Para dayang Qingxin Pavilion menjerit tertahan, beberapa langsung berlutut memohon ampun, sementara dua pelayan pribadi Li Muwan melangkah maju, siap menuruti perintah.
Namun sebelum mereka sempat menyentuh Chun Mei— “Berhenti.” Suara itu tenang, namun menggema tajam bagai pedang baja menebas udara. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara. Dari sudut lorong panjang, tampak seorang pria berpakaian hitam kebesaran muncul perlahan, langkahnya mantap dan tenang. Di belakangnya, kasim kepala dan beberapa pengawal kerajaan menyusul dengan wajah pucat pasi. Mata Li Muwan membelalak. “Yang Mulia!” Chun Mei pun terpaku. Tubuhnya masih goyah, tapi hatinya seketika berdegup kencang, seolah mengenali siluet itu sebelum suara itu terdengar. Kaisar Lin Yi berdiri di sana, tatapannya dingin menelusuri wajah Li Muwan yang mulai gemetar. “Apakah aku memberi izin padamu untuk mencambuk siapa pun hari ini?” tanyanya pelan, namun penuh kuasa. Li Muwan langsung berlutut, wajahnya pucat seperti kertas. “Hamba... hamba hanya ingin menjaga tata tertib harem, Yang Mulia.” “Dengan menampar selir lain tanpa perintahku?” “Hamba... hamba hanya—” “Ssst.“ Lin Yi mengangkat tangannya. “Aku sudah bosan dengan alasan dan kebiasaan lama di istana ini.” Dia menoleh pada Chun Mei, yang masih berdiri diam di beranda, pipinya memerah karena tamparan. Untuk pertama kalinya, Lin Yi berjalan mendekat, dan semua yang menyaksikan menahan napas. Kaisar berdiri di depan Chun Mei, lalu mengangkat tangannya perlahan. Bukan untuk menyentuh pipi itu, tetapi untuk mengambil bunga yang jatuh dari tangan Chun Mei. “Bunga ini... jenis yang hanya tumbuh di sisi barat istana,“ ucapnya ringan, “aku tahu karena aku yang menanamnya.” Chun Mei menatapnya, bingung dan masih linglung. Napasnya nyaris tercekat. “Jadi... Anda... bukan kasim taman.” Lin Yi tersenyum kecil. “Apakah aku terlihat seperti kasim?” Beberapa dayang tertawa gugup, tapi segera bungkam karena tatapan tajam sang Kaisar. Lalu, dengan gerakan tenang, Lin Yi memutar tubuhnya, menatap Li Muwan yang masih berlutut. “Li Muwan,” ucapnya datar, “mulai hari ini, kekuasaanmu atas urusan harem dicabut sementara. Kamu akan tinggal di Paviliun Yue selama satu bulan, tanpa pelayan pribadi.” “Yang Mulia! Tidak! Hamba—!” “Kalau kamu menolak,” potong Lin Yi, “aku bisa mencabut selamanya.” Li Muwan akhirnya tertunduk diam, wajahnya penuh luka harga diri yang terkoyak. Dia menggertakkan gigi, tapi tak berani berkata apa-apa lagi saat dia diseret perlahan oleh pengawal istana. Kaisar berbalik pada Chun Mei. Tatapannya kini berbeda, tidak lagi penuh selidik, tapi perlahan melunak. “Pipimu sakit?” Chun Mei mengangguk pelan tapi sedetik kemudian menggeleng cepat. Lin Yi melangkah mundur. “Besok, akan ada tabib istana yang datang. Dan mulai malam ini, Paviliun Qingxin akan mendapat jatah makanan yang sama dengan Paviliun utama.” Chun Mei tampak ingin berkata sesuatu, tapi mulutnya hanya terbuka sedikit. Sementara itu, dari kejauhan, suara genderang malam berdentum perlahan. Langit mulai gelap, dan lampu-lampu istana menyala satu per satu, membentuk jalur cahaya yang indah menuju aula utama. Sebelum pergi, Lin Yi menatap Chun Mei sekali lagi, lalu berkata: “Lain kali... jika aku mengirimi bubur, jangan diuji dengan jarum perak. Rasanya jadi hambar.” Chun Mei membeku, matanya membelalak. Dia tak tahu... bahwa Kaisar mengetahuinya. Dan Lin Yi, dengan senyum tenang di wajahnya, berbalik, melangkah menjauh seperti tak terjadi apa-apa. Sementara itu... Chun Mei terduduk lemas. Sorot matanya tak menyangka. Berusaha keras dia menghindari pertemuannya dengan Kaisar Lin Yi... takdir malah bukan hanya membuat mereka bertemu, tetapi juga sepertinya membuat Kaisar sedikit tertarik. Ya! Chun Mei tidak bodoh. Dengan tampangnya sekarang yang cantik alami, jangankan Kaisar Lin Yi, kalau iblis pun bisa terpikat. *** Langkah-langkah Lin Yi menggema tenang di koridor batu giok istana utama. Malam telah larut, namun pikirannya sama sekali belum mengantuk. Angin musim gugur menerpa tirai-tirai sutra yang menjuntai, mengibarkan aromanya yang dingin dan samar getir, tapi tidak lebih getir dari rasa di dadanya sendiri. Setelah melewati aula utama, dia tak langsung ke kamar. Justru, dia menuju ruang kerjanya yang sunyi, tempat di mana hanya ada meja kayu besar, gulungan-gulungan laporan negara, dan dirinya—seorang Kaisar yang kini merasa... berpikir terlalu banyak. Begitu pintu ditutup, Lin Yi melepas ikat pinggang naganya, duduk di kursi besar bersandarkan ukiran naga, lalu menatap jendela terbuka lebar. Dari sana, samar-samar dia bisa melihat arah Paviliun Qingxin. Jaraknya jauh, tapi pikirannya menembus batas batu dan kayu seperti bayangan tak kasat mata. Chun Mei. Nama itu muncul lagi. Dan kali ini, bukan sebagai selir rendahan, bukan sekadar catatan yang tertumpuk debu. Melainkan sebagai seseorang yang membuatnya turun tangan langsung malam ini. Dia sendiri terkejut—mengapa? Bukan karena cinta, tentu saja. Belum. Tapi karena sorot mata gadis itu. Sorot mata yang tak memintanya untuk apa-apa. Tak berharap. Tak bersiasat. Sejak kecil Lin Yi tumbuh dikelilingi politik. Ibunya, yang mati muda karena racun. Saudara tirinya, yang mati karena saling menjatuhkan. Istrinya yang pertama, Permaisuri resmi dari keluarga bangsawan—seorang wanita sempurna, tapi pandai memanipulasi dengan senyuman. Dan kini, istananya dipenuhi selir-selir yang cantik tapi penuh kepalsuan. Semuanya bicara manis, semua menunduk seperti patung kesetiaan, tetapi di belakangnya mereka mencakar dan berburu pengaruh. Lalu muncullah Chun Mei. Tak meminta apa-apa. Tak berusaha memikat. Bahkan tak tahu bahwa pria yang ia tolong adalah dirinya, Kaisar. Dan hari ini, ketika ditampar, dia tidak menangis. "Kenapa kamu tidak membela dirimu?" gumam Lin Yi sambil menutup mata, kepalanya menyandar pada kursi. Bayangan pipi Chun Mei yang memerah itu muncul kembali dalam benaknya. Bukan karena kelembutan, bukan karena simpati semata, melainkan karena... ketenangan gadis itu menusuk logikanya. Orang seperti itu seharusnya tidak ada di istana. Tapi dia ada. “Chun Mei,” bisiknya lirih. Tangannya terulur, mengambil sebuah gulungan laporan yang tadi belum sempat dibaca. Tapi saat hendak membukanya, pikirannya kembali melayang. Teringat saat bubur itu dia pesan secara pribadi pada dapur istana. Dia bahkan memastikan tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, dan diberi sedikit jahe karena malam sudah mulai dingin. Namun, gadis itu menguji bubur dengan jarum perak. Lin Yi mendengus pelan. Bukan karena marah, tapi geli. “Dia bukan orang yang mudah dijebak.” Pria itu bangkit, berjalan ke rak di sisi dinding, lalu menarik laci kecil. Dari sana, dia mengambil benda kecil yang terbuat dari perak murni, mengilap meski usianya sudah lama. Jarum perak. “Dulu ibuku juga selalu menyimpan benda seperti ini di lengan bajunya,” gumamnya. Lin Yi menggenggam jarum itu, menatap ujungnya lama sekali. Kemudian dia kembali duduk, menulis satu perintah kecil di atas lembaran kayu bambu. “Mulai besok, tambahkan satu tabib istana di daftar penjagaan Paviliun Qingxin. Pastikan dia ahli dalam luka ringan dan obat penyejuk.” Tangannya berhenti sebentar, sebelum menambahkan satu kalimat: “Dan pastikan tabib itu tidak suka bicara.”“Siapa di sana?!” Seruan keras seorang pria memecah sunyi di tepi sungai. Tiga pelayan yang sedang menahan Liu Ning sontak terkejut. Tatapan mereka saling bertemu, penuh kepanikan. Tanpa pikir panjang, mereka serentak melepaskan Liu Ning begitu saja. Tubuh gadis itu terhempas ke tanah becek di tepi sungai, terdengar suara berat dari dadanya yang berusaha mencari udara. Rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru, matanya merah basah, nyaris kehilangan kesadaran. “Cepat lari! Kalau ketahuan kita bisa habis!” bisik salah satu pelayan panik. Mereka bertiga segera menerobos semak belukar dan ilalang tinggi tanpa menoleh ke belakang, langkah-langkah mereka terburu, meninggalkan Liu Ning tergeletak sendirian. Air sungai terus bergemuruh, seakan menyaksikan penderitaannya. Beberapa saat kemudian, dari arah jalur setapak, seorang pria muncul. Pakaian prajurit membalut tubuh tegapnya, tombak panjang tergenggam di tangan. Sorot matanya tajam, terlatih untuk membaca keadaan. Di
“Selir Agung!” Nyonya Xu mendorong seorang pelayan muda masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah berair seolah tak tidur semalam suntuk. Gerakannya gelisah, tangannya terus-menerus meremas jubahnya sendiri. Selir Agung yang tengah bersandar di kursi berlapis sutra mengangkat kepala perlahan. Seketika, alisnya terangkat tipis. Itu pelayan yang beberapa waktu lalu dia jadikan ‘kelinci percobaan’. Kali ini penampilan pelayan polos itu benar-benar berbeda. Sorot matanya kosong sekaligus berkilat aneh, ada bekas goresan di pergelangan tangannya, sedikit tampak dari balik lengan jubahnya. Gerakannya terguncang, seperti orang yang tengah kecanduan sesuatu yang tak kasat mata. Pelayan itu terhuyung ke depan, hampir jatuh berlutut. Dengan suara serak, dia memohon, “Nyonya, wewangian itu, berikan lagi pada hamba, hamba mohon. Tanpa aromanya, dada hamba sesak, kepala hamba berdenyut, hamba bisa gila!” Matanya membelalak, tangannya meraih ke udara, seolah ingin
Di dalam kamar gelap itu, hanya satu pelita kecil di sudut yang memancarkan cahaya redup. Chu Qiao duduk bersila di lantai, gaun merahnya kusut dan sedikit robek di bagian bahu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Tangannya membuka lipatan peta yang tadi nyaris mengorbankan nyawanya. Kertas tua itu memancarkan aroma lembab yang khas, dengan garis-garis halus yang membentuk jalur-jalur rahasia dan tanda-tanda yang hanya bisa dibaca oleh orang tertentu. Dia mengamati dengan seksama, matanya bergerak cepat mengikuti setiap garis. Kemudian, perlahan, dia mengangkat pewarna bibir yang diambil langsung dari bibirnya. Dengan ujungnya, dia memberi tanda bulat kecil berwarna merah di beberapa titik peta. Titik-titik itu adalah lokasi yang pernah dia datangi, yakni markas pelatihan pasukan tersembunyi Zhuge Liang. Tempat-tempat itu masih aktif hingga sekarang. Hanya tersisa dua titik terakhir yang belum dia jamah. Di salah satunya, dia yakin, Zhuge Liang bersembunyi. Bibirnya men
Chu Qiao melangkah masuk dengan gerakan anggun, kain gaunnya melambai pelan seperti disapu angin tipis.Dia membawa pipa berukir halus, serta permukaan kayu mengilap. Aroma cendana yang samar mengikuti, menambah kesan misterius pada kehadirannya.Tuan Ding duduk bersandar di kursi rendah berlapis beludru merah. Satu tangan memegang cawan arak, tangan lainnya bertumpu di sandaran kursi. Bibirnya melengkung membentuk senyum puas ketika melihat wanita itu menghampiri.“Silakan,” suaranya berat, tapi mengandung nada memerintah.Chu Qiao menunduk sopan. Dia duduk di atas bantal tipis di hadapannya. Dia meletakkan pipa di pangkuan, jemari lentiknya menyentuh senar dengan kelembutan seorang perawan desa, tapi matanya menyimpan ketajaman yang tak pernah tumpul.Nada pertama mengalun, bening, jernih, seperti tetes embun jatuh di permukaan batu. Nada berikutnya menyusul, membentuk alunan melodi yang mengisi ruangan, mengalahkan suara riuh di bawah. Gerakan jemarinya lincah dan terukur, sementar
Di kediaman jenderal.Uap panas mengepul memenuhi ruangan dengan aroma kayu pinus yang samar. Air dalam bak mandi beriak pelan setiap kali jenderal Shang Que bergerak. Bahunya yang lebar terendam sebagian, otot-otot punggungnya tampak tegang, meski air hangat seharusnya mampu membuat tubuh rileks. Rambutnya yang panjang dan basah terurai di permukaan air, sebagian lagi menempel di kulitnya.Di balik papan rendah berlukis danau dengan bunga teratai, suara langkah kaki terdengar sebelum terhenti tepat di luar bak mandi.“Jenderal,” suara itu datar, tapi penuh hormat, “informasi tentang Chu Qiao sudah kami peroleh.”Shang Que tidak segera menjawab. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit, isyarat agar bawahannya melanjutkan.“Dia lahir dari keluarga petani di perbatasan barat, hidup berpindah-pindah mengikuti musim panen. Ayah dan ibunya meninggal saat dia berusia tujuh belas tahun. Sejak berusia 9 tahun, dia berlatih bela diri sendiri dengan bimbingan seorang pedagang keliling yang pern
Kaisar Lin Yi menunduk sedikit, sorot matanya dingin menembus ke arah wanita tua yang kini masih terduduk di lantai. “Kepala ini tidak akan berada di sini kalau dia tidak menyebut satu nama sebelum mati.” Pelayan pribadi Nenek Permaisuri menunduk lebih dalam, bahunya bergetar. Sehelai rambutnya jatuh menutupi pipi yang memucat. Dia tahu, sedikit saja salah gerak, kepalanya bisa menjadi yang berikutnya. “Aku hanya ingin mendengar dari mulut Nenek,” lanjut Kaisar pelan, setiap katanya seperti setetes air yang jatuh di permukaan batu; lambat tapi menghantam tepat sasaran. “Nenek pasti tidak asing dengan wajah ini, dan kalau sudah merasa demikian, Nenek juga pasti tahu kenapa kepalanya bisa sampai di sini.” Nenek Permaisuri mencoba bicara, hanya saja suaranya tercekat, nyaris tak terdengar. “Yi'er, hanya karena Chun Mei, kamu bertindak sekejam ini.” “Hanya karena Chun Mei?” ulang Kaisar diikuti tawa sumbang, yang terasa memekakkan telinga nenek Permaisuri maupun pelayannya. Seumur-