“Kamu, tidak tahu siapa saya?“ tanya lelaki itu dengan suara dalam. “Cih! Kamu tidak sepenting itu sampai saya harus tahu semuanya. Artis? Bukan! Pejabat? Juga bukan!“ Tamara semakin kesal saja, kenapa juga ia harus merasa terancam saat pria sok dingin itu melangkah maju tadi. Saat ini mereka telah menjadi pusat perhatian para pengunjung. Seorang pria dan seorang wanita sedang berdiri berhadap-hadapan. Bagaikan seorang kekasih yang sedang bertengkar. “Saya, Ezra Wiratama. Jika kamu masih tidak tahu, cari saja di internet. Disana banyak informasi tentang saya.” Ezra langsung berlalu meninggalkan Tamara yang diam terpaku. Tamara membalikkan badannya, menatap punggung Ezra yang semakin menjauh. Ada hal aneh yang berusaha ia tepis, akhirnya wanita itu memilih segera kembali ke basement untuk mengambil mobil. “Hufftt… mana mungkin pria menyebalkan itu Ezra? Tidak-tidak, pasti hanya namanya saja yang kebetulan sama.“Tamara membuka internetnya untuk memastikan kalau opininya itu benar.
Tamara keluar dari parkiran basement setelah mobilnya terparkir dengan rapi. Derap langkahnya menuju pintu depan Mall besar yang kini tampak ramai orang. Pintu kaca otomatis terbuka ketika sensornya mendeteksi adanya langkah kaki. Tamara menganggukkan kepalanya ramah kepada seorang satpam yang berjaga didekat pintu. Toko-toko barang yang paling mahal sampai yang paling murah, semuanya berjajar rapi. Lampu di atrium 1 sangat menyilaukan, tapi tetap terlihat sangat cantik. Tamara memilih untuk ke atrium 3 terlebih dahulu, karena ia merasa lapar. Baru nanti akan ke atrium 4. Wanita itu menaiki lift bersama pengunjung lain, tak lupa ia menyunggingkan senyum manis. Baginya, kesopanan adalah adab nomor 1 yang harus diterapkan. Tamara masuk ke dalam restoran yang menjadi langganannya selama ini. “Selamat datang kak, mau ambil meja untuk berapa orang?“ tanya pelayan. “Satu orang.“ Jawab Tamara. Pelayan itu akhirnya mengantar Tamara ke meja yang dekat dengan kaca tembus pandang.
"MAS HENDRA! MANA UANGNYA!" Hendra memejamkan mata dan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Kalina langsung berteriak ketika ia baru saja mengangkat telepon itu. "Kalina! Tidak bisakah kamu berbicara baik-baik! Suaramu itu membuat telingaku sakit!" Sentak Hendra. "Kamu sih, aku minta transfer tapi belum juga dikirim sampai sekarang!" "Dengar, Tamara sudah membatasi aksesku. Jadi aku tidak bisa mentransfer uang kantor lagi." Hendra berusaha memberikan penjelasan. "Apa? Ck! kalau tidak bisa ya pakai uang pribadimu saja mas! masa sih kamu semiskin itu?" Hendra memukul udara, ia merasa kalau hari ini adalah hari tersial baginya. Namun, jika bersama Kalina ia harus menahan semua emosi yang menumpuk dikepala. "Astaga Kalina, tabunganku hanya tersisa 200 juta. Dan aku belum mendapat gaji, kamu lupa kalau satu bulan saja kamu bisa menghabiskan uang sebesar 400 juta?" "Iya-iya aku ingat. Terus bagaimana mas? Satu jam lagi aku sudah mau pergi!" Suara Kalina terdengar
Sinar mentari pagi menyinari rumah yang berdiri kokoh. Bi Asni sudah berjalan kesana kemari karena disibukkan dengan pekerjaan rumah. Ting... tong.... ting... tong Dengan tergopoh-gopoh wanita itu menuju pintu depan. Awalnya Bi Asni mengira yang datang adalah Hendra. "Pagi Bi." "Pagi Den. Tumben sekali Den Firza datang pagi-pagi sekali.” Bi Asni membuka pintu itu semakin lebar. "Saya mau ambil sampel parfum dari kakak." "Oh, langsung ke kamar saja Den. Sepertinya Nyonya masih tidur.” Firza mengangguk ragu, tapi ia tetap menuju kamar kakak perempuannya. Tanpa mengetuk pintu, Firza masuk begitu saja. Tamara yang masih bersantai diatas kasur terjingkat kecil. "Firza! Nakal kamu ya, udah kakak bilang kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu!” omel Tamara. "Kelamaan Kak, Kak Rara kok nggak ke kantor sih? Biasanya jam segini udah nggak kelihatan batang hidungnya." Rara adalah panggilan kesayangan dari Firza. Lelaki berusia 24 tahun itu memang memilih bahasa santai ketika berbic
Malam ini Tamara berdandan sangat cantik. Ia ingin menunjukkan kepada Hendra bahwa selingkuhannya itu sangat tidak pantas jika dibandingkan dengannya. "Tamara, kamu ini cantik sekali. Tapi sayang, mata suamimu itu buta. Dia lebih memilih wanita jelek itu daripada kamu." ucap Tamara kepada dirinya sendiri. Wanita itu keluar kamar dan menuruni tangga untuk menuju dapur. Ia ingin memakan salad sayur buatannya sendiri. Sekitar pukul 21.00, Hendra baru pulang ke rumah. Saat itu Tamara sedang menyiapkan irisan daging untuk dimasak esok hari. "Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahatlah di kamar." Bi Asni berdiri disamping majikannya. "Tidak perlu Bi, saya juga bosan diam saja. Mata ini sakit kalau terus-terusan melihat layar komputer. Jadi besok Bibi tinggal masak daging yang saya iris ini ya?" Jawab Tamara. "Baiklah Nyonya, kalau Nyonya butuh sesuatu... panggil Bibi saja ya?" Tamara mengangguk singkat. Gerakan tangan Tamara semakin melambat saat terdengar langkah kaki yang sud
Tamara Aurelia Prameswari, seorang wanita berusia 26 tahun dan menjadi istri dari seorang direktur utama bernama Hendra Pratama. Pasangan suami istri itu bekerja di satu perusahaan yang sama. Dimana Tamara bekerja sebagai Manajer Keuangan. Tuk..tuk...tuk Suara ketukan sepatu terdengar keseluruh penjuru rumah. Rumah yang menjadi tempat tinggal Tamara dan Hendra selama 2 tahun ini. Lebih tepatnya, rumah Tamara yang diberikan oleh kedua orang tuanya. "Nyonya Tamara, anda sudah ditunggu oleh Mbak Kalina diruang kerja." Bi Asni, asisten rumah tangga di rumah itu memberitahukan kepada Tamara. "Baik bibi, terimakasih. Tolong bawakan jus jeruk dan beberapa camilan ke ruang kerja saya ya " "Baik nyonya." Bi Asni mengangguk sopan. Tamara segera melanjutkan langkahnya. Kalina sudah mendapat izin dari Tamara sendiri. Sehingga wanita itu bisa menunggu di ruang kerja Tamara dengan tenang. "Hai Lina.” sapa Tamara. "Raaaa.... akhirnya kamu pulang juga, aku sudah menunggu seja