LOGINMalam hari, Paviliun Naga Emas milik Kaisar Lin Yi.
Langit Luoyang malam itu tampak pucat. Awan tipis menggantung di langit seperti selubung mimpi yang enggan pecah. Di dalam ruang pribadinya, Lin Yi duduk sendirian, mengenakan jubah tidur bersulam awan naga. Cahaya lentera di dekatnya bergetar pelan oleh angin yang menyusup dari celah pintu. Di hadapannya tergeletak sepasang anting giok putih, masih terbungkus kain merah yang dia titipkan lewat kasim paling setianya malam tadi. Dia memandang benda itu lama. Tak ada senyum. Tak ada geram. Hanya sunyi. "Dia tidak mengambilnya?" tanya Lin Yi akhirnya, pelan. Kasim kepala menunduk dalam-dalam. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Selir itu hanya menatapnya lama, sebelum meletakkannya kembali di ambang jendela. Dia bahkan tidak menyuruh siapa pun mengambilnya." Lin Yi tak menjawab. Keheningan yang tercipta lebih menusuk dari amarah. Di meja samping, tumpukan dokumen negara belum disentuh. Bahkan laporan dari perbatasan barat yang biasanya membuatnya waspada, kini terabaikan. Karena pikiran sang Kaisar terperangkap pada satu nama Chun Mei. "Aku sudah melihat banyak wajah wanita," batinnya, "tapi belum pernah ada yang lari dariku dengan ketakutan seperti itu. Bukan benci, bukan malu, melainkan benar-benar takut." Tangan Lin Yi mengepal. Bukan karena marah padanya, tapi marah pada dinding tak terlihat yang dipasang Chun Mei di antara mereka. “Apa aku setakut itu di matanya?” Dia adalah Kaisar. Setiap langkahnya disembah. Setiap tatapan mata orang lain padanya, penuh harap, penuh bujuk, atau penuh pura-pura, tapi Chun Mei… “Dia bahkan tidak ingin dilihat olehku.” Dari laporan kasim istana, Lin Yi tahu, Chun Mei kini menghindari keluar rumah lebih dari sepuluh menit. Tidak pernah ikut kegiatan istana. Chun Mei sedang bersembunyi dari dirinya! Dia berdiri, berjalan pelan menuju jendela. Memandang gelap malam yang dingin dan asing. Di balik bayang-bayang pohon cemara jauh di sana, dia tahu ada satu paviliun yang terang hanya oleh lentera kecil. Paviliun Qingxin. “Apa dia pikir aku akan menyakitinya?” Kening Lin Yi mengerut. Dendam tak terlintas di benaknya. Tidak juga nafsu. Yang ada hanya rasa ingin tahu yang berubah menjadi obsesi diam. Di bawah rasa itu, perlahan tumbuh perasaan yang jauh lebih sulit dimengerti. Kekaguman! Kekaguman pada wanita yang tidak meminta apa-apa. Tiba-tiba, dia teringat percakapan dengan Jenderal Shang Que dua hari lalu, saat mereka duduk minum arak di Balai Angin Musim Gugur. “Hati-hati, Yang Mulia. Rasa penasaran seperti itu bisa berubah jadi luka.” “Apa maksudmu, Shang Que?” “Perempuan yang tak meminta apa-apa biasanya punya alasan yang sangat besar untuk tidak meminta.” Lin Yi memejamkan mata. Lalu, membuka kembali. Matanya tenang, tapi di dalamnya bergolak keputusan. “Jika dia menolak hadiahku, maka lain kali aku akan datang sendiri.” Karena baginya, Chun Mei bukan sekadar selir. Bukan sekadar hiburan istana. Wanita itu bagai misteri terakhir yang belum bisa ditaklukkan. Sementara Kaisar Lin Yi, penguasa seluruh negeri, tidak terbiasa dibiarkan bertanya-tanya. *** Desas-desus adalah mata uang utama di dalam istana harem. Lebih tajam dari pedang, lebih cepat dari burung merpati, dan lebih mematikan dari racun teh malam. Dan pagi itu, kabar itu meledak seperti petir di langit cerah. “Yang Mulia Kaisar mengirim hadiah kepada Chun Mei dari Paviliun Qingxin.” Awalnya hanya bisik-bisik di antara para pelayan istana bagian dapur. Lalu, kasim rendah ikut menambah bumbu. Dalam waktu dua jam, kabar itu sudah mencapai meja makan pagi milik para selir. Di Paviliun Musim Panas, milik Selir Mu Fei. “Chun Mei?” ulangnya sambil mengangkat alis, “yang dulu tidak pernah tampil di festival? Yang bahkan tak ikut upacara awal tahun itu?” “Benar, Nyonya,” jawab pelayannya, nyaris berbisik, "hadiah itu dikirim malam-malam, bukan lewat jalur resmi, tapi langsung melalui kasim kepala Kaisar.” Cangkir tehnya terhenti di udara. Mata Selir Mu bersinar, tidak dengan kekaguman, tetapi perhitungan. “Li Muwan kalah cepat dan Kaisar sedang main rahasia dengan selir rendahan?” “Siapkan aku satu set kalung mutiara. Kita akan kirim ke Paviliun Qingxin. Katakan sebagai ucapan simpati atas insiden tempo hari, tapi pastikan kalung itu bukan yang paling bagus.” Pelayannya mengangguk dan berlalu. Selir Mu Fei tersenyum tipis. “Aku ingin lihat seberapa lama dia bisa bertahan di atas lumpur ini.” Sementara di Paviliun milik Selir Zhou “Apa dia mencuri mantra pemikat?” gerutu Selir Zhou, melemparkan sisir ke lantai. Dia dikenal sebagai wajah tercantik di istana. Hanya saja, kecantikan itu tak pernah berhasil memikat Kaisar, sampai rela bertindak diam-diam. Seakan khawatir tindakannya bak pedang bermata dua. “Dan sekarang? Dia malah mengirimi hadiah ke perempuan yang bahkan tak punya lukisan potret di aula utama?” “Dia pasti menyihir Kaisar,” desisnya pada pelayan pribadinya. Pelayan wanita itu hanya diam. Karena semua orang tahu, Chun Mei tidak menyihir siapa pun. Dia hanya tidak melakukan apa-apa. Dan justru itu yang membuat para wanita istana, yang seumur hidup berlomba mempercantik diri, mempermanis suara, menulis puisi atau menari, merasa seolah dipermalukan. Satu wanita yang tidak berbuat apa pun kini jadi pusat perhatian sang Kaisar! Sedangkan di paviliun Yue, tempat Li Muwan terkurung; menjalani hukuman. Berbeda dari selir lain yang murka atau penasaran, Li Muwan duduk tenang di balik tirai usang. Jemarinya memainkan giwang baru, bukan yang jatuh kemarin, tapi sepasang giwang giok yang mirip sekali dengan yang dikirim ke Chun Mei. “Jadi, itu permainanmu, Yang Mulia?” batinnya, "kamu beri giok putih pada perempuan seperti dia, dan merahasiakannya dari seluruh dunia?” Pelayan pribadinya mengendap-endap masuk, menunduk dalam. “Nyonya, Selir Chun Mei katanya tidak menyentuh giok itu. Dia hanya melihatnya sebelum menutup jendela.” Senyum tipis melintas di wajah Li Muwan. “Ah,” katanya perlahan," jadi dia bukan perempuan bodoh, tetapi dia lupa satu hal.” “Semakin dia menghindar, semakin dalam Kaisar akan terjerat.” Dia berdiri. Gaunnya berkibar pelan. Di tangannya, tongkat phoenix bergeser ringan ke ubin hitam. “Perang belum selesai. Kita lihat, apakah Kaisar benar-benar akan melindunginya, atau sekadar menjadikannya hiburan baru yang bisa dibuang kapan saja.” Sementara itu, dari balik dinding-dinding istana, tatapan dan bisik-bisik mulai menekan Chun Mei dari segala arah. Semua mata kini mengarah padanya. Sayangnya, tidak semua mata adalah mata yang bersahabat.Suasana haru masih menyelimuti paviliun persik. Chun Mei terbaring lemah di ranjang, Kaisar menggendong putranya sambil menangis bahagia, kasim Feng berdiri di samping dengan tangisan serupa, para pelayan baru saja pergi setelah membersihkan sisa-sisa perjuangan, dan tabib muda masih di sana untuk menjelaskan. “Yang Mulia, hamba harus mengatakan ini.” Tabib tampak sangat berhati-hati. “Pangeran lahir sebelum waktunya, dia lahir sebagai bayi prematur, yang mana tubuh bayi prematur biasanya sangat lemah. Jadi, tubuhnya harus selalu hangat, tidak boleh kedinginan, tidak boleh dimandikan sampai berat badannya sesuai.” Kaisar mengangguk. “Aku mengerti. Kamu atur saja bagaimana baiknya, aku akan memberikanmu bayaran tak ternilai.” Tabib muda menunduk, tak berani berkata lebih banyak. Saat yang sama. “Tidak! Tidak bisa!” Permaisuri Yuwen mengamuk. Barang-barang di kamarnya sudah tak berada di tempat. Barang pecah belah sudah berserakan. Di antara kekacauan itu, kepala biro ob
Hari ini tidak hujan, tetapi Kaisar tetap setia memayungi Chun Mei yang tengah berdoa atas peringatan kematian Chu Qiao yang ke-40 hari.Chu Qiao hanya seorang pelayan, tetapi jasanya melindungi Chun Mei tak mungkin bisa wanita itu balas.Sepanjang hari setelah kematian Chu Qiao, Chun Mei tak pernah berhenti mendoakannya. Dan Kaisar sendiri tak pernah sekalipun memprotes, meski di pandangannya, Chu Qiao bukan hanya sekedar pelayan, melainkan pengkhianat.Saat suatu hari Kaisar iseng bertanya, “Tindakannya hampir membunuhmu, kenapa kamu tetap bersikap baik walau sudah mati sekalipun?”Chun Mei tidak banyak penjelasan.Cukup dua kata. “Dia saudariku.”Sejak saat itu, Kaisar tak pernah bertanya apapun lagi. Kemudian hari demi hari berjalan seperti biasa. Jenderal Shang yang masih bersikap dingin tidak lagi terlihat 'gila' dengan terus berlutut di depan kuburan Chu Qiao. Namun, kegiatan seperti itu juga tak pernah hilang sepenuhnya.Dia masih sesekali datang, bahkan pernah berlatih teknik
Waktu bergulir. Huyan Bei terlentang di permukaan rumput, dengan golok besarnya yang sudah terlempar sejauh satu zhang dari kepala, sedang Kaisar berdiri persis di sebelahnya, dengan satu kaki menginjak dada Huyan Bei, dan tangan menodongkan ujung pedang ke leher keponakannya itu. Nafas mereka sama-sama terengah, pipi mereka sama-sama memerah, karena dingin tapi juga panas. Lalu, sambil lebih mendekatkan ujung pedangnya sampai Huyan Bei sejenak menahan nafas, Kaisar berkata, “Aku tidak langsung membunuhmu, karena kamu masih keponakanku.” Ucapannya itu secara tak langsung menjelaskan, kalau selama ini Kaisar selalu menganggap Huyan Bei dan dirinya memiliki hubungan keluarga. Sayangnya, hati Huyan Bei terlalu keras. Bukan karena dia lahir sebagai orang suku Naiyue, melainkan karena pikirannya telah didoktrin keluarganya, jika dia adalah keturunan Kekaisaran yang tidak pernah diinginkan. Dalam masa ini, Kaisar masih berbaik hati menawarkan negoisasi. “Sekarang mari bernegosia
Hari berikutnya. Meski udara terasa dingin, tapi kali ini langit berselimut awan cerah, cahaya mentari seolah lebih leluasa, membias masuk, menyentuh rahang jenderal Shang yang lelap ditemani asap dupa di sisi ranjang. Seorang pelayan membuka pintu kamarnya perlahan, Di tangannya ada baki berisi semangkuk obat, yang masih mengepulkan asap pekat. Pelayan meletakkan semangkuk obat itu di nakas lalu berbalik pergi. Suasana kamar kembali hening dan tenang. Hingga ketika suara drap drap di luar cukup ramai, barulah jenderal Shang menggerakkan jari-jemarinya, disusul membuka kelopak matanya. Penglihatan kabur jenderal perlahan-lahan memulih. Pemandangan langit-langit kamar langsung dia kenali. Dia berada di kamar sendiri! Ingatan semalam seketika menyeruak, seperti tirai kabut yang terangkat satu per satu. Jenderal refleks beringsut duduk, tetapi kembali jatuh ke posisi awal dengan wajah meringis kesakitan, serta kepala spontan menoleh ke sisi kanannya. Area lukanya bengka
Dua tangan terpotong belum memuaskan Chu Qiao. Wanita itu masih mengingat jelas bagaimana Li Jiancheng memperlakukannya selama ini. Sebutan peliharaan yang pria itu katakan sebelumnya, memang benar. Chu Qiao pun berjongkok. Menarik dagu Li Jiancheng, menyeringai lebar atas kesakitan yang diderita pria itu. “Kamu membunuh adikku secara perlahan-lahan,” suara Chu Qiao serupa bisikan, “kamu pun harus mati perlahan-lahan.” “Dasar tidak tahu terima—!” murka Li Jiancheng, seketika dibungkam Chu Qiao dengan dia menutup mulutnya sekuat yang dimungkinkan. Kepala Li Jiancheng meronta, giginya nyaris saja menggigit tangan Chu Qiao. “Ha ha ha.” Chu Qiao terkekeh, tapi sudut matanya basah. Bukan karena mulai merasa kasihan, melainkan menyayangkan telah mengenal Li Jiancheng di kehidupan ini. Wanita itu lantas mengalihkan pandangan ke arah jenderal Shang, yang sudah tidak sadarkan diri. Lalu, berbalik menatap tajam Li Jiancheng. Chu Qiao berpikir, jika dia tidak menjadi pion L
Tombak besi berdesing tajam menembus udara. Benturan logam menggema, menyalak bagai halilintar di dalam ruang sempit. Jenderal Shang memutar tubuh, menangkis sabetan pedang panjang yang diarahkan ke dada. Bilahnya beradu keras, memercikkan bunga api. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam dan tegas seperti binatang buas yang terdesak, tapi tak menyerah. Setiap kali lengannya mengayun, darah mengalir dari perban yang sudah koyak di lengan kanan. Cairan merah itu menetes ke lantai, membentuk jejak memanjang, tetapi jenderal Shang sama sekali tak memperdulikannya. Empat bayangan melompat serempak. Tombak dan pedang meluncur bersamaan, menebas dari berbagai arah. Jenderal Shang menunduk cepat, menangkis satu sabetan, memutar tubuh, lalu menendang keras dada musuh yang datang dari belakang. Tubuh lawan itu terlempar menghantam dinding, mengeluarkan suara “buk!” berat dan mati seketika. Sementara dua pedang lain berhasil menyambar bahunya. Suara kain robek terdengar, darah







