"Hei, mentang-mentang kamu yang cari uang kamu bisa menghinaku? Dosa kamu menolak ajakan suami!" sentak Sunan marah. Emosinya memuncak, harga dirinya terluka.
"Lihat dulu siapa suaminya! Kalau mau aku mengiyakan ajakan kamu dengan senang hati, cari dulu uang untuk melunasi hutang kamu! Setelah kamu mendapatkan uangnya, mau sampai besok aku bersedia. Sudahlah, Mas. Aku lelah. Aku mau tidur. Kalau mau berantem, besok saja!" Saquyna membanting gelasnya lalu meninggalkan suaminya. Sunan tidak bisa berkutik! Dia bertahan demi uang yang Saquyna janjikan. "Kalau aku kaya, aku nggak bakal menikahimu!" Di balik pintu kamar, Saquyna menangis dalam diam. Telapak tangannya menggenggam kartu hitam Gusti. Tiba-tiba saja dia ingin melampiaskan emosinya pada Gusti. Apa pria itu ada di rumah? Tapi Saquyna baru saja dari rumah pria itu. Apa yang akan dipikirkan oleh Gusti kalau tahu dia tiba-tiba datang? 'Saquyna, Saquyna. Bisa nggak kamu mengesampingkan emosimu dan diam di rumah? Harga dirimu di atas segalanya. Datang ke tempat pria malam-malam begini, apa yang akan pria itu pikirkan?' Pikiran Saquyna bergejolak. Dia akhirnya melingkupi tubuhnya dengan selimut dan memejamkan matanya. °°° "Kamu terlihat lebih segar hari ini, Sa. Cerita dong! Aku penasaran," ucap Mayang dengan senyum dikulumnya. "Nggak ada. Hanya mencoba untuk melepaskan beban." "Kamu boleh kalau mau pinjam uang sama aku, Sa. Berapapun akan aku pinjamkan," kata Mayang sembari duduk. Saquyna menyelesaikan pekerjaannya, lalu mengambil uang. "Aku kembalikan uang yang kamu bayarkan pada penagih hutang waktu itu, May." Mayang secara halus menolaknya, "Jangan! Kamu gunakan saja untuk kebutuhan kamu yang lain. Soal waktu itu gampang. Kita kan teman." Saquyna menyusupkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke dalam genggaman tangan Mayang. "Nggak. Kamu terima ya. Meskipun teman, aku tahu batasannya." "Tapi, kamu dapat uang ini dari mana? Maaf kalau aku menyinggungmu," balas Mayang. "Seseorang yang baik hati memberikan pinjaman yang nggak sedikit. Lebih baik aku meminjam uang di satu tempat untuk menutupi hutang-hutang suamiku yang lain, dari pada aku dikelilingi para penagih hutang itu. Aku sangat berterimakasih karena kamu mau membantuku, May," jelas Saquyna. Mayang dengan enggan menerima uang tersebut. Dalam benaknya dia sangat penasaran siapa orang yang dimaksud oleh Saquyna. Setahunya mengajukan pinjaman besar juga menggunakan jaminan besar. Mungkin saja Saquyna menggunakan jaminan rumahnya untuk mengajukan pinjaman itu. °°° [Kamu ambil hanya dua puluh juta? Cukup?] Saquyna mengangguk meskipun dia tidak perlu melakukannya. [Iya. Untuk saat ini yang paling mendesak hanya itu] [Lalu pinjaman yang lain? Kamu boleh mengambil lima kali lipatnya, Sa. Saya nggak keberatan. Kamu juga harus mengambil jatah mingguan kamu. Belilah pakaian baru] [Saya nggak akan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Saya sudah tegaskan bahwa saya meminjam uang bukan meminta secara cuma-cuma] [Kenapa kamu keras kepala sekali? Ada jalan mudah tapi kamu gunakan jalan yang sulit] Saquyna mengulum senyum. [Sudah dulu. Suami saya sudah pulang] [Lelaki brengsek mana yang baru pulang jam segini?] Saquyna tidak tahan untuk tidak tertawa. [Saya sangat suka ketawa kamu. Bisakah kita bertemu besok?] [Untuk apa?] [Adegan ranjang] Cess!!! Ada selentingan dingin memacu jantung Saquyna untuk bergetar. Wanita itu mulai berpikir yang tidak-tidak. Ketika dia ingin membalas ucapan Gusti, pintu kamarnya terbuka dengan paksa. "Dasar istri bodoh! Suami pulang bukannya buka pintu malah teleponan!" bentak Sunan. Saquyna buru-buru memutuskan sambungan teleponnya karena takut Gusti mendengar umpatan Sunan. "Sabar, Mas! Aku sedang menghubungi ibu." "Halah, alasan! Mana ada ibu telepon malam-malam. Sini! Biar aku periksa! Siapa tahu kamu selingkuh!" Sunan mengambil paksa ponsel Saquyna dan memeriksa panggilan keluar. Nama yang tertera memang ibu mertuanya. Saquyna tentu tidak bodoh. Dia tidak mungkin menyimpan nama Gusti pada kontak ponselnya. Pria itu mengembalikan ponsel Saquyna dan menerjang istrinya dalam sekali sentakan. "Malam ini pokoknya aku minta jatah. Enak saja kamu mengabaikan aku. Buka baju kamu!" °°° Saquyna merasakan pegal-pegal karena semalam Sunan sangat menggebu untuk menyentuhnya. Dia bahkan baru bisa tidur jam satu dini hari. Pagi ini, Saquyna pergi bekerja seperti biasa. Yang membuatnya lebih tenang karena tidak ada penagih hutang yang menganggu kehidupannya. "Sa, mau delivery nggak? Pakai mobil toko. Aku sudah membeli satu mobil pick up khusus untuk pengiriman besar. Di sini yang bisa pegang setir mobil hanya kamu. Jadi, pekerjaan kamu bertambah sedikit nggak apa-apa kan? Nanti kalau aku udah merekrut karyawan laki-laki, kamu nggak perlu delivery lagi," jelas Mayang yang sedang meneliti nota pembelian sekaligus memberi intruksi pada Saquyna. Wanita itu tersenyum senang karena pembelian melalui pesan W******p lumayan banyak. "Aku berikan bonus buat semuanya kalau bulan ini bisa tembus di angkat lima ratus." Semua karyawan bersorak karena kebijakan yang baru diterapkan oleh Mayang. Tidak terkecuali Saquyna. "Ini alamat pengirimannya," ucap Mayang sembari mengangsurkan nota pembelian sekaligus alamat. "Perumahan Elite Senja Indah nomor sembilan." Bukannya itu perumahan milik Gusti? Tapi nama pemesannya bukan Gusti melainkan Aji. °°° "Biarkan barang itu di sana. Kamu masuk saja!" tukas Gusti begitu melihat Saquyna hendak menurunkan barang. Tanpa melewati teras rumahnya, Gusti mengisyaratkan Saquyna untuk masuk. Saquyna mengikuti permintaan Gusti karena dia tahu tujuan Gusti membeli semua barang-barang itu. Dia mulai terbiasa masuk ke area pribadi Gusti. Kakinya melangkah santai dengan tatapan datar. Meskipun jantungnya berdetak tidak karuan, Saquyna tidak memperlihatkannya. Gusti menutup pintu utama. Napasnya tidak sekedar hanya memburu tapi menahan untuk tidak langsung menyergap Saquyna. "Suami kamu berulah semalam?" tanyanya geram. "Hanya meminta jatahnya." "Sampai berapa jam?" Saquyna tahu dia harus menutupinya, jadi dia sedikit berbohong. "Hanya satu jam." "Bohong!" "Saya jujur," ucap Saquyna. Dia melihat ke arah lain karena Gusti terlalu menekannya. Dia agak khawatir melihat sikap pria yang menjadi selingkuhannya itu. "Kenapa? Kenapa tiba-tiba pesan barang? Bukannya kita janji bertemu sore?" "Saya nggak bisa menahan diri. Dari semalam saya memikirkan hal terburuk yang bisa suami kamu lakukan. Saya sangat ingin mendatangi kamu tapi saya nggak bisa melakukannya. Sialan!" umpat Gusti. Saquyna kebingungan. Kenapa Gusti bisa semarah itu? Padahal Sunan adalah suami sah Saquyna. Sunan berhak menuntut hak dari Saquyna. Apapun yang dilakukan Sunan selama masih wajar, Gusti tidak bisa protes. "Sunan masih suami saya jadi wajar kalau dia meminta jatahnya. Kamu nggak perlu marah. Ingat, hubungan kita hanya hubungan atas dasar kesenangan saja," tukas Saquyna. Gusti tahu tapi dia tidak bisa membiarkan wanita disakiti. Perlahan tapi pasti, Gusti mendorong tubuh Saquyna hingga mencapai dinding. Kemudian bibirnya mulai mengecup bibir Saquyna. Hanya kecupan kecil yang membuat alam bawah sadar Saquyna tersengat. "Kalau mau stop, kita stop di sini! Tapi kalau kamu mau lebih, saya akan membawamu ke ranjang!" Saquyna menutup matanya. Otaknya berpikir keras. Gusti benar-benar menggoda hatinya. "Sebaiknya kita ... stop!" °°°"Stop? Kamu yakin?" tanya Gusti dengan sorot mata bingung. Bukannya mereka baru memulai? "Saya perlu berpikir lagi apakah yang kita lakukan ini benar. Soal uang yang saya pinjam, saya akan ganti pelan-pelan. Tapi untuk hubungan ini, saya ingin memikirkannya dengan serius," ucap Saquyna pelan. Dia merasa sudah menipu dan memanfaatkan Gusti. Ketika Saquyna mendadak diterkam oleh pria itu, pemikirannya malah tertuju pada Sunan. Suaminya memang sering membuat masalah tapi suaminya sangat setia padanya. Gusti melepaskan pandangannya pada Saquyna dengan tidak rela. Dia mengangguk samar kemudian, "Baiklah."°°°Penolakan Saquyna pada Gusti tidak membawa dampak apa-apa. Wanita itu tetap hidup dan bernapas sembari melakukan kegiatan sehari-hari. Sunan seperti biasa, hanya tidur di rumah lalu bermain bersama teman-temannya jika sudah lelah. Saquyna mencoba untuk menerima kekurangan suaminya. Dia tidak ingin bertengkar atau membuat suasana rumah menjadi lebih tidak kondusif. Dia juga belajar
"Hei, mentang-mentang kamu yang cari uang kamu bisa menghinaku? Dosa kamu menolak ajakan suami!" sentak Sunan marah. Emosinya memuncak, harga dirinya terluka."Lihat dulu siapa suaminya! Kalau mau aku mengiyakan ajakan kamu dengan senang hati, cari dulu uang untuk melunasi hutang kamu! Setelah kamu mendapatkan uangnya, mau sampai besok aku bersedia. Sudahlah, Mas. Aku lelah. Aku mau tidur. Kalau mau berantem, besok saja!" Saquyna membanting gelasnya lalu meninggalkan suaminya. Sunan tidak bisa berkutik! Dia bertahan demi uang yang Saquyna janjikan. "Kalau aku kaya, aku nggak bakal menikahimu!"Di balik pintu kamar, Saquyna menangis dalam diam. Telapak tangannya menggenggam kartu hitam Gusti. Tiba-tiba saja dia ingin melampiaskan emosinya pada Gusti. Apa pria itu ada di rumah? Tapi Saquyna baru saja dari rumah pria itu. Apa yang akan dipikirkan oleh Gusti kalau tahu dia tiba-tiba datang? 'Saquyna, Saquyna. Bisa nggak kamu mengesampingkan emosimu dan diam di rumah? Harga dirimu di ata
Putaran sembilan puluh derajat itu sanggup membuat bir kaleng dalam genggaman Saquyna terlepas. Wanita itu mendelik begitu bibirnya disapu bersih oleh bibir Gusti. Tidak rakus, juga tidak pelan. Seimbang. Membuat Saquyna mulai membandingkan kelihaian Sunan dan Gusti. Jujur, ciuman Gusti lebih membuatnya terbang ketimbang ciuman suaminya sendiri. Atau mungkin efek hubungan diam-diam yang akan mereka jalani nanti? "Aaa," pekik Saquyna ketika Gusti menggigit bibirnya. Gusti melepaskan ciumannya dan tertawa keras. "Itu hukuman karena kamu nggak mau buka mulut. Padahal tanggung banget."Muka Saquyna memerah. Bagaimana bisa dia semudah itu menerima ciuman Gusti? Mereka baru bertemu untuk membahas perselingkuhan mereka tapi dia sudah diserang. Gusti memungut bir kaleng yang terjatuh tadi, lalu mengambil minuman rasa lain di dalam kulkas untuk diberikan pada Saquyna. "Jangan memaksakan diri. Saya tahu kamu nggak bisa minum bir."Gusti menarik Saquyna untuk kembali duduk. Kali ini Gusti se
"Saya?""Kenapa? Saya lihat kamu ingin mencobanya saat mengajukan pertanyaan tadi. Benar kan?"Saquyna tak menampik. Dia ingin mencoba melakukan sesuatu yang lebih menantang agar isi kepalanya tidak melulu soal hutang suaminya dan permasalahan rumah tangganya. "Saya perlu berpikir," ucap Saquyna lirih. Gusti memberikan kartu namanya pada Saquyna. "Hubungi saya jika kamu sudah membuat keputusan."Saquyna hanya mengangguk. "Turunkan saya di perempatan saja."°°°"Sa, uang bulanan ibu dan bapak belum kamu transfer ya? Makanya ibu ke sini karena token listrik mau habis. Bisa-bisa nanti malam ibu nggak bisa tidur kalau lampu tiba-tiba padam," ucap wanita paruh baya yang sudah duduk manis di ruang tamunya, Ainun, ibu mertua Saquyna yang sifatnya melebihi orangtuanya sendiri. Saquyna menghela napas panjang. "Apa aku dan mas Sunan sudah nggak punya privasi, Bu? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini?""Kalau bilang untuk apa? Kamu juga nggak di rumah. Sunan juga paling lagi main di lua
"Kalau mau bunuh diri, jangan merepotkan orang!"Suara bariton yang menusuk gendang telinga Saquyna terdengar nyaring. Wanita itu seketika membuka matanya. Tatapannya tertuju pada pria berpakaian santai lengkap dengan topi putih dengan logo sebuah merk. "Siapa yang merepotkan? Saya bunuh diri nggak minta ditolong kan? Lagian kenapa anda repot-repot menarik saya?" sentak Saquyna yang kemudian menjauh dari pelukan ringan pria itu. Pria itu menghembuskan napas kasar. "Saya juga nggak mau repot dan nggak perlu repot. Tapi karena mbak ada di depan mata saya, mau nggak mau saya menolong. Dikiranya saya yang mencelakai mbak kalau ketahuan diam."Apa-apaan ini? Kenapa Saquyna harus sial sekali lagi? Bukannya dia melompat untuk melepaskan semua kesialan itu? Ya Tuhan, haruskah Saquyna berterimakasih atau malah mengumpat? "Maaf," balas Saquyna pelan. Dia menunduk sedih kemudian berbalik. Dia harus kemana? Kembali ke toko jelas bukan pilihan terbaik. Kalau kembali ke rumah pun nasibnya tidak
[Brengsek! Bayar hutang kamu yang sudah menunggak dua bulan atau aku tagih ke rumah kamu!]Untuk ke sekian kalinya Saquyna menerima pesan singkat dari seseorang yang tidak dia kenal. Sebelum pesan itu mampir ke ponselnya, lebih dulu puluhan panggilan masuk membuatnya frustasi. Wanita itu sedang sibuk dengan nota-nota pembelian dari customer yang harus dia rekap setiap harinya ketika ponselnya terus menerus berdering. Awalnya dia pikir pesan itu hanya pesan spam yang mencoba untuk menerornya. Tapi kenyataannya, pesan itu pesan sialan yang harusnya ditujukan untuk suaminya. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Tiga bulan adalah waktu yang singkat untuk saling membahagiakan pasangan masing-masing. Tiga bulan yang penuh keromantisan dan trik ranjang yang sanggup memuaskan pasangan. Tiga bulan yang harusnya belum mengungkapkan jati diri sebenarnya dari pasangan. Tapi? Kenyataannya baru satu minggu menikah, Saquyna sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri seberapa besar hutang suam