LOGIN"MAS HENDRA! MANA UANGNYA!"
Hendra memejamkan mata dan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Kalina langsung berteriak ketika ia baru saja mengangkat telepon itu. "Kalina! Tidak bisakah kamu berbicara baik-baik! Suaramu itu membuat telingaku sakit!" Sentak Hendra. "Kamu sih, aku minta transfer tapi belum juga dikirim sampai sekarang!" "Dengar, Tamara sudah membatasi aksesku. Jadi aku tidak bisa mentransfer uang kantor lagi." Hendra berusaha memberikan penjelasan. "Apa? Ck! kalau tidak bisa ya pakai uang pribadimu saja mas! masa sih kamu semiskin itu?" Hendra memukul udara, ia merasa kalau hari ini adalah hari tersial baginya. Namun, jika bersama Kalina ia harus menahan semua emosi yang menumpuk dikepala. "Astaga Kalina, tabunganku hanya tersisa 200 juta. Dan aku belum mendapat gaji, kamu lupa kalau satu bulan saja kamu bisa menghabiskan uang sebesar 400 juta?" "Iya-iya aku ingat. Terus bagaimana mas? Satu jam lagi aku sudah mau pergi!" Suara Kalina terdengar merengek seperti bayi. "Pakai sisa uangmu dulu, biar nanti aku berbicara dengan Tamara dan orang tuanya. Kalau ada orang tuanya, dia pasti akan langsung menuruti semua perkataanku." Kalina baru bisa diam saat Hendra membujuknya. Hendra memijat keningnya setelah panggilan telepon itu terputus. Kepalanya berdenyut nyeri, padahal ini baru tindakan kecil yang dilakukan Tamara. "Aku harus segera menyelesaikan masalah ini!" Hendra bangkit untuk pergi ke rumah mertuanya. Tidak lupa ia mengirimkan pesan kepada Tamara agar menyusulnya kesana. •••• "Siang Ma, siang Pa." Hendra masuk ke dalam kediaman Surya Permadi dan Nadin Paramita, mertuanya. "Hendra? Kenapa kamu tiba-tiba kemari? Mana Tamara?" Nadin melihat kearah belakang Hendra, namun tak melihat orang selain sang menantu. "Tamara akan menyusul, mungkin sebentar lagi akan sampai." "Oh begitu, duduklah dulu.” Hendra duduk diatas sofa empuk setelah Surya mempersilahkannya. Surya melihat raut wajah Hendra yang kesal dan tertekan. "Apa kamu ada masalah dengan istrimu?” "Papa... Mama... Tamara datang!” Belum sempat membuka mulutnya, Tamara sudah lebih dulu berseru. Hendra semakin kesal karena Tamara seperti tidak merasa bersalah sedikitpun. Wanita itu malah terlihat sangat ceria. Tamara bergelayut manja dilengan Mamanya. Walaupun wanita itu sudah berumur 26 tahun, tapi akan tetap seperti anak kecil ketika sedang bersama ibunya. "Aish kamu ini, Mama sudah tua. Pegal sekali kalau kamu bersandar seperti ini!" Tamara menekuk bibirnya kebawah, dengan terpaksa ia melepas rangkulan itu. "Ekhem... ada apa kalian berdua kesini?" Suasana mulai menjadi serius saat Surya membuka pembicaraan. Hendra menatap Tamara remeh, lalu ia beralih kepada Papa mertuanya. "Pa, Tamara membatasi keuangan kantor. Aku jadi tidak bisa untuk mengaksesnya. Hendra tidak tahu apa kesalahan yang sudah Hendra perbuat, tapi apa menurut Papa tindakan Tamara ini benar?” Surya mengetuk-ngetuk pinggiran kursi, matanya melirik pasangan suami istri itu sedang tajam. "Tamara, ada alasan kamu membatasi Direktur utama Astana Corp? Papa ingin mendengarnya." Hendra menelan salivanya kasar. Sudah pasti Tamara akan berkata jujur tentang uang 100 juta itu. Harapannya kali ini adalah semoga Surya lebih membelanya daripada Tamara. "Emmm.... kemarin aku menemukan riwayat transaksi Mas Hendra, Pa. Kalau ada konfirmasi denganku dulu sih.... tidak masalah. Tapi ini tidak sama sekali. Mas Hendra sudah menarik uang kantor ke dalam rekeningnya sebesar 100 juta." Tamara berbicara dengan sangat tenang. Surya menyandarkan tubuhnya dan menatap Hendra sangat tajam. "Untuk apa kamu menggunakan uang sebanyak itu?” "B-buat dana tambahan proyek Pa." jawab Hendra gugup. "Proyek apa sampai kamu tidak mendiskusikannya dulu dengan istrimu? Kamu pikir istrimu ini hanya mengurus gaji Karyawan? Begitu?" Hendra menggeleng cepat, ia dapat menyimpulkan kalau Surya sedang membela putrinya. "Tapi apa Hendra salah, Pa? Bukankah kekuasaan Hendra sebagai Direktur utama.... membebaskan Hendra untuk mengambil uang kantor?" "Bodoh!" Tamara hampir tertawa, Hendra menciut sebab mendapat umpatan dari Surya. "Bagaimana orang bodoh seperti kamu bisa diangkat menjadi Direktur?" Surya melirik Tamara sekilas. Yang dilirik hanya memutar bola matanya malas. "Maksud Papa? Aku bisa menjadi Direktur karena aku pantas, Pa! Sedangkan Tamara...." "Hanya manager keuangan! Itu kan yang ingin kamu katakan? Sudah, lebih baik kamu segera kembali ke kantor! Masih jam kerja kok pergi seenaknya." Surya mengibaskan tangannya. Sebenarnya ada rasa iri dihati Hendra. Tamara seperti di anak emaskan oleh Surya. Padahal Tamara juga sering pulang duluan, tapi wanita itu masih aman sampai sekarang. "Apa pemilik perusahaan itu ada sangkut-pautnya sama Papa Surya?" ucap Hendra dalam hati. Akhirnya Hendra pergi tanpa hasil apapun. Ia tidak seberani itu kepada Papa mertuanya. "Papa kok sensi sekali sama Hendra?" tanya Nadin. "Entahlah Ma, Papa rasanya kesal saat dia mengatakan hal buruk tentang putri kita. Apalagi dia sampai membandingkan posisi jabatan.” Nadin mangut-mangut menyetujui perkataan suaminya. Baru kali ini ia melihat sikap Hendra yang sedikit tidak sopan. "Memangnya dia siapa? Baru jadi Direktur tapi sikapnya sudah seperti itu." sambung Surya. "Tapi Pa, Tamara sebenarnya juga suka seenaknya. Buktinya sekarang izin tidak masuk tanpa ada kepentingan." Tamara meringis kecil. "Kalau itu Papa tidak masalah, toh kamu juga pemegang saham tertinggi di perusahaan." Memang benar apa yang dikatakan Surya. Tamara memegang saham perusahaan sebesar 50%. Semua itu karena permintaan Surya. Ketika Tamara mengenalkan Hendra sebagai calon suaminya, Surya setuju asal Tamara menyembunyikan identitas aslinya sebagai pemegang saham perusahaan. Alasannya adalah Surya sedikit tidak mempercayai Hendra. Namun Tamara sudah terlanjur cinta mati dengan lelaki itu. Mereka menyembunyikan hal itu dengan sangat baik, sampai Surya menempatkan putrinya di bagian Manager keuangan. Sedangkan Hendra awalnya hanya seorang karyawan biasa, sampai Tamara terus merengek kepada Surya agar menaikkan jabatan Hendra. Karena kinerja Hendra yang bagus, Surya pun menuruti permintaan anak perempuan satu-satunya. "Baru seperti ini saja, Papa sudah kesal. Bagaimana kalau Papa dan Mama tahu kalau Mas Hendra selingkuh?” Tamara berucap dalam hati, diam-diam ia menggigit bibir bagian dalam. "Ingat Tamara, apapun itu... jangan pernah mengatakan posisimu ini kepada Hendra. Papa merasakan firasat buruk. Bukan maksud Papa mendoakan kalian yang tidak-tidak, tapi firasat orang tua tidak pernah meleset." Tamara mengangguk kecil. Dugaan Surya 100% tidak meleset, dan Tamara mengakui kehebatan insting papanya itu. Dari sini Tamara semakin bersemangat untuk membalaskan dendamnya. Hendra tidak hanya mengecewakan dirinya, tapi juga orang tua dan adik laki-lakinya. "Kalau begitu, Tamara mau ke Mall dulu ya Ma? Pa? Tamara mau beli baju baru, sekalian beli hadiah buat Firza." "Hadiah apa? Ulang tahun Firza kan masih lama Ra?" sahut Nadin. "Bukan hadiah ulang tahun Ma. Tapi kemarin Firza mecahin rekor penjualan parfum. Dia sudah berusaha sekeras itu, jadi Tamara ingin sedikit memberinya apresiasi." "Ah begitu, baiklah. Hati-hati dijalan." Tamara memeluk kedua orang tuanya dan berlalu pergi mengendarai mobil kesayangannya. "1-0... Hendra, baru seperti ini saja kamu sudah terlihat menyedihkan. Tunggu kejutan dariku selanjutnya ya? Mungkin, puncaknya saat hari ulang tahunmu." Tamara tersenyum sinis, ia mengendalikan kemudi mobil dengan tenang.Saat jam istirahat, Hendra langsung keluar dari area kantor untuk menemui Kalina. Bahkan lelaki itu tidak berniat untuk makan siang terlebih dahulu. Didalam pikirannya, pasti Kalina ingin makan siang bersama. Namun, raut wajah Hendra seketika menggelap saat Tamara berjalan menyalipnya. Wanita itu bahkan tidak meliriknya sama sekali. “Tamara.” Panggilnya pelan. Kaki jenjang wanita itu berhenti lalu menoleh untuk melihat siapa yang memanggil namanya. Tamara menyunggingkan senyum remeh, bukan karena Hendra yang memanggilnya tanpa embel-embel bu atau semacamnya. Tapi karena Hendra masih memiliki niat untuk berinteraksi dengannya. “Ya? Kenapa Hen? Ada yang ingin kamu sampaikan kepada saya?” tanya Tamara dengan postur tubuh sangat formal. “Tidak, aku hanya tahu tentang perceraian kita.”“Oh itu, tenang saja. Semuanya sudah selesai, kita hanya perlu menunggu sidang pertama. Tapi saran saya…kamu tidak perlu membuat drama agar persidangan cepat selesai. Dengan begitu kamu bisa cepat-cepat
Ruang rapat di Astana Corp sangat sunyi, hanya terdengar suara detik jarum jam. Padahal di dalam ruangan itu terdapat para komisaris. Hendra pun ada disana, ia duduk dihadapan komisaris dengan wajah tegang. Ketua komisaris, Harry, membuka berkas-berkas yang ada di depannya. Amri menunjuk Harry untuk membacakan apa saja yang tertulis disana secara ringkas. Sedangkan Amri sendiri, menyandarkan tubuhnya dengan tatapan tegas. “Saudara Hendra, dalam rapat ini kami akan menyampaikan keputusan akhir terkait pelanggaran kode etik yang telah anda lakukan. Meskipun anda sendiri pasti sudah mengetahui apa keputusan itu.” Suara Harry menggema. “Kami telah melakukan investigasi internal, dan semua bukti-bukti juga sudah kami terima. Oleh karena itu, jabatan anda sebagai direktur utama akan dicabut pada hari ini.”Hendra hanya bisa terdiam, napasnya tertahan selama beberapa detik. Ada sebuah rasa sesak dan marah yang ia rasakan. “Dan untuk tetap menjaga citra perusahaan…anda akan tetap bekerja,
Kalina berjalan dengan membawa banyak paperbag ditangannya. Ditengah keterpurukan Hendra, wanita itu masih bisa shopping, makan enak, dan menikmati seperti tidak memiliki masalah apapun. Sayangnya, Kalina belum mengetahui kalau Hendra sudah lepas jabatan. “Huh! Ini taksi online pada kemana sih? Kenapa orderanku dicancel terus?”Kalina menekan ponselnya geram, sudah 5 kali ia mencari taksi online, dan 5 kali itulah ia selalu ditolak. Karena lelah berdiri, Kalina pun memilih berjalan sembari mencoba taksi lain. “Aduhhh sial sekali aku, sudah mobilku tidak segera dikembalikan sama si Shinta. Sekarang malah tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Mas Hendra juga susah dihubungi, kemana sih dia?”Kalina mengibaskan rambutnya kesal, saat menoleh ke kanan, wanita itu mengernyit saat melihat seorang pria berbadan besar sedang memainkan ponsel. “Perasaan tadi disana tidak ada orang, apa dia ngikutin aku ya? Rasanya juga seperti ada yang membuntutiku sejak dari mall.” Gumamnya lirih. Pria i
“Sial! Sial! Sial! Aku tidak mau ini semua! ARGHHH!”“Ssttt! Pak Hendra kenapa sih itu?” bisik salah satu orang divisi yang melintas di depan ruang direktur. “Frustasi mungkin, jabatannya kan terjun bebas. Bayangin saja Shel, dari direktur utama jadi OB. Apa nggak shock tuh mentalnya.”“Serius lo? Jangan bohong! Kalau kabar ini hoax, karir lo bisa hancur loh.”“Dih nggak percaya, lo tunggu saja besok. Kalau benar…lo harus traktir gue selama seminggu.”“Okelah, gue terima!”“Tapi ingat! Kabar ini jangan sampai kedengeran sama orang luar. Semua anak-anak harus diberitahu. Kalau nggak, bukan cuma perusahaan ini yang kena imbasnya. Tapi kita juga, bayangin kalau kena PHK massal. Mau kerja dimana lagi kita?”“Aman, anak-anak lain juga pasti pada paham.”Desas-desus tentang penurunan jabatan Hendra, menyebar luas ke seluruh divisi. Awalnya, ada seseorang yang tak sengaja mendengar Hendra mengumpat setelah kembali dari kantor pusat. Akhirnya orang itu memberitahu temannya sampai berakhir me
Hendra menautkan kedua tangannya gugup. Ia sedang menunggu Amri di kantor pusat. Amri, dialah orang yang Hendra tahu sebagai pemilik Astana Corp. Meski sebenarnya hanyalah orang kepercayaan Surya. Beberapa menit kemudian, Amri datang dengan gagahnya. Raut wajahnya datar, dan itulah yang membuat Hendra semakin tegang. Lelaki itu segera berdiri untuk menyambut Amri dengan sopan. “Duduk, Hendra Pratama.”Habis sudah, Amri telah menyebut nama lengkapnya. Singkat, datar, dan tentunya menjadi pertanda buruk. Lelaki itu menunduk, menunggu Amri mengatakan sesuatu kepadanya. “Kamu tahu apa yang menyebabkan saya memanggil kamu kesini?” “I-iy…Tidak. Tidak pak…”Amri terkekeh, terlihat jelas kalau Hendra gugup. Sampai-sampai menjawab pertanyaan sesederhana itu dengan jawaban yang tidak jelas. “Seorang direktur utama, menjawab pertanyaan seperti itu? Kamu tidak mempunyai pendirian Hendra.”“Maaf pak.” Hendra menunduk dalam. Bruk! Amri menyerahkan sebuah berkas kepada Hendra. Tidak dibanting
Siang itu juga setelah jam istirahat, Tamara bergegas pergi ke pengadilan agama. Langkah untuk bercerai tidak semudah itu, sehingga ia tak mau menunda-nunda waktu lebih lama lagi. “Tamara, kamu yakin mau pergi ke pengadilan agama?” Hendra menarik tangan Tamara yang hendak menuju parkiran. “Ck! Jelas iya. Buat apa aku harus ragu?” Tamara melepas cekalan tangan itu dengan kasar. Hendra menarik napasnya dalam. “Kalau kamu yang mengurusnya, itu berarti semua biaya ditanggung oleh kamu. Aku tidak akan membantu sepeser pun.” Seringainya. “Ya ampun, jangan khawatir begitu dong Hen. Aku tidak semiskin itu, uangku banyak.” Wanita itu tertawa kecil, tawa yang membuat Hendra insecure sebagai lelaki. “MAS!” pekikan manja terdengar dari seberang. Dua insan itu menoleh, mereka melihat Kalina berjalan berlenggak-lenggok. Wanita itu langsung merangkul lengan Hendra. Sangat terlihat mesra, tapi bagi Tamara, hal itu sangatlah menjijikan. “Benar-benar tidak tahu malu.” Cibir Tamara di dalam hati.







