Hari berikutnya. Paviliun utama kediaman permaisuri Yuwen telah dipersiapkan dengan cermat. Tirai-tirai sutra merah muda digantung di setiap sisi, lentera emas bergantungan, memantulkan cahaya lembut yang membuat ruangan tampak hangat sekaligus agung. Meja-meja kecil dipenuhi buah segar, kue-kue manis, dan teko arak harum. Permaisuri Yuwen duduk di kursi kehormatan, gaun sutranya yang berwarna ungu keemasan berkilau, dihiasi sulaman burung phoenix. Wajahnya bersinar, bukan hanya karena tata rias yang sempurna, melainkan karena kabar yang ingin dia tunjukkan pada dunia. Tangannya sesekali menyentuh perut yang belum begitu terlihat membesar, tapi cukup bagi siapa pun untuk mengerti maksudnya. Hari ini bukan perjamuan megah, hanya sebuah acara perayaan kecil yang dibuat seolah santai. Namun, setiap orang tahu, acara ini adalah cara Permaisuri Yuwen mengumumkan kehamilannya ke publik istana. Para tamu yang hadir sebagian besar berasal dari keluarga bangsawan terkemuka. Mereka para ist
Paviliun Qingxin begitu sunyi. Di taman kecilnya, Selir Mu Fei duduk seorang diri di kursi kayu tanpa sandaran, tubuhnya condong ke depan dengan kepala bersandar lemah di atas meja batu. Gaun yang membalutnya tampak kusut, warnanya pudar tertimpa cahaya sore yang suram. Rambut panjangnya sebagian terlepas dari sanggul, helai-helai kusut itu menutupi pipi pucatnya. Wajah yang dulu selalu dilabeli cantik mulus bak tanpa pori-pori, kini tampak kendur, kusam, seperti menua dalam semalam. Matanya setengah terpejam, tatapan kosongnya mengarah ke kolam kecil yang permukaannya beriak ringan. Namun, tidak ada kehidupan dalam sorotnya, seolah jiwa sudah meninggalkan tubuh, hanya cangkang rapuh yang tertinggal. Angin berhembus membawa guguran dedaunan kering, menempel di kain bajunya tanpa dia pedulikan. Aroma lembap dari batu-batu berlumut seolah meresap, membuat kesuraman itu semakin pekat. Seluruh paviliun itu, dengan bangunannya yang sederhana dan taman yang tampak terabaikan, menambah
Di paviliun permaisuri Yuwen. Salah satu pelayan wanita itu baru saja berbisik, melaporkan kedatangan Chun Mei, yang sekarang masih berjalan di jalan berbatu taman luar. Permaisuri Yuwen yang ada di kamarnya pun menoleh, melempar pandangannya ke luar. Tatapan wanita itu langsung jatuh ke sosok Chun Mei, yang kini masih melangkah ringan. Lalu, beralih pada Chu Qiao yang menyusul di belakangnya. Sepasang mata permaisuri Yuwen menyipit tanpa sadar, memperhatikan wajah Chu Qiao yang tidak berekspresi; tenang bagaikan batu giok yang tak bisa dibaca, tapi justru itulah yang membuat permaisuri Yuwen menaruh perhatian lebih. “Apa dia pelayan yang menemani Chun Mei di pondok Anhui?” Permaisuri Yuwen bertanya. Pelayannya mengikuti arah pandang sang nyonya sebelum mengangguk mengiyakan. “Iya, Yang Mulia.” Dagu permaisuri Yuwen sedikit terangkat. Ada sesak, yang dia lampiaskan dengan helaan napas berat. Dia tahu, pelayan yang dimaksud bukan sembarang pelayan. Hanya dalam waktu
Permaisuri Yuwen seketika membeku. Ujung jarinya yang masih menggenggam tangan Chun Mei perlahan mengeras, sebelum buru-buru dia tarik kembali. Seolah baru saja menyentuh bara, napasnya sedikit tertahan, matanya yang dingin berubah tegang. Dalam batinnya, dia menyesal telah berkata demikian. Hanya saja, wajah Permaisuri Yuwen tetap dipaksakan anggun, senyumnya samar, tapi di baliknya ada segurat kegelisahan yang sulit ditutupi. Dia menundukkan kepalanya sesaat, seakan menutupi sorot mata yang sempat goyah. Sementara Chun Mei masih berdiri tegak, senyumnya terjaga indah. Bukan senyum ramah, melainkan senyum tipis yang menutupi ribuan makna. Tidak menusuk, tidak pula hangat, cukup untuk membuat lawan bicaranya merasa terjebak dalam ruang tanpa pintu keluar. “Ah.” Dan permaisuri Yuwen lanjut memecahkan ketegangan sendiri. “Jadi kabar itu tidak benar, yah? Para pelayan memang pintar bergosip.” Permaisuri Yuwen secara tak langsung melimpahkan masalah pada pelayan. Padahal Chun
Chun Mei mengulurkan tangan putihnya yang ramping, jari-jari lentik itu menyentuh lengan Mu Fei dengan gerakan pelan tapi tegas. Dengan satu tarikan halus, Chun Mei mengangkat lengan Mu Fei, memaksa wanita itu berdiri kembali. Senyumnya tipis, indah,hanya bisa saja begitu menusuk hati. Suaranya terdengar manis, tapi sarat dengan nada menghina yang halus, membuat setiap katanya bagaikan jarum halus menusuk kulit. “Selir Mu Fei terlalu sopan,” ucap Chun Mei, seolah sedang menenangkan seorang adik yang canggung, “seakan-akan aku ini benar-benar sulit dijangkau.” Tatapan Chun Mei menyipit, menggelitik dengan rasa puas. Senyuman di bibirnya begitu tipis, tapi mampu membuat Mu Fei merasakan seolah dirinya sedang dipermalukan di depan pelayannya sendiri. Mu Fei menggertakkan giginya dalam-dalam, matanya berkilat marah, tapi wajahnya tetap dipaksakan lembut, bibirnya menekuk kaku dalam senyuman palsu. “Ratu Chun terlalu merendah,” jawabnya dengan suara bergetar samar, “bagiku, Ya
Kata-kata Kaisar Lin Yi barusan menggema di benak semua pejabat. Namun, tak seorang pun berani menjadi yang pertama. Mereka saling lempar pandang dari balik kepala yang menunduk, wajah mereka pucat, keringat dingin menetes di pelipis. Detik terasa panjang. Hingga akhirnya, seorang pejabat tua dari barisan kiri, dengan jubah kebesaran hitam panjangnya, menghela napas berat. Dia perlahan merendahkan tubuh, lalu bersujud dalam-dalam, suara seruannya terdengar mantap walau gemetar. “Hamba memberi hormat pada Ratu Chun!” suara itu menggema di aula besar, membuat atmosfer yang kaku sedikit retak. Seolah mendapat isyarat, pejabat lain pun segera menyusul. Satu per satu mereka menjatuhkan diri bersujud, suara-suara hormat mulai bersahutan, saling tindih, hingga bergemuruh. “Kami memberi hormat pada Ratu Chun!” “Kami memberi hormat pada Ratu Chun!” Gaung itu menebas hening, memenuhi seisi ruangan, hingga hanya tersisa tiga orang pejabat yang tetap tegak. Mereka berdiri kaku, wajah men