Malam ini Tamara berdandan sangat cantik. Ia ingin menunjukkan kepada Hendra bahwa selingkuhannya itu sangat tidak pantas jika dibandingkan dengannya.
"Tamara, kamu ini cantik sekali. Tapi sayang, mata suamimu itu buta. Dia lebih memilih wanita jelek itu daripada kamu." ucap Tamara kepada dirinya sendiri. Wanita itu keluar kamar dan menuruni tangga untuk menuju dapur. Ia ingin memakan salad sayur buatannya sendiri. Sekitar pukul 21.00, Hendra baru pulang ke rumah. Saat itu Tamara sedang menyiapkan irisan daging untuk dimasak esok hari. "Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahatlah di kamar." Bi Asni berdiri disamping majikannya. "Tidak perlu Bi, saya juga bosan diam saja. Mata ini sakit kalau terus-terusan melihat layar komputer. Jadi besok Bibi tinggal masak daging yang saya iris ini ya?" Jawab Tamara. "Baiklah Nyonya, kalau Nyonya butuh sesuatu... panggil Bibi saja ya?" Tamara mengangguk singkat. Gerakan tangan Tamara semakin melambat saat terdengar langkah kaki yang sudah pasti milik Hendra. "Tamara, kamu disini ternyata." Tamara menggenggam pisau itu erat-erat, matanya menajam lurus kedepan. Suara itu terdengar menjijikan ditelinganya, padahal kemarin ia masih menyukai suara itu. Hendra tidak bisa melihat ekspresi wajah sang istri, Karena posisi Tamara adalah membelakangi Hendra. Tamara pun membalikkan badan, saat itulah ekspresinya langsung berubah. Ia tersenyum sangat manis. "Mas? Baru pulang?" tanya Tamara dengan lembut. "Iya sayang, kamu kenapa malah di dapur? Seharusnya suruh saja Bi Asni, kan dia pembantu disini." “Aku sendiri yang sedang ingin di dapur. Kamu jangan menyalahkan Bi Asni dong mas!" Hendra gelagapan, sifat asli yang selama ini ia tutup-tutupi hampir saja muncul. Bagi Hendra, seorang pembantu adalah orang rendahan dan tidak pantas untuk dibela. Sedangkan bagi Tamara, Bi Asni sudah seperti keluarganya sendiri. "A-ah iya sayang, eumm... apa ada makanan? Aku sedang lapar sekarang." Hendra mencoba mengalihkan topik. "Baiklah, duduklah dulu. Biar aku hangatkan lauknya." Tamara menyiapkan makanan untuk Hendra layaknya seorang istri yang sangat berbakti. Padahal nyatanya wanita itu menahan rasa jijik yang amat sangat besar. Dengan setia Tamara menunggu Hendra selesai makan, ia juga yang mencuci piring-piring kotornya. "Tamara, aku izin keluar dulu ya? Ada client lagi yang ingin bertemu." Hendra memeluk istrinya dari belakang. "Malam-malam begini? Bukannya kamu baru pulang mas? Kenapa malah pergi lagi?" Tamara membilas piring yang sudah ia gosok sampai bersih. "Ini client penting sayang, aku tidak ingin menyia-nyiakannya." "Hmm... ya sudah kalau begitu. Tapi setelah bertemu client cepat pulang!" "Iya, aku janji akan pulang. Kalau gitu aku mandi dulu ya. Kamu tidur saja, sudah malam. " Hendra mencium kening sang istri. Tamara tersenyum malu, sampai ketika Hendra pergi dari dapur, senyuman itu menjadi datar kembali. Tamara mengusap-usap keningnya menggunakan air. "Dasar bodoh! Siapa Client yang ingin bertemu larut malam begini. Dia kira aku tak tahu?” Tamara terus menggosok keningnya hingga sedikit kemerahan, barulah setelah itu ia menuju kamar. Tamara memilih untuk memejamkan matanya cepat-cepat. Daripada harus menghadapi drama suaminya yang berpamitan, lebih baik ia berpura-pura tidur nyenyak. Semakin lama, aroma parfum tersebar ke seluruh penjuru kamar. Diam-diam Tamara mengintip, ia melihat suaminya berpenampilan sangat rapi. "Cih! seperti ABG yang jatuh cinta." ucapnya dalam hati. Tamara kembali memejamkan mata saat Hendra berjalan menuju kearahnya. "Tamara?" Hendra melambaikan tangannya didepan wajah Tamara. Namun tidak ada reaksi apapun dari wanita itu. "Syukurlah dia sudah tidur. Tapi kenapa tidurnya cepat sekali?” Gumam Hendra. Drtttt...... drtttt "Iya sayang, sebentar lagi aku ke apartementmu." "Kamu tenang saja, Tamara sudah tidur. Jadi kita bisa bersenang-senang tanpa ada yang mengganggunya." "Aku juga merindukanmu, Kalina." Tamara mendengar semua perkataan suaminya, tangan yang ada didalam selimut meremas bad cover dengan kuat. Wanita itu membuka matanya lebar-lebar ketika suara pintu tertutup sudah terdengar. Tamara bangun dan menarik napas berulang kali untuk menenangkan diri. "Bersabarlah Tamara... kamu harus kuat, jangan biarkan hidup mereka tenang. Kalian harus menderita secara perlahan-lahan. Aku, Tamara Aurelia Prameswari... bersumpah akan membalas semua perbuatan kalian dengan lebih kejam!" •••• "Sayang, aku benar-benar merindukanmu." Kalina langsung memeluk Hendra saat pria itu baru masuk ke dalam apartement. Kalina melepas pelukannya dari Hendra dan menariknya masuk ke kamar. Dua insan itu terlarut dalam kesesatan mereka, tanpa berpikir bahwa mereka sudah menyakiti hati orang lain. Hendra memeluk Kalina sangat erat, pandangan mereka menerawang keatas. "Mas, kapan kamu mau menceraikan Tamara?" "Nanti Kalina, aku belum bisa mendapatkan sertifikat rumah dan tanah itu. Aku tidak tahu dimana Tamara menyimpannya." "Ck! apa susahnya bertanya sama dia langsung?" "Berpikirlah jernih Kalina! Kamu kira Tamara tidak akan curiga kalau aku menanyakan keberadaan sertifikat itu? Sedangkan rumah dan tanah itu adalah pemberian kedua orang tuanya." Kalina menekuk bibirnya, ia merapatkan selimut yang dipakai. "Iya-iya, tapi besok transfer aku 50 juta ya mas?” "Buat apa? Kan aku sudah transfer 100 juta kemarin?" Hendra mengerutkan keningnya dalam. “Aku ada party sama temen-temen. Kan malu kalau aku pesan yang murah. Lagian 100 juta itu buat kebutuhanku. Kalau ada acara ya harus ditransfer lagi dong!” "Hah... iya besok aku kirim." Hendra mendengus pasrah, ia tidak bisa menolak permintaan kekasihnya itu. Karena Kalina sudah memberikan semua yang ia inginkan. Hendra melupakan janjinya kepada Tamara untuk segera pulang. Pria itu malah menginap di apartement Kalina. Tanpa Hendra sadari, bahwa ia terlalu menganggap Tamara sebagai wanita remeh. Tamara benar-benar wanita kuat. Bahkan saat suaminya sedang bersenang-senang dengan wanita lain, ia masih bisa tersenyum. "Sudah ku tebak pasti dia tidak akan pulang. Pantas saja beberapa bulan ini dia selalu menghindariku saat di kamar, ternyata ada wanita yang memberikan harga dirinya secara gratisan." Wanita itu melirik kearah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Berkali-kali Tamara mencibir kelakukan sahabatnya, mungkin mulai saat ini Tamara tidak akan menganggap Kalina sebagai sahabat lagi. Tamara akhirnya membuka laptop karena ia tidak merasa mengantuk sama sekali. Tamara memilih untuk memeriksa keuangan kantor dan gaji para karyawan untuk bulan depan. "Pengeluaran 100 juta? Buat apa ini? perasaan aku tidak pernah ngeluarin 100 juta diluar tanggal gaji." Tamara semakin larut dalam layar laptopnya, ia tersenyum sinis melihat data-data yang telah didapat. "Hendra Pratama, ternyata dia menghidupi simpanannya menggunakan uang kantor. Dasar laki-laki miskin! Aku batasi saja, jadi hanya aku yang bisa mengambil uang kantor." Dengan percaya diri Tamara mengotak-atik data-data itu. Ia tak takut dengan jabatan Hendra yang lebih tinggi darinya. Karena sebenarnya ada sesuatu yang Tamara sembunyikan tentang dirinya sendiri selama ini.“Kamu, tidak tahu siapa saya?“ tanya lelaki itu dengan suara dalam. “Cih! Kamu tidak sepenting itu sampai saya harus tahu semuanya. Artis? Bukan! Pejabat? Juga bukan!“ Tamara semakin kesal saja, kenapa juga ia harus merasa terancam saat pria sok dingin itu melangkah maju tadi. Saat ini mereka telah menjadi pusat perhatian para pengunjung. Seorang pria dan seorang wanita sedang berdiri berhadap-hadapan. Bagaikan seorang kekasih yang sedang bertengkar. “Saya, Ezra Wiratama. Jika kamu masih tidak tahu, cari saja di internet. Disana banyak informasi tentang saya.” Ezra langsung berlalu meninggalkan Tamara yang diam terpaku. Tamara membalikkan badannya, menatap punggung Ezra yang semakin menjauh. Ada hal aneh yang berusaha ia tepis, akhirnya wanita itu memilih segera kembali ke basement untuk mengambil mobil. “Hufftt… mana mungkin pria menyebalkan itu Ezra? Tidak-tidak, pasti hanya namanya saja yang kebetulan sama.“Tamara membuka internetnya untuk memastikan kalau opininya itu benar.
Tamara keluar dari parkiran basement setelah mobilnya terparkir dengan rapi. Derap langkahnya menuju pintu depan Mall besar yang kini tampak ramai orang. Pintu kaca otomatis terbuka ketika sensornya mendeteksi adanya langkah kaki. Tamara menganggukkan kepalanya ramah kepada seorang satpam yang berjaga didekat pintu. Toko-toko barang yang paling mahal sampai yang paling murah, semuanya berjajar rapi. Lampu di atrium 1 sangat menyilaukan, tapi tetap terlihat sangat cantik. Tamara memilih untuk ke atrium 3 terlebih dahulu, karena ia merasa lapar. Baru nanti akan ke atrium 4. Wanita itu menaiki lift bersama pengunjung lain, tak lupa ia menyunggingkan senyum manis. Baginya, kesopanan adalah adab nomor 1 yang harus diterapkan. Tamara masuk ke dalam restoran yang menjadi langganannya selama ini. “Selamat datang kak, mau ambil meja untuk berapa orang?“ tanya pelayan. “Satu orang.“ Jawab Tamara. Pelayan itu akhirnya mengantar Tamara ke meja yang dekat dengan kaca tembus pandang.
"MAS HENDRA! MANA UANGNYA!" Hendra memejamkan mata dan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Kalina langsung berteriak ketika ia baru saja mengangkat telepon itu. "Kalina! Tidak bisakah kamu berbicara baik-baik! Suaramu itu membuat telingaku sakit!" Sentak Hendra. "Kamu sih, aku minta transfer tapi belum juga dikirim sampai sekarang!" "Dengar, Tamara sudah membatasi aksesku. Jadi aku tidak bisa mentransfer uang kantor lagi." Hendra berusaha memberikan penjelasan. "Apa? Ck! kalau tidak bisa ya pakai uang pribadimu saja mas! masa sih kamu semiskin itu?" Hendra memukul udara, ia merasa kalau hari ini adalah hari tersial baginya. Namun, jika bersama Kalina ia harus menahan semua emosi yang menumpuk dikepala. "Astaga Kalina, tabunganku hanya tersisa 200 juta. Dan aku belum mendapat gaji, kamu lupa kalau satu bulan saja kamu bisa menghabiskan uang sebesar 400 juta?" "Iya-iya aku ingat. Terus bagaimana mas? Satu jam lagi aku sudah mau pergi!" Suara Kalina terdengar
Sinar mentari pagi menyinari rumah yang berdiri kokoh. Bi Asni sudah berjalan kesana kemari karena disibukkan dengan pekerjaan rumah. Ting... tong.... ting... tong Dengan tergopoh-gopoh wanita itu menuju pintu depan. Awalnya Bi Asni mengira yang datang adalah Hendra. "Pagi Bi." "Pagi Den. Tumben sekali Den Firza datang pagi-pagi sekali.” Bi Asni membuka pintu itu semakin lebar. "Saya mau ambil sampel parfum dari kakak." "Oh, langsung ke kamar saja Den. Sepertinya Nyonya masih tidur.” Firza mengangguk ragu, tapi ia tetap menuju kamar kakak perempuannya. Tanpa mengetuk pintu, Firza masuk begitu saja. Tamara yang masih bersantai diatas kasur terjingkat kecil. "Firza! Nakal kamu ya, udah kakak bilang kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu!” omel Tamara. "Kelamaan Kak, Kak Rara kok nggak ke kantor sih? Biasanya jam segini udah nggak kelihatan batang hidungnya." Rara adalah panggilan kesayangan dari Firza. Lelaki berusia 24 tahun itu memang memilih bahasa santai ketika berbic
Malam ini Tamara berdandan sangat cantik. Ia ingin menunjukkan kepada Hendra bahwa selingkuhannya itu sangat tidak pantas jika dibandingkan dengannya. "Tamara, kamu ini cantik sekali. Tapi sayang, mata suamimu itu buta. Dia lebih memilih wanita jelek itu daripada kamu." ucap Tamara kepada dirinya sendiri. Wanita itu keluar kamar dan menuruni tangga untuk menuju dapur. Ia ingin memakan salad sayur buatannya sendiri. Sekitar pukul 21.00, Hendra baru pulang ke rumah. Saat itu Tamara sedang menyiapkan irisan daging untuk dimasak esok hari. "Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahatlah di kamar." Bi Asni berdiri disamping majikannya. "Tidak perlu Bi, saya juga bosan diam saja. Mata ini sakit kalau terus-terusan melihat layar komputer. Jadi besok Bibi tinggal masak daging yang saya iris ini ya?" Jawab Tamara. "Baiklah Nyonya, kalau Nyonya butuh sesuatu... panggil Bibi saja ya?" Tamara mengangguk singkat. Gerakan tangan Tamara semakin melambat saat terdengar langkah kaki yang sud
Tamara Aurelia Prameswari, seorang wanita berusia 26 tahun dan menjadi istri dari seorang direktur utama bernama Hendra Pratama. Pasangan suami istri itu bekerja di satu perusahaan yang sama. Dimana Tamara bekerja sebagai Manajer Keuangan. Tuk..tuk...tuk Suara ketukan sepatu terdengar keseluruh penjuru rumah. Rumah yang menjadi tempat tinggal Tamara dan Hendra selama 2 tahun ini. Lebih tepatnya, rumah Tamara yang diberikan oleh kedua orang tuanya. "Nyonya Tamara, anda sudah ditunggu oleh Mbak Kalina diruang kerja." Bi Asni, asisten rumah tangga di rumah itu memberitahukan kepada Tamara. "Baik bibi, terimakasih. Tolong bawakan jus jeruk dan beberapa camilan ke ruang kerja saya ya " "Baik nyonya." Bi Asni mengangguk sopan. Tamara segera melanjutkan langkahnya. Kalina sudah mendapat izin dari Tamara sendiri. Sehingga wanita itu bisa menunggu di ruang kerja Tamara dengan tenang. "Hai Lina.” sapa Tamara. "Raaaa.... akhirnya kamu pulang juga, aku sudah menunggu seja