LOGINSalah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan.
Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam jumlah yang cukup banyak. Di sebelahnya, di dalam map plastik, terdapat beberapa buku tabungan atas nama Lidya, sertifikat tanah pabrik, dan beberapa dokumen perusahaan. Lidya tertegun. Papanya seolah sudah memiliki firasat akan pergi jauh, atau mungkin... papanya sedang berusaha menyelamatkan aset-aset ini dari seseorang? Lidya menepis pikiran buruk itu. Yang ia butuhkan sekarang adalah uang itu untuk melunasi biaya rumah sakit dan ambulans. Setelah menyelesaikan pembayaran yang jumlahnya tidak sedikit , Lidya menyingkir ke sudut ruangan yang lebih sepi. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Pak Pardi. "Halo, Mbak Lidya?" Suara Pak Pardi terdengar serak dan cemas di ujung sana. Sepertinya pria tua itu tidak tidur semalaman menunggu kabar darinya. "Pak..." Suara Lidya tercekat. Tenggorokannya sakit. Hening sejenak di ujung telepon, sebelum terdengar helaan napas berat dari Pak Pardi. Ia sudah tahu. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un... Bapak sudah tenang!" Lidya menggigit bibirnya agar tidak menangis lagi. "Lidya mau bawa Papa pulang sekarang. Tolong... tolong Bapak siapkan tempat di sebelah makam Bang Lodra, ya? Lidya mau Papa dekat sama Abang!" "Siap, Mbak. Bapak akan urus semuanya di sini. Bapak akan ke Pak RT sekarang juga." Suara Pak Pardi terdengar tegas namun bergetar menahan tangis. "Hati-hati di jalan, Mbak. Bapak tunggu di rumah." Sambungan terputus. Lidya mendekap tas ransel itu erat-erat ke dadanya. Lidya berjalan keluar menuju area parkir. Pak Anto, sopir mobil sewaan, masih setia menunggu di sana sambil merokok untuk mengusir kantuk. Wajahnya penuh tanya saat melihat Lidya mendekat sendirian. "Pak Anto," panggil Lidya pelan. "Mbak? Gimana Bapak?" Lidya menggeleng pelan. Pak Anto langsung membuang rokoknya dan menginjaknya. "Innalillahi... Sing sabar ya, Mbak." "Pak, saya akan pulang naik ambulans bersama jenazah Papa dan Mbok Nah. Mobil ini... Bapak bawa pulang saja sendiri ya, Pak. Maaf merepotkan." Lidya menyodorkan amplop berisi uang tip yang lumayan. "Mbak, ini kebanyakan. Lagian sudah dibayar sama Pak Pardi!" "Nggak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya!" Pak Anto mengangguk takzim, menatap gadis remaja di depannya dengan rasa iba yang mendalam. Masih muda, tapi tatapannya sudah kosong seperti orang yang kehilangan jiwa. Tepat Pukul 03.00 dini hari. Hujan gerimis masih setia membasahi kota Semarang saat ambulans jenazah mulai menderu pelan. Lidya duduk di bagian belakang, di kursi panjang samping keranda yang tertutup kain hijau. Di seberangnya, Mbok Nah duduk bersandar sambil memejamkan mata, mulutnya komat-kamit mendoakan majikannya. Sirine ambulans tidak dinyalakan, hanya lampu rotator yang berputar memantulkan cahaya merah menyedihkan ke dinding-dinding mobil. Jalanan sepi. Hanya ada truk-truk ekspedisi malam yang sesekali berpapasan. Lidya memeluk keranda di sampingnya. Sosok yang tak akan lagi bisa memeluknya kecuali dalam mimpi. "Mbak, tidur dulu. Perjalanan masih lama," bisik Mbok Nah lembut, memecah kebisuan yang hanya diisi suara dengung mesin mobil. "Nggak bisa, Mbok," jawab Lidya lirih. Matanya sembab menatap jalanan gelap. "Papa orang baik, Nduk. Insya Allah, Papa husnul khotimah. Ketemu Mas Lodra di surga." Lidya mengangguk, air matanya menetes lagi. Mobil ambulans terus membelah malam, membawa Lidya menjauh dari harapan yang sempat ia pupuk di Semarang, kembali ke Jogja untuk menghadapi kenyataan yang lebih kejam. Lidya menyandarkan kepalanya ke dinding ambulans yang dingin. Di luar, fajar belum menyingsing, tapi bagi Lidya, sepertinya matahari tidak akan terbit untuk waktu yang sangat lama. Seperti saat Lidya datang dengan membawa Lodra. Kini pun sama saat ia pulang dengan jenazah papanya, warga telah berkumpul memadati halaman. Pak Pardi dan warga setempat segera memgambil alih. Membawa keranda ke masjid komplek untuk di sholati kemudian berarak membawa papanya ke peristirahatan terakhir. Semuanya begitu cepat bahkan Lidya tak mampu menghentikan barang sejenak. Tanah telah menutup jasad papanya dalam keabadian. Hingga nanti Lidya datang menyusul ajal. Lidya baru saja merebahkan punggungnya di sandaran sofa saat suara yang cukup di kenalnya menyapa. "Tante ikut berbela sungkawa, Lidya!" Mbok Nah dan Pak Pardi saling pandang lalu menyingkir ke belakang. "Baru datang Tante?" Lidya menatap kedua orang tersebut dengan pandangan tak suka. "Kamu gak usah marah. Tante juga baru tahu waktu ada teman Tante yang telpon. Maklum, kita lagi ada kerjaan. Gak bisa buru-buru pulang gitu aja!" Tantenya menyela kemudian duduk di depannya. "Abang kamu udah gak ada. Papa kamu juga udah gak ada.. jadi...!" "Tante Dewi!" Lidya menatap tajam tantenya. "Langsung saja!" Laki-laki tambun yang biasanya diam dalam acara keluarga, kini ikut unjuk suara. "Karena abangmu sudah meninggal, ayahmu juga sudah meninggal jadi masalah pabrik batik akan jatuh ke tangan Om dan Tante. Ingat, kamu anak perempuan dan kamu belum bersuami. Apalagi kamu masih bau kencur, baru juga tujuh belas. Ndak punya pengalaman mengelola pabrik!" Lidya menahan nafas. Ia tak mengira jika mereka sejujur itu sekarang. "Aku anak kandung papa..." "Gak usah ngeyel!" Lidya terdiam saat kata-katanya dipotong. "Kamu itu perempuan. Mana bisa jadi pemimpin. Apalagi ini pabrik, bukan pasar malam!" Lidya menggeleng pelan dengan tatapan sinis. "Jadi, pabrik milik Papa akan Tante ambil alih? Tante berikan pada suami Tante yang mokondo itu?" Lidya jadi ingin tertawa tapi di tahannya. "Tante gak sadar diri ya?" Entah keberanian apa yang dipunya Lidya, kini perempuan bermake tebal itu berdiri dengan wajah merah. "Apa maksudmu?" "Tante kan tahu kalau Tante itu cuma anak adopsi. Artinya dalam hak waris, Tante gak dapat bagian. Apalagi ini pabrik batik juga bukan punya almarhum Kakek atau almarhum Nenek. Ini murni punya Papa! Kerja keras Papa. Aku pewaris tunggal!" Lidya berusaha menjelaskan masalah pembagian waris. Mungkin saja saat pelajaran waris, perempuan bodoh itu lagi merem. "Eh, kamu gak usah ngeyel ya. Kamu belum cukup umur. Kamu perlu wali untuk mengelola pabrik itu. Dan kamu juga gak lupa kan, kalau Tante ini satu-satunya kerabat kamu!" "Cukup Tante!" Suara gadis itu menggelegar. Rasanya tak akan ada habisnya membahas harta dengan orang yang gila harta. Lidya berdiri dengan tubuh bergetar menahan marah. "Aku gak ada waktu sekarang. Kalau Tante mau, kita bisa ke pengacara Papa lalu tanya dengan sejelas-jelasnya. Kita gak perlu berdebat!" Mata perempuan itu melebar. Ia tak menyangka jika gadis itu, kini bisa menentangnya. Ia tak terima. Ikut berdiri, "Dasar anak haram...!" Tangannya terulur, "Aaahh!" Lidya spontan menjerit dan menutup wajahnya. Hentikan!" Mungkin tamparan itu akan mengenai pipi Lidya jika suara bariton itu tak muncul mencegahnya. Spontan, mereka semua menoleh menatap sosok laki-laki yang kini berdiri. "Siapa kamu?"Salah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan. Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam
Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar. "Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur. "Sebentar lagi, Mbak!" Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah. "Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam. Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami. Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan. "Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Sua
Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya.
Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata. "Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memoton
Brak. Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar. Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri. "Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung. "Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga. "Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis. "Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wi







