Doni segera masuk ke dalam apartemen Sylvi. Nampak di depannya, perempuan itu terluka cukup parah dibagian muka. Baik kening, pipi, dagu hampir seluruh wajah. "Kamu udah gilak ya? habis ngapain sih, bisa berdarah separah ini. " Dia sekonyong-konyong menggendong tubuh ramping Sylvi ke ranjang. Bau alkohol tercium sangat kuat dari jarak yang hanya beberapa centimeter itu. "Kamu habis dari bar? mabuk dan nabrak? " Doni seperti bermonolog. Orang di depannya itu tidak bereaksi sama sekali. Melihat dari luka di tubuh Sylvi, Doni bisa memastikan cewek ini nyetir sendiri dan nabrak. Jika, luka penumpangnya separah ini. Mobil yang dikendarai mungkin bodi depannya sudah tidak terbentuk. "Untung kamu masih pakai sabuk pengaman, kalau gak udah one by one dengan penjaga gerbang neraka. " kata Doni lagi pelan. Dia berkata demikian, karena memang yang terluka parah adalah wajahnya Sylvi. Dia melepaskan pakaian yang dikenakan Sylvi, mengganti dengan baju yang dia ambil dari tumpukan di dalam alm
"Mas ini pesanannya sudah selesai, 50 ribu rupiah semuanya mas. " Kata penjual lalapan Lamongan itu membuyarkan konsentrasi. Doni menoleh, berjalan masuk kembali ke lapak penjual itu. Tetapi, lalapan itu ternyata bukan untuknya. Melainkan pembeli lain sebelumnya. "Bu, punya saya masih lama? " Tanya Doni, dengan perasaan mulai tidak karuan. "Kamu kan datang belakang.Sabar! Itu sambalnya baru diuleg. " Sahut penjual sinis. Doni semakin kesal. Doni keluar lapak lagi, mencoba melihat ke arah Alisha dan dua pemuda itu. Alisha terlihat memberontak, tapi juga tidak melakukan perlawanan berarti. "Teriak kek. Minta tolong. Malah cuma gerakin tangan, dikira ngedance apa. " Gumam Doni lalu masuk kembali ke lapak, "Ngapain aku tolong coba? jelas-jelas dia gak minta tolong. Biarkan lah, mau diperkosa kek, di jual ginjalnya, matanya, kulitnya. Bukan urusanku! "Doni mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya perlahan di tengah terpaan angin malam itu. Entah ini sudah barang rokok ke berapa yang
"Hei... ikut pulang gak? minimarket nya mau tutup tuh. " Sapa Doni pada Alisha yang tetap tidak bergerak barang satu mili meterpun. Juga tidak menjawab ajakan Doni. Doni merasa diabaikan, dan dia tidak suka hal demikian. "Ya sudah. Aku pulang sendiri. " ucap Doni lagi. Alisha tetap tidak menjawab. Menatap ke jalan dengan tatapan kosong tiada gerakan. Baik mata maupun anggota tubuh lain. Dia seperti Manequin yang dipajang di Etalase toko. Doni mengencangkan pengikat helm, menyalakan sepeda motor. Lalu segera meninggalkan Alisha disana. Mereka tidak saling kenal, hanya satu kompleks apartemen saja. "Mengapa harus peduli? toh dia bukan siapa-siapaku. Minta air saja ga pernah. Hanya tetangga di atas kertas. " gumamnya. Dan terus memacu sepeda motor. Dari sana ke apartemen kalau pakai kendaraan ya gak ada 10 menit, tapi kalau jalan kaki mungkin bisa satu jam an. Belum gelap dan berbahaya perempuan jalan di malam hari sendirian. Doni tiba di apartemen, melihat sekeliling. Erna sudah ti
Doni tidak habis pikir. Orang yang akan mewawancarainya adalah perempuan yang beberapa malam lalu minum bersama Juga Menghabiskan malam, berhubungan badan dengannya. Dan..... Erna segera menepuk tangan Doni. "Yang sopan sama Bu Sylvi. Dia yang punya kafe ini beserta banyak properti di kota ini." Erna mencoba meredam suasana. "Maafkan Doni ya bu. Masih kuliah, maklum anak mama dia. Jadi agak kurang bersosialisasi dan memilih bahasa. "Doni merasa perkataan itu tidak tepat ditujukan padanya. Dia ingin segera membela diri. Hanya dering telepon Sylvi membuyarkan semua. "Sebentar, saya angkat telepon dulu. " Kata Sylvi seraya meraih ponsel dan menjauh sejenak dari mereka. Erna segera mencubit lengan Doni dan mengajaknya geser beberapa meter menjauh. "Kalian saling kenal? "Doni menggeleng. Memang dia tidak kenal, "hanya pernah.... bertemu. " Bahkan Doni juga baru tahu namanya Sylvi barusan dari Erna tadi. "Meski pernah bertemu yang sopan. Dia beda kedudukan dengan kita. Dalam hidup,
Doni langsung melompat dari ranjang dan menggedor pintu kamar mandi. Ada Chika di dalam. "Mbak.. gantian. Doni perlu ke kamar mandi nih. " "Buka aja, tapi mbak lagi Pup. " sahut Chika dari dalam.Bagaimana mungkin dia akan melakukan itu, meski sudah saling lihat. Tetapi berbagai kamar mandi dengan orang yang sedang pupu, tidak masuk dalam kamus hidup Doni. Dia mengalah memakai kamar mandi luar.Setelahnya, langsung mengambil setelan kemeja rapi. Meski gerah, dia tetap butuh jaket agar angin malam tetap aman saat berkendara malam.Namun, setelah sekian waktu mencari dia tidak menemukan jaket denim bergambar jamur kesayangan. Dia tentu berinisiatif bertanya ke Chika perihal jaket tersebut karena Chika yang selama ini mencuci di laundry tempatnya bekerja. "Aku gak ada bawa jaketmu. Terakhir cuma almamater kampus sama dua celana dalam. " Kata Chika sambil mengeringkan badan. "Aku tidur daluan ya. Agak pusing. mungkin hamil anak kamu. " Kata Chika kemudian dia langsung berbarin
Chika masuk ke apartemen Doni berbekal kunci yang memang selalu ada di bawah pot yang tiasa berisi bunga. Dia memindahkan ke sana agar kunci itu lebih susah ditemukan orang yang tidak berkepentingan. "Aduh.. kotor sekali rumah ini. Dasar bujang. " pekik Chika begitu dia sampai di kamar Doni. Dia membawa makan siang beserta satu plastik besar berisi laundry pakaian Doni. Hari ini dia memang pulang lebih awal, karena dia merasa tidak enak badan. Bos tempatnya bekerja memahami dan memberikan keringan. Namun, dia kembali bugar melihat apartemen yang dia tumpangi berantakan bak kapal yang disapu badai.Maka dia mulai menata kamar itu seperti semula. Merapikan dan mengembalikan semua di tempat semula. Juga beragam pakaian dalam Doni yang berserakan. "Padahal dulu dia rapi banget ya. " gumam Chika. Dari luar Doni membuka pintu, "Loh Mbak Chika sudah pulang. ""Pulang? " Sahut Chika. "Eeh.. salah ya? " timpal Doni sambil melepas kaus kaki. Chika tertawa. Dari posisi tersebut, perempuan y