Share

2. AZA #2

last update Last Updated: 2021-08-04 16:38:27

“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”

Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”

Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.

Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern—berbanding terbalik dengan semua yang berada di sekitar gunung. Punya tiga kamar, cukup untukku, Aza, dan Nenek. Dan, ya, pondok hebat ini milik Nenek berhati lembut yang tidak pernah marah bahkan ketika bocah kecil nakal menghancurkan satu set piring kesayangannya karena menendang bola terlalu keras di dalam pondok—sebenarnya itu salah Aza karena tidak menangkap, tetapi secara teknis, aku yang menendang, jadi itu salahku. Intinya, kami hidup bertiga, dengan segala kebutuhan yang selalu ada.

Ya, kebutuhan yang selalu ada, tersedia kapan pun yang kami butuhkan.

Maksudku, bagian belakang pondok itu pekarangan yang kelewat luas, dan ada puluhan sapi perah sekaligus kambing siap sembelih yang bisa menjadi bahan makan kami sehari-hari. Nenek bilang, “Dulu Nenek itu peternak.” Jadi, aku belajar banyak hal dari Nenek yang tampaknya menjadi pengetahuan umum di kehidupan. Aza sampai bilang, “Sekarang adikku lebih jenius dari siapa pun. Kecuali aku.”

“Tapi aku hilang ingatan,” kataku.

“Tapi kau jenius. Kenapa, sih, kau selalu bilang ingatanmu hilang?”

Pondok juga punya berbagai macam buku yang terlalu lengkap. Setidaknya, ada banyak jenis buku dari hal remeh seperti ragam binatang, sampai hal kelewat rumit, seperti hukum fisika atau topik yang mengupas habis teori relativitas. Buku-buku itu—lagi-lagi—milik Nenek, dan, secara teknis, juga Aza. Kupikir jarak usia antara aku dengan Aza sekitar satu atau dua tahun, tetapi ketika aku merasakannya lagi, ada jurang yang sangat jauh di antara kami, seolah dengan usia yang seperti ini, dia jauh dan jauh lebih dewasa dari yang kupikirkan.

Aza juga mengajariku berpedang, berenang, memanah,—banyak hal.

Atas saran Nenek juga, ketika kondisiku lumayan stabil untuk melakukan hal berat—setidaknya, tubuhku sudah cukup bugar sampai bisa berlatih fisik—Aza memintaku berlari naik turun gunung setiap matahari terbit dan terbenam.

Aku sempat protes, “Aku takut! Ada singa!”

Aza mendesis. “Mana ada singa di sini. Aku mengawasimu, ayo pergi!”

Sebaik-baiknya Aza, dia mengerikan kalau marah. Jadi, karena dia bilang itu demi kebaikanku dan Nenek bilang itu juga akan berguna, aku menurutinya.

Namun, tiga hari pergi, aku sudah mengeluh ke Nenek.

Nenek bilang, “Forlan, sejujurnya Aza jauh lebih mengerti tentang Forlan lebih dari Nenek. Dia tahu apa yang dibutuhkan ke depan. Dengan melakukan ini, dia pasti tahu itu yang terbaik. Jadi, tidak apa mengeluh, tapi pastikan semua tetap berjalan, oke? Nenek pasti mendukung Forlan.”

Nenek punya aura kasih sayang yang memancar kuat—jauh lebih kuat dari Aza—tetapi begitulah. Aza juga menyayangiku. Aku tahu itu.

Maka setelah setahun bersama, ketika aku melupakan segala hal termasuk tanggal lahirku sendiri, Aza memutuskan hari pertemuanku dengannya menjadi hari ulang tahunku. Dan di perayaan ulang tahunku kesepuluh, Aza memberiku hadiah setumpuk ikan bakar bersama fakta: “Kita sebenarnya bukan manusia biasa.”

Saat itu kami ada di depan api unggun, di depan pondok, tepat di kegelapan malam, dikelilingi pohon pinus, dan aku berhenti mengunyah. “Apa?”

“Kita bukan manusia biasa,” ulangnya. “Kita diberkahi kemampuan khusus. Aku, dan kau. Ini contohnya.” Dia mengangkat telunjuk, dan sulur tumbuhan tiba-tiba meluncur dari bawah, membentuk satu helai rumput yang memanjang. “Kita di sini berlindung. Di luar ada perang. Makanya kau tidak boleh turun gunung.”

Aku kehilangan kata-kata.

“Bukan maksudku mengejutkanmu,” katanya, “tapi kau sering tidur sambil menerbangkan sesuatu, ya, kan, Nek?”

Nenek tertawa ketika mengangkat tiga tusuk dari api unggun. “Kemampuan kalian persis sama. Nenek tahu Forlan sekuat Aza.”

“Tapi,” protesku, “bukannya semua orang bisa?”

“Tidak, Forlan,” kata Nenek. “Manusia biasa tidak diberkati seperti pemilik kemampuan khusus. Nenek tidak seperti Forlan. Nenek tidak bisa membuat angin dengan menjentikkan jari.” Nenek menjentikkan jari. “Lihat? Ini bukti Nenek hanya manusia biasa. Forlan dan Aza orang-orang terpilih.”

Sejujurnya aku memerhatikan Nenek dengan serius, tetapi aku tidak mampu mengerti. “Jadi, kita harusnya bertarung?”

“Lari juga bentuk perlawanan,” kata Aza. “Kita bersembunyi.”

“Bersembunyi?”

“Pokoknya, pondok ini batas terakhir kau boleh turun gunung. Kalau mau turun, kau harus bilang padaku. Atau kau mati dalam dua detik.”

Aku tidak mengerti, tetapi rasanya aku sudah melupakan hal yang kelewat penting. “Oke. Terserah, deh, aku mau makan ikan.”

Setidaknya, kami menjalani kehidupan damai, menikmati waktu, dan Aza tetap melatihku habis-habisan. Dia punya kemampuan bertahan di alam liar lebih hebat dari siapa pun—iya, aku memang cuma membandingkannya dengan Nenek, tetapi Aza memang seperti yang paling kuat di muka bumi. Dia jauh lebih kejam dari siapa pun ketika latihan, tetapi juga jauh lebih menyebalkan dari apa pun ketika jail. Nenek bahkan tak lepas jadi korbannya. Jadi, kami sering menghabiskan waktu dengan memancing, beternak sapi, kambing, atau ayam sampai kerbau, dan kami sering menghabiskan malam dengan membakar ikan di depan api unggun, mengisi waktu sambil bercanda, sampai melakukan hal paling idiot: membersihkan wilayah gunung sekitar pondok—menurut mereka itu wajib dilakukan sebulan sekali.

Semua menyenangkan sampai usiaku menginjak lima belas tahun.

Saat itu kondisi Nenek sudah buruk, sering muntah, bahkan tiba-tiba Nenek sudah tidak bisa bangkit—hanya bisa berbaring di ranjang.

Jadi, ketika aku mau mengantarkan makanan ke ruangan Nenek, secara tak sengaja aku mendengar suara Aza.

“...aku mau menahannya selama mungkin.”

Aku berhenti di ambang pintu, membeku begitu saja. Pintu terbuka sedikit, tetapi suasana di dalam terasa sampai luar. Rasanya begitu membeku seolah sudah berada dalam alam berbeda.

“Kau tahu itu tidak baik untuknya,” kata suara serak Nenek. “Aza. Ini sudah di luar rencana. Kau tidak bisa terus terlena.”

“Aku tidak terlena! Dia... dia begitu berharga untukku.”

“Tidak ada waktu lagi. Keputusan ini menunggu kesiapanmu.”

Mereka terdiam. Jeda ini cukup lama. Hanya dalam sekejap, suasana terasa berat—bahkan seperti tidak ada pembicaraan lagi.

“Tidak apa, Nek. Aku bisa menjaganya sendiri.”

“Sampai kapan?”

“Biar kuusahakan secepat mungkin.”

“Kau selalu mengatakan itu sejak dua tahun lalu. Aku tidak pernah mencoba memaksamu, tapi kau yang paling tahu betapa aku mencemaskan ini, kan?”

“Dia....” Suara Aza semakin pelan. “Aku tidak mau kehilangan adikku.”

“Dan dia cucuku. Begitu juga denganmu. Kita sudah membicarakan semua ini bertahun-tahun lalu. Aza—” Nenek terbatuk. “Batas waktunya sudah habis.”

“Aku masih punya cukup waktu,” Aza masih protes.

“Untuk meninggalkan lebih banyak memori untuknya? Dengar, Nak. Hanya memori itu yang membuatnya bisa berkembang—betul, tapi memori indah itu juga yang akan membuatnya tertahan. Wilayah ini mungkin tidak tersentuh, tapi sudah bertahun-tahun lamanya kita menentang hukum alam. Kalau dibiarkan terlalu lama, dia yang tidak bisa keluar. Ini demi kebaikannya juga.”

“Dia butuh perlindungan.”

“Perlindungan yang terlalu lama hanya mengekangnya.”

“Nek,” potong Aza tajam, “jangan meninggalkanku.”

Dan suara Nenek terhenti. Aku juga semakin mengeras, layaknya tubuhku ditanam ke titik tempatku berdiri. Itu pertama kali aku mendengarnya. Ketika kami bersama, itu pertama kalinya aku mendengar suara Aza begitu lemah.

“Semua pasti berlalu sangat berat untukmu, Nak. Kau mungkin tidak sadar, tapi aku selalu memerhatikanmu. Kurasa kau jauh lebih mengerti kalau tidak baik memperlihatkan sisi ini. Tidak apa. Tidak ada yang bisa melakukan hal semulia ini selain dirimu. Jadi, Aza, saat ini kau hanya harus percaya pada Forlan. Dia... Forlan sudah lebih kuat dari sebelumnya. Dia juga melindungimu.”

Suara yang berhasil menggerakkanku kembali, adalah suara isak yang kian sesak. Kupikir, akan sangat brengsek kalau aku tetap di tempat, jadi dalam momen itu, aku berhasil melangkah menjauh dari ruangan Nenek.

Dua hari setelahnya, Nenek mengembuskan napas terakhirnya.

Dan ketika aku bersama Aza, kurasakan dia tidak begitu berbeda. Hanya menatap gundukan tanah, tanpa isak tangis—hanya menunduk seperti memberikan pemberkatan terakhir. Aku tidak mengerti konsep hidup setelah kematian, tetapi ketika aku memikirkan Aza, kurasakan dia hanya tidak ingin Nenek pergi. Aku bisa saja memikirkan semua yang kucuri dengar, tetapi dalam benak kecilku, aku sadar bahwa mungkin Nenek tahu posisiku di balik pintu. Barangkali Nenek hanya ingin memberitahu bahwa apa yang ditunjukkan Aza di depanku, semata-mata untukku, sampai Aza tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tentu saja itu muncul di benakku. Satu konsep yang tertulis dalam buku, tentang kebahagiaan yang hangat: keluarga. Barangkali setelah bertahun-tahun kami bersama, aku juga bisa merasakannya, betapa Nenek telah menjadi keluarga dalam hidupku.

Dan Aza, hanya tidak ingin kehilangan keluarganya.

Jadi, ketika menatap gundukan tanah yang telah mengubur Nenek di bawah sana, kugumamkan tekad tentang menjadi kuat—bahwa ketika Aza bersamaku, dia bisa benar-benar tersenyum dari lubuk hatinya.

“Aza,” kataku. “Aku takkan pergi, kok.”

“Oh,” katanya. “Memangnya mau pergi ke mana?”

“Aku adikmu.”

Ada jeda sebelum Aza berbalik dengan senyum tipis di bibirnya. “Jadi, kau mengakuiku sebagai kakakmu?”

Aza menjadi satu-satunya keluargaku sampai kami menghabiskan waktu di sekitar pondok, dan tidak pernah sekali pun aku curiga pada semua yang kudengar dari pembicaraan Nenek dan Aza. Persetan dengan ingatan masa laluku, keluargaku yang sudah kulupakan—atau apa pun. Aku hidup untuk Aza.

Sejak kematian Nenek itu, mimpi pertemuan pertamaku dengan Aza mulai membuncah menguasai setiap malam yang kulalui dengan ketenangan.

Hingga tiga tahun kemudian, aku bermimpi tentang gadis manis—adikku.

Dan pembicaraan mereka mulai menggema dalam benakku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selubung Memori   614. HUTAN BEKU #2

    Aku dan Lavi adalah tim pertama yang berhasil menyentuh ujung lain dari gua. Tampaknya tim lain memilih cabang lain saat di dalam gua.Kurang lebih, ujung lain gua ini terhubung dengan sungai kecil. Kami ada di dataran yang entah bagaimana lebih landai, sehingga pintu masuk gua di ujung yang ini lebih mirip seperti sarang kelinci di pinggir sungai. Saat itu langit sudah gelap. Matahari telah terbenam, dan wilayah di sekitar juga hanya sungai di tengah hutan. Aku berusaha merasakan area sekitar, tetapi hasilnya nihil.“Ada batu kristal juga di sekitar sini,” kataku.“Berarti batunya memang mengitari tebing ini,” ucap Lavi. “Kau bisa, tidak, merasakan posisi pintu keluar yang ini di sebelah mana pintu masuk utama?”“Sepertinya utara. Kita ada di sisi lain dari arah kedatangan. Tapi kau sadar sesuatu? Hal yang sangat penting tentang gua di sisi ini.”Lavi mengerutkan kening, mengedarkan pandangan ke seki

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status