Sumpah kali ini aku nggak bisa tenang, aku nangis di dalam kamar akibat kejadian barusan yang bikin aku yakin 80 % kalau mereka ada hubungan. Ya allah, sumpah aku belum sanggup kalau ternyata mereka memang ada hubungan. Aku belum mempersiapkan apapun jika aku berpisah dengan Mas Fahri.
"Dinda Sayang, maaf kalau Mas bikin kamu marah. Mas janji, Mas nggak akan nawarin tebengan lagi sama Miska." Suamiku ngehampiri aku tapi mama mertuaku, mama mertuaku malah mampir ke rumah si jendes kegatelan itu. Dadaku makin sesak, sekelebatan aku membayangkan mereka ngapain aja di dalam mobil. Lihat jendes itu turun sambil dadah-dadah saja bikin aku mau muntah, apalagi membayangkan yang lain-lainnya. "Kamu sama mama kayaknya akrab banget sama Mbak Miska, coba sekarang bicara jujur sama aku. Kalian sebenernya udah kenal lama kan?" Kedua netra Mas Fahri natap mataku lekat-lekat, lalu bibirnya perlahan menyungging. Tangannya terulur rapiin anak rambutku lalu ngaitin ke telinga. "Kata siapa udah kenal lama, Mas nggak deket sama dia. Mama juga nggak, Mama cuma suka sama anaknya aja, nggak lebih ko Sayang. Kamu ko akhir-akhir ini sensi banget sama Miska. Kenapa sih?" Apa aku bicara saja sekalian sama suamiku soal pembelian tas seharga dua puluh juta itu mumpung momentnya pas. Siapa tahu dia mau jujur. "Aku sensi Mas, aku nemuin sms banking kamu atas pembelian tas seharga dua puluh juta. Siapa yang udah kamu beliin tas? Bukannya Mas bilang kalau keuangan perusahaan sedang tidak sehat, Mas juga bilang uang tabungan juga kepakai buat nutupin bisnis kamu yang lain. Aku juga nggak maksa kamu nunjukkin kartu ATM kamu karna saking percayanya aku sama kamu. Tapi tas itu, itu tas siapa?" Mas Fahri malah terkekeh, lalu cubit hidung aku gemas. "Mas lupa bilang sama kamu, itu tas punya istrinya Topan. Kamu tau Topan kan? Istrinya ulang tahun, nah pas Topan beli, uangnya nggak ada di ATM, makanya pinjem saldo Mas. Udah balikin ko, Sayang. Jadi karna ini kamu uring-uringan terus, kenapa nggak nanya sih?" Pinter banget sih kamu ngebohongnya, Mas. Cuuiih sampai kapanpun aku nggak akan percaya sama buaya darat macam kamu. "Kenapa? Kamu masih nggak percaya?" Aku menggeleng, jelas aku nggak percaya. Ku buka galeri ponselku dimana aku sudah SS Bukti statusnya Miska tentang tas barunya. "Istri Topannya Mbak Miska yang kamu maksud, Mas?" Sambil kuarahkan layarnya ke muka dia. "Ko jadi Miska?" Sumpah suamiku ini tulalit banget sih, apa dia nggak baca caption yang ditulis jendes itu di bawahnya. "Mbak Miska nulis kalau dia dapat hadiah tas dari suaminya dan statusnya itu berbarengan dengan tanggal pembelian tas di mbanking kamu, Mas!" Di sini jelas sekali aku udah nuduh suamiku yang ngasih, biar tahu dia mau jawab apa. "Ya mana Mas tau, Dinda. Mungkin aja cuma kebetulan, dia dikasih tas sama suaminya." "Lalu suaminya siapa?" "Ya mana Mas tau Dinda, ko kamu jadi gini sih?'" Aku ngusap wajahku kasar, lalu narik napas dalam-dalam. Ternyata suamiku ini nggak mau ngaku rupanya. "Kalau kamu nggak percaya, kamu tanya sendiri sama orangnya. Kamu tanya Miska, apa Mas yang udah ngasih tas itu sama dia," titah suamiku yang jelas bikin aku senang. "Ya udah ayo, kita tanya sama-sama. Biar aku tenang, Mas juga tenang." "Kamu yakin mau tanya sama Miska?" "Ya kan Mas yang nyuruh, gimana sih." Kutarik tangan suamiku keluar dari rumah. Biarinlah di sana ada Mama mertuaku, paling Mama mertua bakalan ceramah panjang kali lebar dan bilang nggak sopan loh ke rumah orang nuduh-nuduh, udah di luar kepalaku banget. Kulirik wajah suamiku yang pasrah saat kugelandang ke rumah si jendes itu. Saat di depan pintu rumahnya, kusuruh Mas Fahri yang pencet bel, sedangkan aku berada di balik punggungnya yang lebar dan bidang. "Sebentar..." Suara seseorang berteriak dari dalam dan pintu terbuka. "Eh Mas... Rel ada Papa nih.." Seketika tanganku mengepal mendengar Mbak Miska nagsih tahu anaknya kalau ada 'Papa'. "Papa siapa Mbak?" Raut wajah Mbak Miska mendadak pucat saat aku muncul dari balik punggungnya Mas Fahri, Mama mertua yang muncul dari dalam rumah juga sama piasnya lihat aku ada di depan pintu. "Ahh... kirain papanya Aurel. Maaf ya Dinda." Wajah pura-pura Miska terlihat menyebalkan buatku, ingin sekali kusiram wajahnya dengan air keras. "Mis, Dinda mau ngomong sama kamu," kata suamiku mengalihkan ketegangan yang terjadi barusan. "Bentar Mas.. Mbak. Aku mau tanya, Mbak bilang tadi kirain Papanya Aurel? Bukannya pas lihat Mas Fahri di depan pintu, Mbak udah tau kalau yang datang itu Mas Fahri? Kenapa malah ngasih tau Aurel kalau itu papanya?" "Aduh Dinda gitu aja ko sewot, wajar lah kalau orang salah-salah." Mama mertua mengintrupsi bikin darahku makin menggelegak marah. "Ma, yang menantunya Mama itu siapa sih? Dinda apa Mbak Miska? Ko Mama belain Mbak Miska terus. Heran deh." Mama mertua terlihat gelagapan, kulihat jendes itu juga lirik Mama dengan ragu. "Mama cuma menengahi nggak bermaksud apa-apa ko, Dinda. Kamu malah ngomong kayak gitu sama Mama, nggak sopan itu namanya," tegur mama. "Dinda, udah ya. Kita lupakan aja, Ma, ayo pulang. Bukannya Mama besok mau pulang? Mama harus packing dari sekarang," ujar suamiku bikin aku sudah nggak mood lagi buat nerusin rencanaku buat introgasi jendes itu. ***Pak Raga terlihat sedikit terdiam saat mendengar pertanyaanku.“Saya kenal Miska karena kami masih ada hubungan keluarga. Dia sepupu jauh saya,” ucapnya dengan nada tenang, tapi cukup mengejutkan buatku.Deg.Aku refleks meneguk ludah. Mataku melebar, tak percaya dengan jawaban itu. Jadi... mereka masih ada hubungan saudara?“Serius, Pak? Maksudnya... kalian itu masih keluarga?”Raga mengangguk pelan. “Iya. Nggak dekat banget sih, saya ngerasanya kayak gitu.”Astaga. Kalau begitu...Kepalaku mendadak dipenuhi banyak skenario. Kalau aku dekat dengan Pak Raga… pasti Miska nggak akan suka. Wanita itu nggak pernah suka kalau ada sesuatu yang bukan miliknya ikut disentuh orang lain. Bahkan kalau hanya sebatas perhatian.Diam-diam muncul ide kecil dalam benakku. Mungkin... aku bisa memanfaatkan kedekatanku dengan Pak Raga untuk membalas dendam ke Miska. Bukan dengan cara jahat, tapi biar dia tahu rasanya tersisihkan.***Keesokan harinya, setelah Pak Raga pulang dan aku sedikit merasa lebih
Mataku seketika melebar kala melihat Mas Fahri tiba-tiba saja menarik kerah kemejanya Pak Raga. Spontan aku yang tadinya menjauh seketika berlari demi menghindari agar Mas Fahri tidak melakukan hal gegabah. Nahas, kakiku terkilir kemudian aku jatuh dan saat itu juga bokongku terasa sakit sekali apalagi pergelangan kakiku yang terkilir.Dua lelaki yang tadinya beradu pandangan tajam lantas menolong, terutama suara Pak Raga yang menyebut namaku."DINDA!" Suara yang aku tahu kalau nadanya seperti nada kekhawatiran."Aaww..." Bukan cuma bokong dan pergelangan kakiku saja ternyata yang sakit, kram cukup hebat menerjang perutku. Membuatku kesakitan sekali."Dinda.." Samar kulihat dan kepalaku pusing sekali, entah semuanya mendadak gelap dan aku tidak tahu apa-apa lagi setelah itu. *Bau desinfektan, aroma karbol khas rumah sakit tertangkap hidup saat mataku membuka. Tirai putih di sekelilingku dan tanganku yang sudah ditusuk jarum infus menyadarkanku kalau saat ini aku sedang berada di r
POV DindaLama-lama kehamilanku ini malah tambah parah rasanya, mulai nggak bisa semua makanan aku nikmati dan aku juga nggak bisa menerima bau-bauan yang hinggap ke hidungku. Rasanya tuh mual dan lama-lama mau muntah. Sepertia saat ini, tetiba wangi parfum yang malah bikin kepalaku pusing. Wanginya nggak nyengat, nggak terlalu strong, manly tapi herannya nggak bisa aku terima dan lebih kagetnya kala mendapati bahwa Pak Ragalah pemilik wangi itu. Beliau ada di depan kubikel aku, spontan aku lirik teman-teman timku takut ada yang salah paham melihat 'kedekatanku' dengan Pak Raga."Din, sarapan dulu." Beliau nyimpan sesuatu, kotak makanan karena aromanya tercium nikmat. Kayanya enak, lagian kebetulan belum sempat sarapan."Buat saya Pak?" tanyaku sok pura-pura."Menurutmu buat siapa? Nggak ada orang lain lagi di ruangan ini."Ya karena memang cuma baru beberapa yang datang, itupun mereka lagi di pantry, biasalah sarapan, ngopi sambil gosip.Pak Raga tergolong bos yang rajin, masih ada
"Jadi Raga lagi deket sama janda?" Tante Nelly kelihatan termenung, pasti pikirannya sudah terkontaminasi oleh ceritaku tentang si Dinda."Iya Tan, Tante coba deh bicara baik-baik sama Raga. Masa iya seorang Raga bisa sama janda kaya perempuan itu, dia perempuan nggak punya Tan. Rumahnya aja ngontrak, terus bukan dari turunan keluarga yang selevel dengan keluarga Tante. Ya Miska cuma menyayangkan aja, kasihan nanti kalau Om sama Tante harus malu pas kabar ini sampai ke kolega atau rekan bisnis kan."Perlahan Tante Nelly nggangguk, yes aku rasa misiku sudah hampir berhasil. Aku yakin banget setelah ini Raga nggak akan pernah kelihatan atau terdengar dekat lagi sama Dinda.Kami cukup lama ngobrol hingga akhirnya aku bisa lihat Raga keluar dari kamarnya di lantai atas, lah aku kira Raga sudah berangkat ke kantor tapi rupanya dia masih ada di rumah. Wah bisa-bisa nanti dia curiga sama aku lagi."Hai Ga.." Tanganku melambai nyapa dia yang menghampiri kami."Hai Mis, tumben..""Iya nih, kan
"Gimana, lo udah berhasil ngerjain si Dinda?" Kesal juga menunggu cukup lama di depan gerbang rumah.Sejak aku tahu kalau dia tinggal di perumahan itu, aku jadi punya ide buat ngerjain dia. Minimal bikin dia takut dan akhirnya nggak betah tinggal di Jakarta. Aku nggak mau yah kalau Mas Fahri nyamperin dia dengan alasan-alasan lain. Seperti kayak tempo hari, suamiku minta diantar buat urusan surat cerai. Padahal tinggal minta pengacara saja buat urus semuanya bikin hatiku ketar-ketir nggak jelas. "Berhasil Bos, cuma.." Orang suruhanku natap aku dalam-dalam kayak ada yang janggal."Saat kami mau masuk ke rumahnya, di rumah sebelahnya kayak masih rame Bos. Untungnya kami nggak jadi aksi, soalnya nggak lama setelah itu kami lihat ada mobil mewah datang pas kami udah kabur naik motor.""Mobil mewah?" Keningku mengernyit dalam, mobil siapa yang dia maksud itu."Iya Bos, kami nggak tau siapa yang ada di dalamnya karna kami langsung kabur dari perumahan itu."Penuturan anak buahku bikin aku
Sekelebatan dua orang tadi terlihat lagi, keduanya naik motor dengan mesin yang tidak dinyalakan. Aku nggak salah lagi, jelas sekali mataku ini melihat kedua orang yang lari dari arah rumahku menuju tempat gelap dimana motor mereka berada.Diiringi ketakutan akibat mati lampu, mau tak mau memberanikan diri menyalakan meteran listrik di luar sana. Kalau tidak kan listrik di rumahku bakalan mati sampai pagi, anehnya pos ronda yang tak jauh dari rumah kelihatan sepi kalau biasanya ada yang jaga sampai subuh. Sayup-sayup terdengar suara deru mesin mobil makin dekat dan tak salah lagi, mobil yang aku kenali parkir di depan rumah. Itu mobilnya Pak Raga, ada apa coba datang lagi malam-malam begini? Bikin aku was-was disamperin bos di waktu yang kurang wajar."Dinda, kenapa listrik rumahmu mati? Apa tokennya mati?" Kulihat Pak Raga menghampiriku yang memang belum sempat menyalakan meteran listrik. Pun saat baru akan aku jawab, tetangga sebelah rumah keluar dan bertanya dengan suara nyaring.