[Aku lagi di Hotel Anggrek sama Mas Razan, datang aja kalau kamu penasaran, aku akan kasih kamu kejutan hari ini] Pesan itu di kirim oleh nomer tak di kenal. Aku sudah bisa menebaknya jika itu mungkin saja adalah nomer Sabrina.Dengan tangan mengepal aku berjalan cepat mencari taxi. Tak lama, setelah taxi datang aku memasukinya. Tak ku hiraukan teriakkan Dicky yang memanggil namaku berkali-kali. Aku masih kesal padanya, bukan karena apapun. Tapi dari ucapannya itu kini pikiranku semakin kacau.Setelah tiba di hotel yang di maksud aku segera menghampiri resefsionis hotel yang menolak untuk memberikan informasi mengenai keberadaan suamiku. Pesan itu jelas sekali memberikan aku informasi keberadaan Mas Razan saat ini, aku juga melihat ada beberapa barang Mas Razan dalam foto yang baru saja di kirim oleh nomer tak di kenal itu."Saya mohon Mbak, saya istri dari Pak Razan dan saya juga berhak mengetahui dimana keberadaan dia sekarang, jika dia sedang berada di hotel ini, bukankah saya jug
"Amira, sini bantu Mamah membuat kue untuk acara syukuran nanti malam," kata Mamah Rani padaku yang mulai tersadar dari lamunanku."Eh, iya, Mah," segera aku bangkit menghampirinya yang sedang berada di dapur."Memangnya nanti malam akan ada acara syukuran apa?" tanyaku pada Mamah Rani sambil membantunya."Adalah, kamu akan tahu sendiri nanti," jawabnya sambil tersenyum."Mamah selalu saja buat Amira penasaran," ucapku sambil tersenyum karena merasa sudah di jahili olehnya.Mamah Rani terkekeh. "Namanya juga surpise," katanya sambil terus melanjutkan pekerjaanya.Melihatnya tersenyum membuatku merasa senang. Karena baru beberapa menit yang lalu Mamah terlihat murung karena kondisi Papah Andri yang tiba-tiba drop harus terbaring di atas ranjang.Papah Andri tiba-tiba saja mengalami struk saat aku datang untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku dan Mas Razqn. Padahal aku belum berbicara apapun, ku lihat Mamah Rani dan Kak Nita tengah berada di dekat tubuh Papah
Wajah Mas Razan terlihat gugup saat aku tanyai dia. "Eu, enggak, Mas gak terkejut kok," jawabnya kembali mengekpresikan wajahnya seperti biasa."Kapan kamu datang kesini?" tanya Mas Razan."Sudah lama," jawabku singkat."Hallo, sayang, Mamah kamu kemana? Kok kamu sama Tante Amira? Sini biar Om gendong kamu ya," kata Mas Razan pada Farel yang tersenyum melihatnya.Sakit sekali melihat hal itu, hatiku tercabik-cabik merasa menjadi seorang yang bodoh menyembunyikan rasa sakit ini. "Sini biar Mas yang gendong Farel," kata Mas Razan.Aku memberikan Farel padanya lalu berniat pergi. Tapi Mas Razan mencegahku dengan pertanyaannya."Mau kemana?" tanyanya."Ke dapur, bantuin Mamah," jawabku singkat juga."Bikinin Mas kopi hitam, antarkan kesini sekarang, udah lama Mas gak minum kopi buatan kamu," perintahnya yang segera aku anggukkan lalu aku pergi tanpa berkata apapun lagi.Sampai di dapur Mamah Rani masih sibuk membuat kue. Entah kejutan apa yang akan dia berikan untukku."Kamu mau buatkan k
"Mau kemana lo jam segini hujan-hujanan? Pake berdiri di pinggir jalan segala lagi," cerocos Rinjani."Mau ke rumah Mamah Rani, Mas Razan..., Mas Razan nyuruh aku datang lagi kesana," aku menjeda ucapanku karena mengigil.Tiba-tiba Daniel melepas jaketnya, dia memakaikannya ke punggungku. Reflek aku menoleh padanya."Pakai saja, nanti kamu sakit!" katanya."Modus lo Daniel!" kata Rinjani yang sekarang sedang mengemudi. Tak ada suara dari mulutnya seperti biasa. Dia diam saja, entah apa yang sedang di pikirkan. Biasanya Daniel banyak bicara, tapi kali ini dia diam saja."Kenapa?" tanyanya saat menoleh ke arahku yang memandangnya.Mungkin dia merasa sedang di tatap olehku yang tak sadar terlalu lama memandangnya dengan berjuta pertanyaan dalam hati."Ti-tidak apa-apa," jawabku gugup juga kedinginan.Tak seharusnya kami berdekatan di saat seperti ini. Tapi apa mau di kata, dia begitu baik padaku. Dan lagi hubungan kami hanya sebagai teman saja. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai
Setelah acara syukuran itu selesai, suasana mulai sepi kembali. Hanya kami sekeluarga, juga Daniel dan Rinjani yang masih mengobrol di ruang tamu sambil menikmati hidangan makanan dari Mamah Rani."Kalian sudah menikah?" tanya Mamah Rani pada Daniel dan Rinjani."Kita ini sepupuan Tante, bukan pasangan suami istri wkwkkwk," jawab Rinjani sambil tertawa."Oo.. sepupuan ya, kirain saya kalian ini suami istri, maaf ya, saya gak tahu," ucapnya."Gak apa-apa Tante, bukan cuma Tante aja kok yang suka berpikir seperti itu, orang-orang juga ngiranya kita pasangan suami istri karena suka kesana-sini bareng," jawab Rinjani.Aku hanya diam saja, seperti Daniel yang hanya diam tak banyak berkata. Aku meliriknya yang kemudian melirikku, pandangan kami beradu, tapi aku segera menyudahinya. Takut dosa, karena dia bukan muhrimku."Amira, Kakak mau bicara sama kamu!" Kak Nita tiba-tiba saja datang.Aku pamit permisi pada mertua dan juga temanku, saat hendak pergi, Mamah Rani mencegahku."Amira, Nita,
"Syukurlah kalau kamu sudah tahu semuanya Amira, Kakak tidak perlu repot-repot buat pura-pura lagi sekarang!" teriak Kak Nita saat aku berjalan meninggalkan mereka.Tak ku hiraukan teriakannya itu, aku berjalan melewati ruang tamu. Lagi, kini malah Rinjani yang menghentikan langkahku."Amira! Lo mau kemana?" tanya Rinjani bangkit lalu menghampiriku."Rinjani!" ucapku menangis langusng memeluknya eurat."Ada apa Mir? Apa yang terjadi?" Rinjani terdengar panik, sedangkan Daniel hanya menatap kami dengan penuh pertanyaan di wajahnya."Ayok kita pergi dari rumah ini," ucapku lagi setelah melepas pelukkanku."Tapi, bukannya kita mau nginap di si...,""Jangan sok dramatislah Amira, lagian kamu juga udah tahu tentang ini sejak lama kan?" suara Kak Nita kembali terdengar.Dia datang lalu berdiri memberi jarak cukup jauh dengan kami. "Apa maksud Kalak aku dramatis hah?! Kakak merasa bangga sekarang? Apa Kakak merasa puas sekarang sudah menghancurkan rumah tangga adik kandungmu sendiri, di mana
"Tumben lo gak banyak bacot Niel?" tanya Rinjani pada Daniel yang kini hanya diam sambil memainkan nasi menggunakan sendok, dia melirik sekilas ke arah Rinjani lalu kembali memainkan nasi. "Rinjani, aku mau berangkat kerja dulu, maaf aku ngerepotin kamu ya," ucapku lalu bangkit. "Ah, elu, kayak sama siapa aja, lo boleh tinggal di sini sampai kapanpun, jangan sungkan-sungkan, anggap aja ini rumah lo sendiri, oke?" Rinjani tersenyum sambil membentuk jarinya berhuruf membentuk huruf "O"."Kalau gitu, rumah ini bisa aku jual dong, hehe...," kataku bercanda agar suasana tak terasa kaku."Yey...janganlah, ini kan rumah kontrakan, nanti gue yang di marahin ma yang punya," jawab Rinjani.Setelah cukup lama berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bekerja. Aku juga berniat akan menjenguk Papah Andri yang katanya sedang di rawat di rumah sakit. ***********Setelah sampai di rumah sakit, aku meminta izin ke pada kepala kebersihan untuk menjenguk Papah mertuaku di ruangannya. Untung
"Baik, Mah," ucapku sambil pergi menuju ruanganku setelah mendapat teguran dari ibu mertuaku.Terpaksa aku menuruti keinginannya karea tak mungkin aku menolaknya. Mamah Rani adalah putri tunggal dari Kakek Fatih, pemilik rumah sakit yang baru-baru ini mengganti namanya dari RS.BAKTHI menjadi RS.FATIH. Untuk mengenang kepergian mendiang Ayahnya, Mamah Rani sengaja mengganti nama rumah sakit itu. Dia mempunyai wewenang yang begitu besar atas rumah sakit itu, karena hanya dialah satu-satunya putri pewaris dari Kakek Fatih.Sudah lama aku menunggu taxi datang tapi lagi-lagi selalu saja taxi tak datang saat tengah di butuhkan. Karena tak ingin berlama lagi menunggu, aku segera menaiki bis untuk pulang ke rumah.Beberapa bayangan kejadian semalam bermunculan mengelilingi otakku. Aku sadar sekarang, tak ada gunanya lagi aku menangis walaupun masih selalu ingin begitu. Percuma saja, semuanya memang sudah terjadi, sesuai firasatku waktu itu.Ting!Sebuah pesan muncul di layar Handphoneku. Aku