"Kamu harus segera lulus. Jangan pulang ke rumah jika kamu tidak lulus. Uang bulananmu sementara ayah kurangi! kartu kredit juga ayah blokir. Jangan hubungi ayah kalau tidak perihal undangan wisuda orang tua! "
begitu bunyi panggilan telepon yang langsung ditutup, tanpa sempat menjawab salam atau hanya sekedar meminta keringanan lain. Laki-laki muda bernama Doni Alfredo Diansyah, itu hanya bisa menyibakan tangan ke rambut dan masuk kembali ke kamar. Membuka laptop dan kembali mengerjakan file Microsoft Word di layar. Namun suara yang setiap malam menganggu pikiran malah mulai kencang terdengar. “Aaah..enak mas.” “Lebih cepat mas,”Ngiik…ngiiik, Ranjang tua mulai bersuara, ikut berdendang ria di telinga. “Aku harus keluar malam ini mas.” Suara perempuan kembali terdengar, "Urrgh mas lebih cepat.." Dari balik kamar, Doni sedang sibuk-sibuknya berusaha mengerjakan judul proposal tugas akhir. Dia membolak-balik jurnal penelitian berbahasa Inggris dan Indonesia. Tahun ini dia akan menginjak semester 7. Semua mata kuliah wajib sudah diambil, begitu pula magang dan KKN yang menjadi syarat utama, sudah dia lampui. “Aku harus bisa lulus 3,5 tahun.” Gumamnya. Di tengah keseriusan Doni membaca jurnal berbasis SINTA 3 itu, pikirannya mulai terganggu dengan teriakan kecil dari kamar sebelah. Padahal, beberapa menit yang lalu dia terpaksa memakai earphone bluetooth ke indera pendengaran, karena suara desahan yang sangat mengganggu konsentrasi dalam membaca. Dia baru saja pindah ke apartemen Serenity Park sekitar seminggu yang lalu. Ini juga kali pertama Doni memutuskan untuk tinggal di apartemen yang terletak di ujung gang dekat dengan sungai besar. Sebelumnya dia memilih tinggal di asrama mahasiswa yang disediakan oleh kampus. “Semoga disini aku bisa lebih konsentrasi mengerjakan skripsi. Aku harus segera lulus.” Namun harapan itu seolah terbantah dengan sendiri. Sejak dia pindah kesini, bukan ketenangan yang dia dapatkan. Beragam ‘gangguan’ psikis itu sudah ada sejak awal Doni menginjakan kaki disini. Pertama, dia sangat kaget ketika melihat apartemen yang dia pilih tersebut berbeda jauh antara foto yang ditawarkan di sosial media dan kenyataan yang dia lihat. Di dunia maya, terlihat apartemen itu mewah dan sangat bersih. Maka, tanpa ragu dia membayar satu tahun penuh biaya sewa disana. Kedua, kenyataan lain yang harus diterima adalah mendapatkan letak unit kamar lantai paling bawah. Meski itu juga menguntungkan karena dia tidak pernah kekurangan air. Maklum, air yang digunakan berasal dari PDAM yang debit airnya kecil di jam tertentu. Doni menyingkirkan earphone dari telinga. Tubuhnya seperti digerakan oleh energi tertentu untuk mendekatkan daun telinga ke tembok kamar unit sebelah. Tetangga kamarnya itu terdengar bertengkar lumayan hebat setelah desahan dan erangan yang membuatnya terganggu semalaman. “Mas, ini hari anniversary kita. Mas Ikhsan malah memilih untuk pergi tugas!” begitu yang Doni dengar. Memang jarak antar unit disana hanya terpisah dengan dinding kayu tipis. Bahkan beberapa hanya triplek biasa. Doni mendekatkan telinganya lagi. Dia tahu ini salah, tapi penasaran mengalahkan norma tersebut. “Kalau tidak berangkat kerja, mau makan apa kamu?! Lagian sebelum kita menikah, aku juga sudah menjelaskan risiko pekerjaanku. Harus 24 jam siap sedia. Kenapa sekarang protes!” Kata laki-laki dengan suara tegas disana. “Apa tidak bisa libur sehari saja mas. Aku juga butuh kamu!” suara perempuan kembali terdengar. Kali ini disertai tangisan. “Masyarakat juga membutuhkanku!” Ucap laki-laki itu lagi, lalu terdengar pintu ditutup dengan keras.Tuarrr Suara pecahan kaca terdengar. Entah piring atau gelas. Hanya terdengar suaranya saja. Doni mulai menjauhkan telinga. Dia tahu tetangganya itu sedang bertengkar. Suatu hal yang sering terjadi pada suami istri. “Mending gak usah nikah dulu ya gak sih?” gumamnya.Entah mengapa, di apartemen ini, tiada beda antara siang dan malam. Semua sama-sama panas, hingga Doni membuka baju yang dia kenakan.
“Aah, gerak banget.” Doni melemparkan bajunya ke meja belajar. Doni memang suka olah raga dan dia member aktif gym dekat kampus. Tentu, dadanya bidang dan atletis.
Karena hal itu tidak terlalu membantu, dia memutuskan untuk keluar sejenak diambang pintu. “Permisi mas, mau buang sampah.” Ucap seorang perempuan dari unit lain, bernama Erna Sarasvati.“Eeh iya mbak, silakan. Saya menghalangi ya? Maaf.” Ucap Doni menjauh dari tong sampah utama. Memang, semua sampah dari unit apartemen dikumpukan di tong sampah itu, baru akan diambil tukang sampah.
“Mas orang baru ya? “ Tanya Erna. Indera penglihatan Erna tertuju ke dada bidang Doni, dan melipat bibirnya. Tentu, Doni buru-buru menutup dadanya dengan kedua tangan.
Melihat Doni cangung, Erna langsung mencairkan suasana. “Gak apa-apa mas. Memang gerah sini.”
Doni nyengir, sambil mengangguk. Tidak lama, terdengar kembali suara keributan di unit sebelah.
Erna melirik ke arah unit tersebut, “Biarin aja mas. Udah biasa ribut itu,”.
Mengimbangi Doni yang gerah, Erna menggulung rambu panjangnya dengan mengangkat kedua tangan dan membusungkan dada.
“Besok juga begituan lagi.” lanjut Erna.Dia mengenakan daster tipis berwarna merah muda bergambar pohon kelapa dan pantai. Pakaian khas, dari pusat oleh-oleh wisata yang biasanya dibanderol Rp 50 ribuan.
Sorotan lampu teras, membuat lekuk tubuh perempuan itu terlihat jelas. Menerawang dan menembus sampai bagian sensitif terlihat. Juga kulit putih dari perempuan itu yang tidak kalah menggoda mata siapapun yang memandang. Namun, sepasang buah dada yang terlihat begitu ranum. Tersinari cahaya lampu, membulat dengan ujung yang menggoda. Semuanya tampak jelas saat perempuan itu menunduk lebih rendah di depan Doni. Apabila diamati lebih dekat, wajahnya cantik seperti artis i*******m yang berulang kali mengiklankan produk skin care. Kaki panjang, mulus, rambut panjang lurus, kulit putih, dan bokong menonjol. Sativa di mulut Doni kembali di telan. “Si4lan. Baru hari pertama jugak!”Doni memundurkan kepala. Sebuah lingkaran besar segera muncul membalut sebuah tanya utama. Apa Mbak Nadia melihatku? Bisa panjang nih urusan. Lagian kenapa harus ngintip lagi aku! Don….Don..! " Doa yang terucap kini sebaliknya. Tidak berharap, apa yang dia lakukan tadi dilihat oleh Nadia. Suatu rumus dasar, jika dia bisa melihat Nadia, tentu Nadia juga bisa melihatnya dari celah tersebut. Jantungnya berdetak seperti genderang. Darahnya berdesir. Doni agak sedikit gugup. “Gak asyik kan kalau ketahuan ngintip tetangga pas suaminya gak ada.” Dia mencoba menengadah, berharap pada Sang Kuasa. “Semoga tidak.” Doni memegang dadanya yang masih terasa getaran jantung, tidak melambat. Masih kencang.Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pintu depan Nadia dibuka.Ngeek Doni segera berlari ke arah pintu. Membuka pintu membentuk sudut 20 derajat. Dari posisinya diketahui, Nadia hanya mengambil jaket tadi, -bukan melihat ke arah dia mengintip-yang kini dia kenakan keluar unit. Karena, saat
Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.“Begini mba
“Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.“
Tok..tok..tok“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu.“Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan.“Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.”Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Ap
Doni segera mengusap mata. Menekan ujung senjata torpedo di balik celana. “Mengecilah, memalukan.” Gumamnya pelan. Nadia yang menindihnya malah memeluk Doni lebih erat.“Aku takut hewan reptil mas. Phobia.” Ucap Nadia, tubuhnya sedikit bergetar.“Sudah gak ada mbak, aman.” Doni, semakin tidak kuat menahan. Baik berat badan Nadia yang menindihnya, maupun nafsu yang terfokus ke rudal di bawah. Doni membuang napas berat. Nadia menyadarinya dan langsung melepas pelukannya, lalu bangkit.“Maaf ya mas. Aku beneran takut sama cicak maupun reptil. “ ucap Nadia dengan nada lembut.Doni segera bangun. Lalu meski dengan nyawa yang masih seperempat, dia melipat kembali tangga dan meletakan di tempat semula.“Mbak, saya balik dulu ya. Mau ngerjain skripsi nih. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” Ucap Doni dan dia langsung berjalan ke arah pintu.“Telpon? Dapat nomormu dari mana? Kan belum kamu kasih.” sahut Nadia.“oh ya mba, 08…” lalu Doni langsung kembali ke apartemennya.Doni masuk, langsung menar
Pagi itu Doni tidak berangkat ke kampus. Dia melakukan peregangan, setelah berlari pagi sekitar 1 jam keliling jalan sekitar kompleks. Karena dia orang baru disana, perlu sekiranya mengenal kawasan sekitar. Iya, minimal tahu dimana harus membeli sarapan atau galon isi ulang.“Loh Mas Doni, gak masuk kuliah? Kok masih santai berjemur.” Sapa Ikhsan, suami Nadia.Doni bangkit, melepas sepatu olah raga dan menjemurnya, “Iya nih mas. Dosen pembimbing keluar kota semua. Jadi banyak di apartemen saja. Musim gini di rumah memang gabut sih, tapi keluar bentar ya buat bangkrut.”Ikhsan tertawa, dia mulai mengenakan sepatu dinas. “Benar. Semua mahal ya, gampang boncos.”“Sudah mau berangkat dinas mas? Damkar sekarang lagi favorit dan bintang lima di masyarakat ya.”“Iya begitulah Don. Ngrokok gak? “ Ujar Ikhsan sambil menyerahkan sekotak rokok.“Ngerokok sih, tapi abis olah raga. Yah, gak papa sih ya..hahaha.” Jawab Doni, lalu mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di bibir lalu menyulutnya.“