Share

7. Slip Gaji

Jihan mengangkat kembali kakinya untuk mengambil sesuatu yang baru saja terinjak. Dipungutnya sebuah kertas kecil mirip dengan struk belanja dari atas lantai, mata Jihan memincing. Bola matanya bergerak ke kanan ke kiri, menelisik tulisan-tulisan kecil yang berada di atas kertas. Dan akhirnya, rasa penasaran Jihan terjawab juga.

"Rizal Aditama, assisten manager merk, empat belas juta rupiah." Komat-kamit mulut Jihan membaca tulisan pada kertas yang kini berada dalam genggamanya.

Mata wanita itu membola, tangannya terangkat untuk mengucek mata yang sebenarnya tak merasa mengantuk. Hanya untuk memastikan jika pengelihatannya tidak salah. Hati Jihan kian kecewa, benarkah Rizal naik jabatan setinggi itu, yang awalnya hanya buruh kontrak di bagian produksi sekarang berubah menjadi assisten manager merk. Bagaimana bisa, padahal pendidikan terakhir Rizal hanya lulusan sekolah menengah atas.

Jihan meremas kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. Melangkahkan kakinya ke teras dan kembali membuka kedai sembari menunggu kepulangan Rizal untuk menanyakan semuanya. Jika benar Rizal sekarang bekerja dengan jabatan itu, pantaslah bisa membelikan Rindi sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Tapi, mengapa Rizal sama sekali tak memberi tahu sang istri. Apakah Rizal terlalu takut mengeluarkan uang untuk anak dan istrinya? Memikirkan semua kemungkinan itu membuat kepala Jihan terasa berdenyut.

"Sepertinya kamu benar-benar ingin main petak umpet denganku, Mas. Namun, aku akan segera menangkapmu," batin Jihan dalam hati.

*******

Hari telah menjelang malam saat Jihan menutup kedai seblaknya dan merasa lelah menunggu Rizal yang tak kunjung pulang. Wanita itu memutuskan memesan makanan lewat gofood untuk makan malam. Satu ekor ayam panggang lengkap dengan urap dan lalapan menjadi menu pilihannya. Jihan segera menata makanan yang baru saja datang di atas meja makan, kemudian memanggil sang anak untuk makan bersama tanpa menunggu Rizal yang mungkin masih betah berada di rumah Bu Inggar.

"Fadil, ayo kita makan, Nak. Bunda beli ayam panggang lho," ajak Jihan pada putranya yang langsung tersenyum lebar kala mendengar kata ayam panggang.

Bocah itu mengangguk kemudian berlari kecil menuju ke ruang makan. Mata Fadil berbinar mendapati satu ekor ayam panggang utuh yang berada di atas meja.

"Kok Bunda sekarang makananya beli terus, enak lagi. Nanti kalau ayah marah karena uang Bunda habis bagaimana?" celetuk bocah kecil itu seraya menatap heran ke arah Jihan yang mengulas senyuman.

"Karena Fadil juga butuh makanan bergizi, ayo kita makan."

Jihan mendudukan putranya di salah satu kursi kemudian mengambilkan nasi beserta lauk untuk bocah lelaki itu. Nampak Fadil yang makan dengan begitu lahap. Dari arah luar, terdengar suara sepeda motor yang mulai mendekat. Pertanda jika Rizal pulang ke rumah, seketika mata Fadil tertuju ke arah pintu. Namun, bocah itu langsung memalingkan muka kala sang ayah telah masuk ke dalam rumah. Hati Fadil masih sangat sakit ketika mengingat perlakuan sang ayah tadi siang yang menolaknya hanya demi Putri, keponakannya.

Sementara Jihan terus menikmati makannya tanpa menyapa ataupun mengajak sang suami untuk makan bersama. Rizal mendekat ke arah anak dan istrinya, matanya memincing melihat hidangan yang tersaji di atas meja.

"Bagus ya, Jihan. Boros banget, setiap hari makan enak terus. Habis-habisin uangku saja!" bentak Rizal tiba-tiba.

Tanpa diduga, Fadil segera mendorong piringnya menjauh dengan kasar hingga menimbulkan bunyi. Padahal isi piringnya masih tersisa setengah.

"Ayah, datang-datang selalu merusak kebahagiaanku dan Bunda!" teriak Fadil kemudian masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya dengan keras.

Rizal terperanjat melihat sikap sang anak, lelaki itu merasakan sedikit kepedihan kala mendengar makian dari putranya. Namun, lagi-lagi Jihanlah yang menjadi sasaran. Lelaki itu menganggap jika sang istri tak becus mengurus dan mendidik anak hingga Fadil bisa bersikap sebar-bar itu.

"Lihat itu Jihan hasil didikan kamu, nggak ada sopan santunnya sama orang tua!" Jihan ikut mendorong piringnya menjauh mendengar perkataan suaminya, namun wanita itu sama sekali tak terpancing emosi.

"Ya jelas hasil didikanku lah, Mas. Memangnya kamu pernah mendidiknya? Kamu terlalu sibuk dengan keponakanmu, sampai kamu membelikannya sepeda motor keluaran terbaru pula," sindir Jihan, wanita itu menatap sang suami dengan pandangan remeh.

"Apa maksud kamu sepeda motor baru? Mana ada aku belikan sepeda motor baru untuk keponakanku, jangan mengada-ada," kilah Rizal yang berusaha menutupi kebohongannya.

Jihan beranjak dari duduknya, melipat tangan di depan dada dan memandang sang suami dengan tatapan jijik. Ternyata Rizal tak lebih dari seorang pembohong dan lelaki egois.

"Jangan bohong lagi, Mas. Aku lihat kamu di dealer tadi pagi. Selain itu, keponakanmu juga bilang pada Fadil, dan kakakmu yang cantik itu sudah pamer di media sosial miliknya."

Rizal mulai kelabakan, bodohnya Rindi. Mengapa tak melarang Putri untuk bercerita pada Fadil. Rindi juga, kenapa kebiasaan pamernya tak melihat keadaan. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya, mencari-cari alasan agar Jihan tak semakin murka.

"Jadi kamu tidak percaya dan tetap menuduhku membelikan sepeda motor untuk Putri? Terserah kalau begitu, gaji saja aku pas-pasan pake dituduh yang aneh-aneh pula!" Rizal kembali berkelit, tetap tak mau mengakui kebohongannya.

Jihan berdecih kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku dasternya. Menunjukan kertas slip gaji itu tepat di depan mata Rizal.

"Ini, slip gaji assisten manager merk dengan gaji empat belas juta rupiah atas namamu, Mas. Dan slip gaji ini untuk bulan maret lalu, sedangkan sekarang bulan juni. Kalau dihitung tentu saja cukup untuk beli sepeda motor baru, lebih malah?" Serangan Jihan kali ini benar-benar telak hingga berhasil membuat Rizal terperangah.

"Dari mana kamu dapat itu? Kamu geledah dompet aku? Lancang kamu Jihan!"

"Memangnya kamu sembunyikan slip gaji kamu di dompet selama ini? Aku menemukannya terjatuh di lantai kamar kok. Kenapa kamu bohong selama ini, Mas? Bagaimana bisa kamu tiba-tiba naik jabatan tinggi?" Jihan masih berusaha untuk mengetahui apa yang menjadi ganjalan di hatinya, rasanya aneh jika seorang buruh pabrik dengan ijazah SMA bisa langsung naik jabatan menjadi assisten manager merk.

"Semua itu bukan urusanmu, Jihan. Kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi pasangan hidupku dan tak berjasa apa-apa. Jadi wajar kalau aku berikan gajiku untuk ibu dan kakakku yang sudah merawatku dari kecil." Rizal masih tak mau mengalah, merasa tak bersalah sudah menjadikan sang istri sebagai tulang punggung yang memenuhi kebutuhan anaknya.

Sekuat apapun Jihan, ia hanya wanita biasa. Sekuat tenaga menahan, akhirnya satu tetes bulir bening berhasil membasahi sudut matanya.

"Aku mungkin memang orang lain, Mas. Tapi Fadil, dia darah dagingmu. Apa kamu juga tega sama dia? Kalau aku harus berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan anakku, lalu apa arti pernikahan ini? Apa hanya sebatas status di mata hukum dan di atas kertas?" Jihan terduduk di sofa, meratapi nasib yang ternyata salah dalam memilih pendamping hidup.

"Arrrghh, cerewet banget kamu jadi perempuan. Memang benar kata ibu dan kakakku, kamu adalah istri yang hanya bisa bikin pusing suami," maki Rizal pada istrinya, lelaki itu menyambar kunci sepeda motor yang ada di atas meja dan melangkah lebar hendak keluar dari rumah itu.

"Tunggu, Mas!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pake otak mu njing. dasar istri tolol dan gampang dibodohi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status