LOGINTamara keluar dari parkiran basement setelah mobilnya terparkir dengan rapi. Derap langkahnya menuju pintu depan Mall besar yang kini tampak ramai orang. Pintu kaca otomatis terbuka ketika sensornya mendeteksi adanya langkah kaki.
Tamara menganggukkan kepalanya ramah kepada seorang satpam yang berjaga didekat pintu. Toko-toko barang yang paling mahal sampai yang paling murah, semuanya berjajar rapi. Lampu di atrium 1 sangat menyilaukan, tapi tetap terlihat sangat cantik. Tamara memilih untuk ke atrium 3 terlebih dahulu, karena ia merasa lapar. Baru nanti akan ke atrium 4. Wanita itu menaiki lift bersama pengunjung lain, tak lupa ia menyunggingkan senyum manis. Baginya, kesopanan adalah adab nomor 1 yang harus diterapkan. Tamara masuk ke dalam restoran yang menjadi langganannya selama ini. “Selamat datang kak, mau ambil meja untuk berapa orang?“ tanya pelayan. “Satu orang.“ Jawab Tamara. Pelayan itu akhirnya mengantar Tamara ke meja yang dekat dengan kaca tembus pandang. Dari sana ia bisa melihat orang-orang berlalu lalang, beberapa dari mereka membawa kantong belanja besar dengan brand mewah. Setelah beberapa menit menentukan pilihannya, Tamara mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan itu kembali. “Saya pesan Grilled Chicken set, jus jeruk, sama cheesecake satu.“ ucapnya. Pelayan itu mencatat pesanan Tamara dengan cepat dan mengulang pesanan agar tidak terjadi kesalahan. Hal yang Tamara sukai dari restoran ini adalah semua pekerjanya bergerak cepat dan sangat memperhatikan kenyamanan pelanggan. Mata Tamara berbinar cerah melihat pesanannya sudah datang. Perutnya semakin meronta-ronta ingin segera diisi. “Eummm… . Enak sekali. Rasanya seperti tidak mempunyai beban hidup.“ gumamnya. Ditengah-tengah kegiatan makannya, secara tidak sengaja Tamara menemukan keberadaan Kalina. Kalina lewat tepat di samping Tamara, namun dibatasi oleh kaca transparan. Tamara menatap wanita itu tajam, tapi sayang—Kalina tidak melihat keberadaannya. “Musuhku yang satu ada disini rupanya.“ Tamara tetap menikmati makanannya dengan santai. Tak berminat untuk mengejar Kalina, tapi ia yakin kalau nanti pasti akan bertemu kembali. “Minta bill, mas.“ ucap Tamara setelah pelayan datang. Wanita itu membayar melalui kartu, dan keluar dari sana untuk berbelanja. Tamara tertuju ke toko tas branded yang sudah ia incar sejak tadi. Namun ia terkejut karena Kalina berada di toko yang sama. “Hei, Tamara! Kamu disini juga?“ Kalina menyapa dengan sangat riang. Tamara mengangguk kecil dengan sedikit senyuman terpaksa. “Kamu kok ke Mall sih? Katanya izin dari kantor. Aku kira kamu ada kepentingan, tapi ternyata malah jalan-jalan santai. Kan kasihan orang yang gantiin pekerjaan kamu.“ Kalina menyindir halus. “Kok kamu tahu kalau aku izin dari kantor?“ Kalina gelagapan sendiri, mana mungkin dia berkata jujur kalau Hendra yang memberitahunya. “Kan kamu jelas ada disini waktu jam kerja, Tamara.“ Kalina berusaha terkekeh. “Tidak juga, bisa saja aku ada pertemuan dengan rekan lain. Terus sekalian jalan-jalan sebentar, tidak ada salahnya kan?“ Tamara menaikkan sebelah alisnya. Kalina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tamara terlalu pintar menjawab semua perkataannya. Tak lagi memedulikan mantan sahabatnya lagi, Tamara akhirnya sedikit menjauh untuk memilih jajaran tas-tas mahal dan sangat cantik itu. Namun Kalina tetap membuntutinya seperti seekor anak ayam. “Lin, kamu kenapa ngikutin aku sih? “ “Loh kenapa? Tidak boleh? Biasanya kita juga selalu sama-sama kan? “ ucap Kalina dengan polosnya. “Maksudku, cari saja model tas yang kamu mau. Kalau mengikuti aku terus, kamu malah pusing sendiri. “ Tidak, bukan Kalina yang pusing. Tapi Tamara, rasanya geli saja diikuti oleh pelakor. Tamara jatuh cinta dengan tas yang ada di rak atas. Ia mengambil tas itu dan melihat bahan serta modelnya. “Aku mau yang itu Ra, cantik banget.“ Tiba-tiba saja Kalina merebut tas itu. Tamara mendengus kesal, biasanya ia tidak masalah jika Kalina bersikap seperti itu. Namun sekarang ia baru sadar kalau Kalina memang keterlaluan. “Kalina! Aku yang melihatnya lebih dulu, jadi aku yang akan membelinya.“ Tamara merebutnya kembali. “Tidak-tidak, aku mau ini Tamara!“ Daripada harus saling merebut, Tamara membiarkan tas itu diambil oleh Kalina. Ia memutuskan untuk mencari model yang lebih bagus. “Ah ini kan tas keluaran terbaru itu? Untung saja aku tidak jadi memilih tas yang dibawa Kalina.“ Tamara hendak membawa tas yang pilih ke kasir. Namun tiba-tiba Kalina kembali merebutnya. “Wah… ini juga cantik. Tamara, kamu kan ingin tas yang ini tadi. Kita bertukar saja ya?“ Kalina menunjukkan tas yang satunya. Bukannya marah, Tamara malah tersenyum aneh. Ia seperti meremehkan wanita di depannya itu. “Kamu yakin ingin tas itu?“ tanya Tamara. Kalina mengerutkan keningnya tak mengerti. Sampai Tamara memanggil salah satu penjaga toko. “Mbak, untuk tas ini harganya berapa?“ Tamara menunjuk tas keluaran terbaru. “Yang ini 80 juta kak, karena di impor langsung dari luar negeri. Tas ini juga terbuat dari kulit buaya asli, jadi akan awet dan tidak mudah rusak.“ “Kalau yang ini?“ “Yang ini lebih murah, hanya 35 juta.“ Tamara tersenyum sinis, ia melihat Kalina yang ternganga. “Yakin mau beli yang itu, Lin?“ “A-ah tidak Ra, buat kamu saja.“ Tamara tersenyum puas. Ia pun membawa tas itu untuk melakukan pembayaran. Bagaimana Kalina bisa membeli tas seharga 80 juta, kalau yang 35 juta saja dia seperti ragu-ragu. Apalagi setelah ini dia harus bertemu teman-temannya. Jika uangnya habis, Kalina akan bingung sendiri untuk membayar. Dia juga pasti akan malu, padahal niatnya pergi ke Mall adalah untuk membeli barang baru yang bisa dipamerkan. Darah Kalina semakin mendidih saat Tamara membayar tas itu menggunakan kartu gold. Kartu itu tidak semua orang bisa memilikinya. “Sialan! Mas Hendra yang direktur utama saja tidak memiliki kartu itu! Bagaimana Tamara yang hanya manager keuangan bisa memilikinya?“ Geramnya dalam hati. “Lin, aku duluan ya. Selamat bersenang-senang.“ Tamara melambaikan tangannya. “Bagaimana aku bersenang-senang kalau uangku saja hampir habis?“ Lirih Kalina, ia menghentak-hentakkan kakinya. “Bu, mau membayar?“ tanya penjaga kasir. “Heh! Kamu manggil dia tadi ‘Kak’ kok manggil saya ‘Bu’? Saya itu seumuran sama dia!“ Kalina semakin kesal. “M-maaf kak, saya kira kakak lebih tua dari kaka yang tadi.“ Penjaga kasir itu menangkupkan tangannya dengan wajah menyesal. “Terserah! Saya sudah terlanjur kesal! Ini, cepat! Saya mau pergi!“ Kalina memberikan tasnya untuk dibungkus. Tidak apa jika hanya 35 juta, yang penting barang itu baru. Tamara merasa hatinya semakin bahagia setelah berhasil mengalahkan Kalina, dan menunjukkan bahwa Kalina tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia. Ting… Tamara membuka ponselnya setelah menerima pesan dari Firza. Bugh… Karena bermain ponsel sambil berjalan, Tamara tidak sengaja menabrak seseorang. Wanita itu meringis kecil karena ponselnya tergeletak tak berdaya diatas lantai marmer. “Gimana sih?“ Tamara mendongak saat mendengar suara seorang pria yang terdengar marah. Pria dengan tampilan manly, tatapan matanya tajam, hidung mancung, dan alis tebal. Siapapun akan terpesona dengan pria itu. Tapi Tamara tidak, wajahnya tetap datar saat mereka bertatap mata. “Maaf.” ucap Tamara singkat. “Saya tidak butuh maafmu, kelakuanmu bermain ponsel sambil berjalan benar-benar bodoh!“ Tamara membelalakan mata. Baru kali ini ia mendengar seseorang memberikannya kalimat itu. “Hei! Berani sekali kamu mengatai saya bodoh! Kamu kira kamu siapa?“ Pria itu menyunggingkan sebelah bibirnya, tatapannya seperti akan menerkam Tamara hidup-hidup. Tamara menelan ludahnya kasar, pria ini tidak seperti pria yang lainnya. Entah mengapa, tatapan dari orang itu bisa membuat darahnya berdesir. “Kalau kamu tahu saya siapa…mungkin kamu akan terkejut setengah mati.” “Oh ya? Memangnya seberapa berpengaruhnya diri anda ini? Saya lihat anda biasa-biasa saja…tidak ada sesuatu yang harus saya kagumi!” Tamara masih merasa berani untuk menantang. Pria itu berjalan mendekat, bahkan tatapannya kini semakin tajam. Tahu akan ada ancaman yang menghampiri dirinya, Tamara beringsut mundur. Tamara benar-benar menantang orang yang salah. Wanita itu tidak sadar kalau orang ini akan masuk ke dalam kehidupannya setelah apa yang ia lakukan.Sebenarnya Tamara sangat malas untuk pulang ke rumahnya sendiri. Tapi jika ia membiarkan Hendra enak-enakan di rumah itu, Tamara tidak rela. Jadi lebih baik ia berada disana meskipun harus memandang wajah yang membuatnya mual itu. “Baru pulang kamu Tamara!” Baru membuka pintu, pemandangan pertama yang Tamara saksikan adalah Risa, sang mama mertua. “Ada apa Ma? Ini sudah malam, tumben belum pulang?”Risa berdiri lalu bersedekap dada, ia memandang Tamara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan itu benar-benar memuakkan bagi Tamara. “Pertanyaanmu seolah-olah sedang mengusir mertuamu sendiri Ra. Justru Mama yang harusnya bertanya, darimana saja kamu jam segini baru pulang?”“Aku dari rumah Papa Surya—”“Oh ya? Bukan dari rumah selingkuhan kamu itu?”Tamara menatap Risa tajam, pasti Hendra sudah menceritakan semuanya kepada ibunya. Dan tentu ditaburi oleh sedikit bumbu agar Tamara yang terlihat bersalah disini. “Atas dasar apa Mama berkata seperti itu? Kalau Mama tidak percaya, s
“Coba ngomong lagi mas! NGOMONG SINI! Siapa yang Mas Hendra katain sebagai tukang ngadu?” Hendra memegang pipinya yang terasa nyeri dan panas. Firza tak bisa membendung amarahnya lagi, hingga saat ia melihat dan mendengar perkataan Hendra, kepalan tangannya melayang begitu saja. “Berani sekali kamu memukulku Fir? Tidak tahu sopan santun kamu!” Hendra mengacungkan jari telunjuknya dengan penuh amarah. “Cih, berlaku sopan santun kepada anda seperti tidak ada gunanya. Kakakku saja kamu khianati selama ini, terus aku harus tetap menghormatimu? Mimpi mas MIMPI!” Kesabaran Hendra semakin menipis, apalagi adik iparnya itu mulai meninggikan suara. Kini giliran kepalan tangan Hendra yang melayang dan hampir mengenai Firza. Jika saja Tamara tak berteriak, mungkin adiknya itu akan terkena pukulan. “STOP MAS! STOP! MASALAH KAMU ITU SAMA AKU. BUKAN SAMA FIRZA!” Bi Asni menjatuhkan sapu yang ada ditangannya. Wanita paruh baya itu terkejut sebab teriakan Tamara menggelegar, sampai terd
“Rencana A gagal total, mari kita lakukan rencana B.” Tamara telah menyiapkan rencana yang ia susun sendiri. Bahkan sang adik pun tak tahu tentang rencana itu. Tamara pernah berpikir kalau ia tidak sengaja memergoki Hendra seperti ini, sudah pasti rencana pertamanya akan gagal. “Kamu akan menceraikanku Hen? Baiklah lakukan saja, toh kamu tidak akan membawa pergi hartaku sepeserpun kan? Hidup ini akan terus berjalan asalkan aku punya uang. Jadi, jika kamu menceraikanku…tidak akan berpengaruh apapun.”“Sikap kamu yang seperti ini sudah menunjukkan kalau kamu benar-benar berselingkuh Ra. Mau alasan apalagi kamu? Huh?” Hendra mengangkat dagunya setinggi mungkin. “Ah terserah, tidak ada gunanya membela diri. Kamu saja lebih percaya dengan jalang kesayanganmu itu. Tapi aku pastikan kamu akan segera hancur!” Tamara menegakkan badannya dan berbalik pergi. Para karyawan yang bergerombol segera membuka jalan untuk wanita itu. “Sial!” Hendra mengepalkan tangannya erat-erat, ia takut kalau T
“Ta-Tamara? I-ini tidak seperti yang kamu lihat sayang.” Hendra mendorong Kalina agar menjauh dari dirinya. Lelaki itu menghampiri Tamara yang berdiri bersedekap dada di dekat pintu. Tamara menatap Hendra datar, tidak ada raut wajah kaget ataupun sedih diwajahnya. “Cih, kalimat klise. Apakah semua lelaki meniru kalimat itu jika ketahuan mengkhianati pasangannya? Benar-benar tidak kreatif.” Cibirnya. “Ra, tapi ini memang sebuah kesalahpahaman. Mas dan Kalina tidak melakukan apapun…kami…kami hanya—”“Hanya berciuman, isn’t it?” Sela Tamara. Hendra semakin kelimpungan, ia tak menyangka jika perselingkuhannya akan terbongkar secepat ini. Begitupun dengan Tamara, mungkin ia ditakdirkan untuk tak bersandiwara lebih lama. “Ayolah mas, aku tidak buta dan penglihatanku ini masih sangat sehat. Apa menurutmu hanya dengan menggunakan kata-kata fotocopy-an itu aku akan langsung percaya? Jawabannya tidak! Kalau kamu masih mau bertanya kenapa, itu berarti kamu benar-benar laki-laki bodoh!”Harg
"MAS! MAS HENDRA!""kalina?" jantung Hendra rasanya seperti berhenti sepersekian detik. Bagaimana tidak? Kalina langsung masuk ke dalam ruangannya begitu saja dan memanggil namanya dengan suara keras. Sudah pasti para karyawannya yang ada diluar bisa mendengar suara wanita itu. "Apa-apaan kamu Lin! semua karyawanku pasti curiga kepadamu seperti ini!" "Sstt! berhenti mengomel, aku memiliki info panas untukmu mas."Hendra tak jadi memarahi Kalina, lelaki itu malah merasa penasaran dengan info yang dimiliki oleh simpanannya itu. "Info apa?" tanya Hendra, Kalina segera mendekat dan berdiri disamping lelaki itu. "Kamu tahu mas? aku baru saja melihat Tamara berjalan dengan laki-laki lain di sebuah restaurant. Dan laki-laki itu sangat mirip dengan Ezra, kamu pasti tahu kan siapa Ezra itu?"Hendra berdiri dari tempat duduknya dengan kasar, ia menatap Kalina dengan sangat dalam. "Restaurant? hari ini saja Tamara pergi ke Bank, bagaimana bisa tiba-tiba berada di restaurant? jangan bicara y
Tamara memandang dirinya melalui cermin dengan malas. Hari ini adalah hari dimana ia akan bertemu dengan Ezra. Ingin menghindar? Tentu saja! Tamara tak ingin memperlihatkan wajahnya di depan lelaki itu lagi. Tapi apalah daya, Surya benar-benar tidak bisa diajak berkompromi. “Arghh! Tidak bisakah hari ini dilewati begitu saja?” Tamara melihat jarum jam telah menunjukkan pukul 12.15. Itu berarti ia harus segera berangkat agar Ezra tidak menunggunya di restaurant. “Tamara.” Tiba-tiba saja Hendra masuk ke dalam kamar mereka. Padahal dia sudah ke kantor sejak pagi. “Loh mas? Kenapa kamu pulang?” Tanya Tamara terkejut. “Bukannya kamu mau ke Bank? Ayo mas antar, ini juga masih jam istirahat.”“Tidak perlu, Bank tidak sejauh itu sampai aku harus diantar. Kamu manfaatkan jam istirahat untuk bersantai saja.”Hendra tersenyum kecil, ia mendekat kepada Tamara dan menyentuh pundaknya dari belakang. Kini mereka sedang bertatap mata melalui cermin. “Kamu kan istri mas, jadi lebih baik kalau ka







