannya. Shanum mencoba untuk memukulnya lagi. 

"Dengerin dulu." ucapnya seraya memegang tangannya yang tidak bisa diam ingin memukul atau mencakarnya. 

"DENGERIN DULU!" teriaknya tiba-tiba yang langsung membuatku terpatung dan bungkam karena rasa kagetnya. Bahkan baru kali ini dia membentak Shanum seperti itu.

"Semua berawal sejak desember tahun lalu dan perempuan ini adalah Ghea dan dia bukan pelakor. Aku beberapa kali udah pernah ketemu Ghea sebelumnya bersama Gavin, mereka sering mengunjungi rumah sakit tempat aku dinas. Tapi hubungan kita waktu itu enggak lebih dari sekedar seorang Bapak dan anaknya. Lalu suatu hari aku melihat Ghea nangis di rumah sakit, ya aku pun nyamperin dia. Katanya dia baru kehilangan kakeknya yang sakit, yaudah aku temenin dia, nyabarin dia dan bayarin semua tunggakan rumah sakitnya karena dia bilang, dia enggak ada uang buat bayar tunggakan pengobatannya. Ya mulai dari sana aku jadi respek sama dia." ucap Mas Jaka panjang lebar. 

Shanum tertawa mentah. "Ya terus maksud kamu nganterin dia tiap pagi ke kampus itu apa?! Bagian dari rasa respek kamu?!" tandasnya.

Mas Jaka tampak merasa bingung. "Iya ini bagian dari rasa respek aku ke dia." ucapnya terpaksa.

"Lho kan ada Gavin?! Kenapa kamu enggak suruh Gavin aja buat anter jemput dia?! Kenapa harus kamu?!" tandasnya seraya menunjuk ke arahnya.

"Itu karena.." dia menggantung perkataannya dan tampak bingung untuk mengutarakan itu lewat mulutnya.

"Karena apa?!"   

"Karena Gavin enggak bisa ngertiin dia dibanding aku!" tandasnya. Shanum tertawa mentah. "Apaan? Aku enggak salah denger? Memangnya apa yang bisa kamu ngertiin dari dia? Oh atau sekarang kamu menganggap dia bukan hanya sebagai pacar anakmu? Melainkan--"

Dia memotong perkataan Shanun. "Ya, aku suka dia. Dulu memang aku menganggapnya sebagai pacar anakku tapi sekarang aku menganggapnya lebih dari itu. Aku ingin dia jadi istri keduaku." jelasnya tidak tanggung-tanggung. Shanum melotot marah dan kembali akan memukulnya. Namun ia menahan tangan Shanum.

"Plis Num, kamu harus ngerti. Dia membutuhkan seseorang sepertiku." ucapnya semakin memacu kekesalanku. 

Shanum kembali mencoba memukulnya berkali-kali namun tangannya terlalu keras dan kuat memegangnya. Wajahnya merah, ia kesal, ia benci, iamengamuk, ia menjerit.... ia menangis.

Ya Allah kenapa ada orang seperti dia di dunia ini...

Kenapa tujuh belas tahun berlalu tapi akan berakhir setragis ini?

Beberapa tahun yang lalu.

Gavin dan mas Jaka mencoba untuk pergi memancing menghabiskan waktu liburnya ini di sebuah danau. Lumayan katanya, disana ada banyak ikannya apalagi habis hujan seperti ini, tadi malam hujan deras. Airnya biasa meluap dan ikan juga sering muncul ke tepian.

"Pah, banjir gak ya disana?"

"Tahu ya, emang kenapa kalo banjir? Kamu bukannya biasa ngobak haha?" tawanya.

"Ya kali, emang Gavin masih bocah. Vin males kalo harus banjir-banjiran. Kalo emang bener banjir balik aja lagi ya?" tanyanya.

"Kita liat nanti ya?" ucapnya. Gavin pun terdiam.

Sesampainya di penjual makanan ikan, ia pun turun dari motor bersama Gavin. Ia masuk ke dalam kios itu lalu bertanya banyak.

"Pak, ada pelet sama kroto?" tanyanya.

"Maaf Pak lagi kosong." ucap penjual yang sedang melayani pembeli itu.

Rasanya mereka agak kesiangan

Ia mendekati Gavin yang sibuk berdiri diluar, duduk di motor.

"Gak ada Vin umpannya. Pakai cacing kamu mau kan?" tanyanya. Gavin menggidik.

"Hih, ogah deh Pah." ucapnya.

"Kamu nih, laki-laki masa takut sama cacing." ucap mas Jaka.

"Enggak Pah, Gavin takut. Jangan cacing deh." ucap anak semata wayangnya itu.

"Yaudah Papa aja yang mancing nanti. Kamu diem aja jongkok disamping Papa, jangan lupa abis jongkok disiram." ucapnya sambil nyengir.

"Apaan si Pah, emang lagi berak." ucapnya, aku tertawa saat dia memperjelas hal itu.

Tiba-tiba muncul seseorang mendekati mereka, menjadi orang ketiga diantara mereka, ia adalah...

Gadis sepantaran Gavin yang sangat cantik ketika mas Jaka pandang lekat. Ghea. Gadis berambut hitam panjang dengan poni yang dijepit ke samping.

"Itu adalah pertemuan pertama kami. Mataku sepanjang melihatnya bahkan tidak rela berpaling."

"Gavin memiliki teman perempuan secantik ini? Hebat sekali dia. Pasti belajar dari aku itu."

Ghea tersenyum padanya menyapa lalu setelahnya berbicara pada Gavin sambil ikut tersenyum ke arahnya.

"Ngapain disini?" tanyanya seraya membawa sekantung plastik yang ia kira itu sayur.

"Lagi beli umpan ikan sama Bapak gue." ucapnya tersenyum akrab. Ghea mengangguk.

"Kamu sendiri ngapain disini?" tanyanya.

"Aku habis dari pasar, belanja sayur." ucap Ghea.

"Oh, mau gue anter gak sampai rumah?" tanya Gavin. Mas Jaka berasa dikacangin, maksudnya dia berniat meninggalkan dirinya gitu disini dan membawa motornya?

"Lah Vin, Papa ditinggal?" tanyaku.

"Cuma bentar Pah. Nanti balik lagi kesini." ucap Gavin.

Ghea merasa tidak enak. "E-enggak usah Vin, aku lagi olahraga kok ini. Kalo nanti naik motor, aku jadi enggak keluar keringat." dalihnya.

"Oh gitu. Yaudah deh." ucap Gavin. Ghea pun berangsur pamit. "Aku pulang dulu ya? Dah. Misi Pak." pamit Ghea pada Gavin dan mas Jaka. Kami saling tersenyum melepasnya.

"Itu siapa Vin?" tanyanya penasaran.

"Pacar dong." ucapnya bangga. Mas Jaka tersenyum mentah lalu mengacak rambutnya.

"Dasar, belajar dari mana kamu pacar-pacaran. Ketahuan ibumu baru tahu rasa kamu." ucap mas Jaka seraya ngeloyor ke dalam kios lagi.

"Itu adalah awal pertemuanku dengan Ghea. Aku yang berstatus sebagai ayah dari pacarnya pun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anakku terkait hubungan antara ia dan Ghea.

Tidak ada yang aneh, bahkan aku merasa jika Gavin sangat tidak bisa diprediksi, bisa memiliki pacar secantik itu. Tidak tahu jika... didepan semua pemikiranku itu akan berubah."

Seringnya mas Jaka bertemu dengan Ghea entah kenapa membuat semua pemahamannya berubah semenjak hari itu.

Mas Jaka sering berpapasan dengannya entah saat sedang membeli sayur, membeli obat di apotek, di pasar atau dirinya yang sedang berjualan takjil didepan sana.

Mas Jaka yang kasihan padanya karena dagangannya tidak laku sering sekali memborongnya.

Dan dia hanya mengucap terima kasih, sembari tersenyum.

"Aku tahu kita hanya sebatas itu."

Di bulan Agustus, mas Jaka dengan tanpa sengaja bertemu dengan Ghea lagi. Tepat di sebuah rumah sakit yang ketika itu mas Jaka sedang bertugas untuk sementara disana.

"Untuk tiga bulan ke depan aku akan sering mengunjungi rumah sakit itu untuk melaksanakan pekerjaanku."

Saat itu mas Jaka tak sengaja melihat Ghea sedang menangis di kursi tunggu sana. Menyendiri, memeluk diri, menangisi banyak hal dengan wajah tertutup tangan.

Ia terlihat sangat putus asa ketika itu. Mas Jaka agak skeptis antara ingin mendekat atau tidak, karena ia tidak terlalu yakin apakah itu benar pacar anakku.

Namun ia agak kasihan juga melihat dia menangis seperti itu, mau dia Ghea atau bukan Jaka tidak perduli. Mas Jaka pun menghampirinya.

"Kenapa, Dek?" tanyanya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status