"Mas kangen banget sama kamu," ucapnya lembut seakan melupakan wajah monsternya yang dia perlihatkan tadi siang padaku."Aku haus Mas, aku mau ambil minum dulu," kataku beralasan karena malas sekali harus berbicara dengannya.Tanganku malah di tarik oleh Mas Razan, lalu dia mendudukkanku di pangkuannya."Jangan bersikap selerti itu, kamu masih istri Mas Amira, dan kamu wajib menuruti permintaan Mas," katanya sambil memandangku."Apa Mas masih menganggap Amira sebagai istri Mas setelah apa yang Mas lakukan itu....," Mas Razan sengaja membungkam mulutku dengan bibirnya. Aku tak bisa berkata apapun lagi, malam ini dia begitu ganas menjamahku. Sebagai seorang perempuan dan masih memiliki ikatan pernikahan dengannya, aku tak bisa menolak permintaan suamiku meski hartiku begitu sakit.Mas Razan melakukan kewajibannya lagi senagai suami ke padaku. Rasanya aneh sekali, karena sudah lama kami tak melakukannya, juga perasaanku yang kini merasa berat hati. Berjuta pertanyaan muncul dalam hati y
"Hai, apa kabar Moy?" sapanya sambil mengulurkan tangan padaku setelah dia duduk di sampingku."Aku baik, jangan panggil aku dengan sebutan itu, gak enak dengar orang," protesku yang malah membuat Rama tertawa."Hahaha..., itu kan sebutan sayang dariku waktu kita masih pacaran dulu," ujarnya sambil terkekeh. "Kamu sudah menikah?" sambungnya.Aku mengangguk mengiyakan tanpa membalasnya dengan ucapan. "Suami kamu mana? Kok kamu sendirian?" tanyanya kepo sekali."Ada di rumah, maaf ya Rama, aku gak bisa lama-lama di sini, gak enak di lihat orang. Ada keperluan mendadak juga," aku bangkit yang segera di cegah olehnya."Tunggu dulu Amira!" panggilnya saat aku hendak melangkah."Iya? Ada apa?" tanyaku menoleh."Tunggu sebentar, kebetulan kam ada di sini, aku mau ngasih undangan buat kamu, tunggu sebentar ya, gak akan lama kok," katanya sambil pergi entah kemana.Beberapa menit kemudian dia kembali sambil membawa sepucuk surat undangan di tangannya. "Ini undangan buat kamu, jangan lupa dat
Aku membalikkan badan karena tak ingin Mas Razan melihatku. "Amira, kenapa?" tanya Rinjani mengguncang lenganku."Amira!" panggilan dari suara yang tak asing itu membuatku kembali membalikkan badan."Iya?" jawabku pada Rama yang repot-repot berjalan menghampiriku padahal tadi ku lihat dia ada di dekat pintu masuk."Terimakasih sudah datang ke acara pesta ini. O, ya, suami kamu mana?" tanya Rama sambil mengedarkan pandangannya ke arah belakangku.Sontak saja aku dan Rinjani saling berlirikkan. Tidak mungkin aku mengatakan jika orang yang baru saja berjabat tangan dengannya itu adalah suamiku. Sedangkan di sana dia membawa Kak Nita untuk hadir di acara pesta."Eu...,""Dia lagi sakit ambeyen, jadinya suami Amira gak bisa datang!" Rinjani memotong ucapanku. Entah harus marah atau tertawa saat mendengar alasan yang dia katakan.Buk!Aku menepuk lengannya, membuatnya meringis. "Aw! Sakit Mir!" katanya."Kalau begitu silahkan masuk, sekalian aku juga mau ajak kamu buat silaturahmi bertemu
"Dan ingat Mas! Aku mengenakan gaun ini bukan untuk menjajakan diri ke pada laki-laki lain, bukan ingin di fuji oleh mereka juga. Aku mengenakannya karena sudah lama baju ini berdiam diri di lemari. Bukankah kamu tidak pernah mengajakku ke acara pesta seperti ini? Selalu saja kamu membawa wanita lain untuk menghadiri pesta apapun!" sambungku lagi dengan penuh emosional."Kamu sudah berani melawan Mas, Amira! Baru saja kita akur, kamu selalu saja membuat Mas emosional!" dalihnya mengkambing hitamkan aku."Ayok kita pulang Rinjani!" aku menarik tangan Rinjani."Mas belum selesai bicara!" kata Mas Razan.Tak aku gubris ucapannya itu. Memasuki mobil yang di kemudikan oleh sahabatku. Berusaha menulikan telinga dari panggilan Mas Razan yang tak berhenti memanggil namaku."Apa yang sebenarnya terjadi Mir?" tanya Rinjani sambil mengemudi sesekali melirikku yang sudah berderai air mata."Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan di rumah," jawabku."Maaf ya, tadi aku gak ikut kamu ke atas, Si Raz
Merasa tak enak jika harus terus menolak permintaannya. Aku terpaksa mengiyakan saja. Lagi pula cuma sebentar saja, beberapa menit kemudian aku akan segera pamit pergi.Rama keluar dari kamar yang aku tempati setelah mendapat panggilan telpon dari seseorang. Sedangkan, Nenek Aletta masih tetap setia menemaniku.Seorang pelayan datang membawa beberapa buah-buahan segar lengkap dengan segelas susu hamil di atas nampan."Ini, Nyonya," ucap pelayan sambil menaruh buah-buahan segar itu di atas nakas."Iya, silahkan kamu kembali ke belakang," kata Nenek Aletta.Dia mengangguk sambil pergi. Nenek Aletta mengambil buah apel dengan sebuah pisau kecil. Dia mengupasnya sendiri. "Kamu minumlah dulu susumu selagi hangat, tadi Nenek menyuruh pelayan untuk membeli susu hamil di toko terdekat, sambil menunggu buahnya Nenek kupas, kamu minum susu dulu," kata Nenek Aletta seolah berbicara dengan cucu sendiri. "Tidak usah Nek, biar Amira saja yang mengupasnya." Aku mengambil apel beserta pisau di tang
~~ POV Razan ~~"Nih, asuh anak kamu, aku mau shoping dulu!" kata Nita sambil menyerahkan Farel yang menangis histeris padaku yang tengah duduk santai menonton tv."Nit, kamu kok malah shoping terus sih?" tanyaku tak suka dengan sikapnya yang tidak sopan."Aku mau cari udara segar, suntuk, bosan juga di rumah terus. Ngurusin anak tuh capek, aku butuh merefresh otak biar gak gila!" jawabnya yang makin hari makin ngelunjak saja."Kenapa gak sambil kamu bawa aja Farel jalan-jalan? Dia juga pasti bakal seneng kalau di bawa jalan-jalan," balasku berdiri mengayun-ayun putraku yang masih menangis."Itu namanya bukan merefresh otak Mas! Sama aja enggak, kalau bawa dia keluar, aku kan pengen me time!" jawab Nita sambil merapikan rambutnya yang bergelombang sehabis perawatan dari salon kemarin."Dari tadi kan Farel di asuh sama Bi Darmi, kok jadi kamu yang capek, banyak alasan terus kalau mau keluar rumah, selalu aja Farel yang jadi alasannya. Selalu aja beralasan capek ngurusin Farel." Ujarku
~~ POV Razan ~~Berbekal dengan sebuah aplikasi pelacak aku bisa menemukan keberadaan Nita sekarang. Aku masih berdiam diri di mobil untuk memastikan kebenaran orang yang kini berada di sebuah butik itu memanglah dia.Lama aku mengintainya, tak ada yang aneh dari sikap Nita. Dia terlihat senang sekali saat memilih beberapa baju. Aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. Aku juga tersenyum saat melihatnya begitu bahagia. Tapi, seketika senyumku sirna saat melihat ada seorang pria yang kini tengah berdiri di belakang istriku. Ku amati dengan jelas perawakkannya yang tinggi, wajahnya tak jelas karena dia mengenakan masker dan topi berwarna hitam.Sesekali Nita tersenyum melirik ke arahnya seakan tengah meminta saran untuk baju yang dia pilih."Siapa sebenarnya laki-laki itu?!" tanyaku pada diri sendiri dengan tangan mengepal.Ku perhatikan terus Nita dari balik kaca mobil. Dia keluar dari butik itu sendirian tanpa laki-laki tadi."Kemana laki-laki itu?" gumamku sambil mengedarkan pandanga
"Bahkan kamu tidak tahu kalau aku sekarang sedang mengandung anakmu Mas! Tapi, kamu malah menceraikan aku tanpa alasan yang jelas, semoga kamu tidak menyesal suatu saat nanti sudah memilih orang yang salah!" ujar Amira membuat langkahku terhenti."Itu cuma akal-akallan dia saja Mas, biar kamu kembali minta rujuk!" hasut Sabrina padaku. Aku menoleh ke arah ke arah Sabrina lalu pergi begitu saja meninggalkan rumah yang selama ini selalu aku rindukan tapi enggan untuk aku mendatanginya.**********Sekian lama aku dan Sabrina mengasuh Farel bersama di rumah. Meski sudah ku suruh pulang, Sabrina tetap menolak. Dia lebih suka bermain bersama Farel karena dia bilang tak ada guna di rumah sendirian."Ini uang buat kamu karena sudah menjaga Farel seharian ini, anggap saja ini imbalan dariku, maaf cuma sedikit," ucapku setelah hari sudah sore saat Sabrina akan pulang."Tidak usah Mas, lagi pula aku seneng kok bisa bantu jagain Farel, kapan-kapan hubungin aku aja ya, kalau kamu butuh jasa baby s