Di paviliun Permaisuri Yuwen. Tawa pecah mengisi setiap sudut kamar permaisuri Yuwen. Tawa itu getir, parau, dan kosong Dibandingkan disebut menertawakan orang lain, tawa itu lebih layak disebut menertawakan diri sendiri. Di sela tawa, bola matanya berputar diikuti helaan napas kasar. Helaan berselimut ketidak habis pikir atas dirinya, yang kalah dari Chu Qiao. Ya! Dia merasa kalah dari wanita yang disebutnya pelayan bernyali besar itu! Tawa getirnya lantas mereda, menyisakan suara napas tersengal yang berulang kali tertahan. Mata indahnya memerah, bukan karena tangis, melainkan karena amarah yang terpendam; sulit dilampiaskan. Permaisuri Yuwen menegakkan punggung, tapi pundaknya bergetar halus. Dalam kesunyian, dia tahu dirinya bukan hanya dikalahkan, tapi juga dipermalukan. Selang beberapa saat. “Chu Qiao!” suara permaisuri Yuwen merendah, nyaris serupa desisan. “Wanita ini tidak boleh terus menerus di sisi Chun Mei,” katanya dengan geraman tertahan. Dua pelaya
Empat pelayan berwajah sangar menyeruak masuk, langkah mereka berat dan berbaris dua arah, membawa cambuk kulit hitam yang menggulung di tangan serta balok kayu yang kokoh di bahu. Tampang mereka tak ubahnya algojo, sorot mata tanpa belas kasih, napas memburu, seolah hanya menunggu aba-aba darah tumpah di ruangan itu. Dan sebelum cambuk terayun .... Sebuah kilatan samar melesat di udara! Srtt! Dalam sekejap mata, Chu Qiao telah bergerak. Tubuhnya bagai bayangan kilat, meluncur cepat ke arah salah satu algojo. Cincin hitam yang melingkar di jarinya berkilau dingin, dan dengan satu gesekan mendatar, leher pelayan itu robek! Byur! Semburan darah merah pekat muncrat, memercik ke lantai batu, bahkan hampir mengenai ujung jubah sutra permaisuri Yuwen. Tubuh pelayan itu ambruk keras, matanya masih melotot tak percaya, sementara tangannya yang kokoh berusaha meraih lehernya sendiri sebelum akhirnya terkulai lemas, tak lagi bergerak. Suasana ruangan seketika membeku! Permaisur
Fajar menyingsing perlahan. Kabut tipis menari di antara batang pinus dan dedaunan basah, seakan menyelubungi jalur hutan dengan selimut putih misterius. Derap langkah kuda menggema. Dua ekor kuda hitam gagah berlari kencang di barisan paling depan, surainya berkibar liar diterpa angin dingin pagi. Di atas salah satunya, Kaisar Lin Yi duduk tegak, wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tajam menembus kabut. Di belakangnya, jenderal Shang Que menunggang kuda hitam lain, tubuh tegapnya kokoh meski lengan masih berbalut perban putih yang kini ternodai merah samar. Di belakang mereka, selusin kuda coklat berderap tak kalah cepat. Para prajurit bayangan pilihan mengapit, formasi rapat dan teratur, laksana garis baja yang membelah kabut. Dari ketinggian langit, hitam dan coklat bergantian menyapu pandangan, kontras dengan hijau rimbun hutan yang basah sekaligus berkabut. Suara embusan napas kuda bercampur pekik elang yang terbang rendah di atas pucuk pohon, menambah nuansa
”Nenek!” Seruan permaisuri Yuwen pecah, panik samar yang tadi dia sembunyikan kini meledak tanpa kendali. Wanita itu bahkan nyaris saja melompat dari ranjang, menyingkirkan pelayan yang ketakutan. “Lin Yi!” suara parau nenek permaisuri juga pecah di sela sakitnya, matanya menatap permaisuri Yuwen yang masih ditodong pedang, “jika kamu benar-benar menurunkan dia ke Qingxin, kalau kamu benar-benar menceraikannya, darah keluarga Lin akan tercabik! Kamu akan kehilangan sekutu terakhir yang setia di istana ini!” Tubuhnya bergetar semakin keras, dan brug, dia terjatuh sepenuhnya ke lantai, terkapar tak berdaya. Permaisuri Yuwen menjerit kecil, matanya merah, tangannya gemetar menekan dadanya sendiri. Dia menoleh ke Kaisar, wajah pucatnya bercampur amarah dan ketakutan. Permaisuri Yuwen. “...” Tanpa sempat berkata, Kaisar telah menjatuhkan pedang di tangannya begitu saja, lantas membopong tubuh neneknya meninggalkan kamar. “Panggil Tabib Jiang!” seru Kaisar. Langit kian teran
Paviliun Permaisuri Yuwen malam itu sunyi. Kekacauan sebelumnya tidak menyisakan apapun. Kaisar tahu jenderal beserta bawahannya telah membereskan para pembunuh berkedok penari. Dan saat ini .... BRAK! Pintu kamar permaisuri Yuwen berguncang hebat dihantam dari luar, terbuka keras hingga hampir terlepas dari engselnya. Langkah berat terdengar, mengguncang lantai seakan tiap tapak kaki membawa badai. Kaisar Lin Yi muncul, jubah hitam satin masih menyelimuti tubuhnya, topeng perak telah dia tanggalkan, menyingkap wajah keras penuh amarah. Aura gelap yang menempel padanya membuat pelayan yang tengah memijat kaki permaisuri Yuwen seketika menyingkir, bersujud tanpa berani menoleh. Wajah Permaisuri Yuwen memucat. Gelas tonik di tangannya bergetar, hampir tumpah. Bahkan sebelum sempat berkata apa-apa, kilau tajam menyambar. Shiiing! Pedang panjang Kaisar Lin Yi telah terhunus, kilat dinginnya menebas udara, lalu berhenti hanya sejengkal dari leher halus sang Permaisuri. Ujun
Langkah Kaisar Lin Yi mantap tapi senyap, mengikuti bayangan pria berjubah hitam di hadapannya. Pria itu berjalan cepat, seolah-olah hanya ingin keluar dari hiruk pikuk pasar gelap. Namun, gerakan bahunya, yang sedikit kaku, serta langkahnya yang makin tergesa, terlalu jelas menunjukkan kegelisahan. Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, sosok berjubah hitam itu menembus kerumunan, sesekali menoleh dengan ekor mata. Dan saat matanya menangkap sekilas bayangan tinggi besar bertopeng perak yang mengikuti, napasnya tercekat. Dia mempercepat langkah hingga hampir setengah berlari! Kaisar Lin Yi tidak terprovokasi. Dia tetap berjalan dengan langkah panjang yang mantap, tak menampakkan kegelisahan meski bayangan buruannya mulai menghilang di balik kerumunan di tengah jalur. Kerumunan padat orang-orang berwajah muram, transaksi rahasia yang sibuk dalam senyap, sekaligus kode rahasia. Hingga akhirnya, saat Kaisar melewati lorong sempit, sosok berjubah hitam itu benar-benar lenyap dari