Pagi datang dengan embun yang menetes pelan di ujung dedaunan. Cahaya mentari menyusup malu-malu di balik kisi-kisi jendela, menyorot lantai batu yang masih lembap oleh embun dini hari. Sayangnya di dalam Paviliun Qingxin, Chun Mei tak bisa merasa hangat.
Dia duduk di dekat ranjang, membungkus dirinya dengan selendang tipis sambil menatap jendela yang terbuka setengah. Pipinya masih memar, tidak begitu parah, tapi cukup membuat cermin perunggu menjadi musuh pagi ini. “Dia datang sendiri,“ bisiknya. Bukan mimpi, bukan dongeng. Kaisar Lin Yi datang sendiri dan menghentikan Li Muwan. Bahkan memberinya bubur. Bahkan mengirim tabib pagi-pagi buta tadi. Dan itu membuat Chun Mei menggigil. Bukan karena haru, tetapi karena takut. “Tidak! Aku tidak butuh perhatian seperti itu.” Tangannya mencengkeram selendang. Dia menatap bayangan dirinya di mangkuk teh yang sudah dingin. Sorot matanya masih sama seperti gadis yang dulu melangkah masuk ke istana, penuh perhitungan, penuh ketakutan. Takut mati! Ya. Di istana ini, perhatian Kaisar adalah pedang bermata dua. Hari ini kamu mungkin naik, tapi besok kamu bisa dipotong habis-habisan. "Li Muwan bukan satu-satunya musuh," gumamnya, "dia hanya singa di depan mata, sedangkan anjing-anjing dalam bayangan, mereka lebih sulit ditebak." Ucapan Chun Mei benar! Baru tadi pagi, saat tabib mengoleskan obat di pipinya, dua pelayan baru yang belum pernah dia lihat sebelumnya sibuk membereskan ranjang dan jendela. Salah satunya dengan terang-terangan memandang Chun Mei dari atas ke bawah kemudian berbisik ke temannya, "Orang sepertinya bisa menarik perhatian Kaisar? Istana ini memang tak ada keadilannya." Chun Mei pura-pura tidak mendengar, tetapi telinganya tajam, dan hatinya tahu ini baru permulaan. “Kita bukan di taman bunga,” pikirnya, “tapi di sarang ular yang setiap ekornya pakai bedak wangi juga senyum palsu.” Dia bangkit, berjalan ke halaman kecil tempat tanaman-tanamannya tumbuh. Dia pernah berkata pada dirinya sendiri, kalau dia harus mati, biarlah dia mati dengan tenang. Namun, nyatanya ketenangan tak akan menyelamatkan siapa pun di istana. “Kalau aku tetap di sini, tetap seperti ini, cepat atau lambat mereka akan membuatku menghilang.” Angin berembus, membawa aroma kamper dari jubah pelayan yang lewat. Chun Mei mengencangkan selendangnya. Tatapannya kosong, tapi napasnya mulai tenang. Dia harus menyusun rencana. Dia tidak akan menyerang siapa pun, tetapi dia akan bertahan. Menghindari Kaisar adalah langkah pertama. Bukan karena dia membenci Kaisar Lin Yi, melainkan karena dia tak bisa membaca isi hati pria itu. Hari ini dia menolong, sementara besok? Bukankah Kaisar juga orang yang bisa menghukum, memenjarakan, atau bahkan menghilangkan seseorang hanya karena angin berubah arah? Tidak. Dekat dengan Kaisar bukanlah keselamatan. Itu adalah peluru dengan permukaan emas. “Yang harus kulakukan sekarang adalah tetap tak terlihat,” bisiknya. Tapi Chun Mei tak tahu bahwa pagi ini, di aula istana, nama “Chun Mei” telah disebut dalam tiga percakapan berbeda. Dan tiga di antaranya bukan berasal dari Kaisar. Salah satunya berasal dari Selir Zhou, wanita dengan kecantikan anggun dan senyum seperti matahari musim semi, yang juga merupakan wanita keluarga bangsawan Zhou; si ahli penyuling wewangian. Kedua datang dari Nenek Permaisuri, yang telah puluhan tahun mengatur urusan dalam harem, dan merasa terancam karena seorang gadis pinggiran kini menimbulkan gejolak baru. Ketiga dari Selir Mu Fei, sekutu Li Muwan, yang kini diam-diam memerintahkan pelayannya. “Cari tahu siapa sebenarnya Chun Mei itu. Dan jika dia tumbuh terlalu cepat, potong akarnya sebelum dia menjadi pohon.” *** Waktu berselang. Hidup adalah seni menghindar. Dan Chun Mei adalah murid yang cepat belajar. Sejak tamparan itu, sejak kehadiran sang Kaisar yang nyaris tak bisa dia percaya, Chun Mei memutar ulang semua strategi yang pernah dia pelajari dalam kehidupan sebelumnya. Dia tak mau terlihat menonjol! Tabib datang setiap pagi atas perintah Kaisar, tapi Chun Mei selalu meminta agar dia diperiksa di dalam kamar, dengan pintu tertutup. Setiap kali sang tabib bertanya soal luka atau kesehatannya, dia hanya menjawab pelan, cukup satu dua patah kata. Tak ada keluhan, tak ada senyum, hanya formalitas yang membuatnya tetap hidup. Pelayan pribadinya, Xiaoping, suatu pagi membawa kabar bahwa ada kasim istana dari bagian logistik datang bertanya-tanya soal Paviliun Qingxin. Sejak saat itu, Chun Mei hanya keluar taman saat fajar, sebelum para pengintai bangun. Sisanya, dia memilih bersembunyi di ruang menjahit, menyulam bunga plum di atas kain abu-abu yang membosankan. Hari berganti, dua selir dari Paviliun selatan tiba-tiba mampir "untuk berkenalan". Mereka datang dengan membawa buah kering dan kata-kata manis, tapi Chun Mei mengenali nada lembut yang terlalu hati-hati, nada seorang musuh yang menyamar sebagai kawan. "Aku dengar Yang Mulia mengirim bubur ke tempatmu, ah, sungguh beruntung," ucap salah satu selir sambil menyuapkan manisan ke mulut sendiri. "Aku hanya kebetulan ditolong seorang kasim," jawab Chun Mei, menunduk sopan, "dan bubur itu sepertinya kesalahpahaman.” "Kesalahpahaman yang hanya diterima oleh satu orang, ya?" balas selir satunya, dengan senyum yang begitu cantik hingga terasa dingin. Chun Mei hanya tertawa pelan. “Aku hanya berharap tak ada yang salah paham lebih jauh. Hidupku terlalu biasa untuk jadi bahan iri hati.” Kedua selir itu pulang, membawa senyum manis dan mungkin, kabar ke banyak telinga, tetapi Chun Mei tahu, kata-kata yang membosankan adalah senjata terbaiknya sekarang. Malam itu, di Kamar Chun Mei. Cahaya lilin menari lembut. Di hadapannya, sebuah kertas kecil terbuka. Tulisannya bukan puisi, bukan doa, melainkan catatan strategi. Hindari semua acara istana. Jangan berada di tempat terbuka lebih dari 10 menit. Pastikan semua makanan diuji dua kali. Jangan pernah menghadap Kaisar, kecuali diperintah langsung oleh kasim utama sendiri. Dia menggigit bibirnya. Tak mudah menjalani hari dengan bayangan kematian selalu mengintai, tapi Chun Mei telah mati satu kali dalam kehidupan sebelumnya. Dia tidak ingin kehilangan nyawa yang kedua karena perhatian seorang pria, meski pria itu adalah Kaisar. “Orang sepertiku,” batinnya, “tidak dilahirkan untuk dicintai oleh penguasa. Aku bukan bunga teratai. Aku hanya rumput yang tumbuh di celah batu, tak cantik, tapi bertahan.” Lalu, angin malam menerpa tirai, dan terdengar ketukan pelan di jendela. Deg. Chun Mei menoleh tajam. Xiaoping sedang tidur. Tak ada jadwal siapa pun datang malam-malam begini. Ketukan terdengar lagi. Lebih keras. Dengan hati-hati, Chun Mei meraih jarum perak dari balik rambutnya. Dia mendekati jendela, menahan napas. Ketika dia membuka celah kayu, tidak ada siapa pun. Dan di bawah jendela, ada benda kecil terbungkus kain merah. Begitu dia buka, di dalamnya ada sepasang anting giok putih. Tidak terlalu mewah, tapi jelas bukan milik siapa pun dari Paviliun Qingxin. Ada secarik kertas kecil di dalamnya, dengan tulisan tangan yang dikenal. “Untuk perempuan yang tidak meminta apa pun, tapi membuat orang terus mengingatnya.” Chun Mei tak perlu berpikir lama. Tangannya gemetar. Bibirnya menggumam. "Jangan lakukan ini, Yang Mulia, aku mohon, jangan." Menerima hadiah dari Kaisar menjadi kebanggaan tersendiri untuk selir lain, tetapi bagi Chun Mei sungguh seperti kiriman kabar kematian.“Nyonya, ada yang menghalangi jalan, mereka terlihat seperti bandit gunung.” Sambil tetap memacu kuda, kusir melaporkan. Chun Mei tahu jalan menuju pos 7 ini kurang aman, tetapi dia juga tak punya jalan lain kecuali melewatinya. Kemudian wanita itu berkata, “Berhenti! Aku akan bicara pada mereka.” Kusir. “...” Awalnya bergeming, tetapi akhirnya mengikuti perintah Chun Mei. Menarik tali kekang kudanya. Kuda meringkik, perlahan tapi pasti berhenti saat itu juga. Barulah Chun Mei menyandarkan Liu Ning, dilanjut menyibak tirai penutup gerbong hanya untuk menunjukkan diri, menghadapi para bandit itu tanpa rasa gentar sedikit pun di wajahnya. “Aku hanya selir miskin, tidak punya banyak harta selain kereta kuda ini dan ini—” Chun Mei tidak mau ribut, tidak mau perjalanan tertunda lebih lama. Di dalam, nyawa Liu Ning jauh lebih penting! Jalan mereka terhalang bandit gunung, dan mereka tidak akan pantang menyerah kalau belum mendapatkan harta yang diinginkan, jadi Chun Mei tanpa r
“Siapa di sana?!” Seruan keras seorang pria memecah sunyi di tepi sungai. Tiga pelayan yang sedang menahan Liu Ning sontak terkejut. Tatapan mereka saling bertemu, penuh kepanikan. Tanpa pikir panjang, mereka serentak melepaskan Liu Ning begitu saja. Tubuh gadis itu terhempas ke tanah becek di tepi sungai, terdengar suara berat dari dadanya yang berusaha mencari udara. Rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru, matanya merah basah, nyaris kehilangan kesadaran. “Cepat lari! Kalau ketahuan kita bisa habis!” bisik salah satu pelayan panik. Mereka bertiga segera menerobos semak belukar dan ilalang tinggi tanpa menoleh ke belakang, langkah-langkah mereka terburu, meninggalkan Liu Ning tergeletak sendirian. Air sungai terus bergemuruh, seakan menyaksikan penderitaannya. Beberapa saat kemudian, dari arah jalur setapak, seorang pria muncul. Pakaian prajurit membalut tubuh tegapnya, tombak panjang tergenggam di tangan. Sorot matanya tajam, terlatih untuk membaca keadaan. Di
“Selir Agung!” Nyonya Xu mendorong seorang pelayan muda masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah berair seolah tak tidur semalam suntuk. Gerakannya gelisah, tangannya terus-menerus meremas jubahnya sendiri. Selir Agung yang tengah bersandar di kursi berlapis sutra mengangkat kepala perlahan. Seketika, alisnya terangkat tipis. Itu pelayan yang beberapa waktu lalu dia jadikan ‘kelinci percobaan’. Kali ini penampilan pelayan polos itu benar-benar berbeda. Sorot matanya kosong sekaligus berkilat aneh, ada bekas goresan di pergelangan tangannya, sedikit tampak dari balik lengan jubahnya. Gerakannya terguncang, seperti orang yang tengah kecanduan sesuatu yang tak kasat mata. Pelayan itu terhuyung ke depan, hampir jatuh berlutut. Dengan suara serak, dia memohon, “Nyonya, wewangian itu, berikan lagi pada hamba, hamba mohon. Tanpa aromanya, dada hamba sesak, kepala hamba berdenyut, hamba bisa gila!” Matanya membelalak, tangannya meraih ke udara, seolah ingin
Di dalam kamar gelap itu, hanya satu pelita kecil di sudut yang memancarkan cahaya redup. Chu Qiao duduk bersila di lantai, gaun merahnya kusut dan sedikit robek di bagian bahu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Tangannya membuka lipatan peta yang tadi nyaris mengorbankan nyawanya. Kertas tua itu memancarkan aroma lembab yang khas, dengan garis-garis halus yang membentuk jalur-jalur rahasia dan tanda-tanda yang hanya bisa dibaca oleh orang tertentu. Dia mengamati dengan seksama, matanya bergerak cepat mengikuti setiap garis. Kemudian, perlahan, dia mengangkat pewarna bibir yang diambil langsung dari bibirnya. Dengan ujungnya, dia memberi tanda bulat kecil berwarna merah di beberapa titik peta. Titik-titik itu adalah lokasi yang pernah dia datangi, yakni markas pelatihan pasukan tersembunyi Zhuge Liang. Tempat-tempat itu masih aktif hingga sekarang. Hanya tersisa dua titik terakhir yang belum dia jamah. Di salah satunya, dia yakin, Zhuge Liang bersembunyi. Bibirnya men
Chu Qiao melangkah masuk dengan gerakan anggun, kain gaunnya melambai pelan seperti disapu angin tipis.Dia membawa pipa berukir halus, serta permukaan kayu mengilap. Aroma cendana yang samar mengikuti, menambah kesan misterius pada kehadirannya.Tuan Ding duduk bersandar di kursi rendah berlapis beludru merah. Satu tangan memegang cawan arak, tangan lainnya bertumpu di sandaran kursi. Bibirnya melengkung membentuk senyum puas ketika melihat wanita itu menghampiri.“Silakan,” suaranya berat, tapi mengandung nada memerintah.Chu Qiao menunduk sopan. Dia duduk di atas bantal tipis di hadapannya. Dia meletakkan pipa di pangkuan, jemari lentiknya menyentuh senar dengan kelembutan seorang perawan desa, tapi matanya menyimpan ketajaman yang tak pernah tumpul.Nada pertama mengalun, bening, jernih, seperti tetes embun jatuh di permukaan batu. Nada berikutnya menyusul, membentuk alunan melodi yang mengisi ruangan, mengalahkan suara riuh di bawah. Gerakan jemarinya lincah dan terukur, sementar
Di kediaman jenderal.Uap panas mengepul memenuhi ruangan dengan aroma kayu pinus yang samar. Air dalam bak mandi beriak pelan setiap kali jenderal Shang Que bergerak. Bahunya yang lebar terendam sebagian, otot-otot punggungnya tampak tegang, meski air hangat seharusnya mampu membuat tubuh rileks. Rambutnya yang panjang dan basah terurai di permukaan air, sebagian lagi menempel di kulitnya.Di balik papan rendah berlukis danau dengan bunga teratai, suara langkah kaki terdengar sebelum terhenti tepat di luar bak mandi.“Jenderal,” suara itu datar, tapi penuh hormat, “informasi tentang Chu Qiao sudah kami peroleh.”Shang Que tidak segera menjawab. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit, isyarat agar bawahannya melanjutkan.“Dia lahir dari keluarga petani di perbatasan barat, hidup berpindah-pindah mengikuti musim panen. Ayah dan ibunya meninggal saat dia berusia tujuh belas tahun. Sejak berusia 9 tahun, dia berlatih bela diri sendiri dengan bimbingan seorang pedagang keliling yang pern