LOGIN"Mbak. Aku … aku hamil, Mbak.”
Pengakuan itu menggantung di udara antara mereka. Dara terdiam, tak menyangka bahwa rahasia yang coba disembunyikan Tari ternyata sebesar itu.Dua kata itu terucap seperti desahan terakhir, penuh dengan rasa takut dan harap. Tari menatap Dara dengan mata yang membesar, seolah mencari jawaban atau setidaknya sedikit pengertian.“Aku ... aku hamil, Mbak,” ulang Tari, suaranya bergetar semakin kencang.Dara masih terdiam, mencerna informasi itu. Pikiran langsung melayang ke Rizal, pria yang ditemui Tari siang tempo hari. “Rizal?” tanyanya singkat.Tari mengangguk pelan, air matanya mulai mengalir deras. “Kami ... kami nggak sengaja waktu itu, Mbak. Aku … aku takut.”Dalam hati, Dara berempati. Dia tahu betapa rasanya terperangkap dalam situasi yang tak diinginkan. Namun dia juga tahu konsekuensinya. Bagi Tari, bagi keluarga mereka, dan terutama bagi Arkha yang sangat proteKalimat terakhir yang diucapkan Dara terdengar seperti cambuk. Arkha tersentak, seolah baru tersadar bahwa selama ini ia hanya menjadi hakim dan penuntut, tanpa pernah mengerti posisi Dara yang selalu disalahkan dalam rumah tangganya sendiri.Arkha menarik napas pelan. Akhirnya, dia bersuara, meski lemah dan terpojok. “Aku ... aku cuma berusaha jadi yang terbaik untuk kita ….”Dara menyela, lalu tertawa getir. “Yang terbaik menurut kamu, Arkha! Bukan menurut aku! Yang terbaik itu kalau kita berdua bahagia, bukan cuma kamu yang merasa semuanya sudah beres! Aku nggak bahagia! Sudah lama aku nggak bahagia! Dan kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri sampai nggak bisa lihat!”Setelah mengucapkan semuanya, energi Dara seolah terkuras habis. Dia terduduk lemas di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dapur, menangis tersedu-sedu. Tangisan yang melelahkan.Arkha masih terduduk di kursinya, namun kini wajahnya tidak lagi hanya p
Kalimat Dara meluncur begitu saja. Tajam, dan penuh dengan ungkapan sakit hati yang selama ini dipendam. Dia bukan lagi sedang menggumam. Dia mengungkapkan ledakan kemarahan yang tertunda. Setelah hari-hari berjalan dalam perang dingin mereka, setelah kematian ibunya, dan setelah semua ketegangan dengan Rendra membuka mata hatinya, Dara akhirnya berbicara.Arkha hanya bisa terdiam. Mulutnya terbuka sedikit, tetapi tak ada suara yang keluar. Setiap kata Dara seperti pukulan telak yang menghantam semua pembelaan yang selama ini ia bangun dalam benaknya. Dia kehabisan kata-kata karena kebenaran di balik tuduhan itu tak terbantahkan.Suaranya semakin lantang, bukan berteriak, tetapi penuh tekanan emosi yang terpendam. “Selama ini aku cukup bersabar untuk semuanya, Mas. Sabar dengan prioritasmu yang selalu mengutamakan pekerjaan. Sabar dengan mood kamu yang naik turun kayak roller coaster. Sabar dengan caramu lebih percaya omongan Tari daripada kata-kataku sen
Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menyapu wajah Arkha yang masih membekas kelelahan dan sisa kemarahan semalam. Kepalanya berdenyut-denyut, sebuah rasa sakit yang cocok dengan kekacauan di pikirannya. Secara langsung, tangannya meraba sisi ranjang yang seharusnya diisi Dara.Kosong.Tempat itu dingin.“Yang ,...” panggilnya, suaranya serak. Tidak ada jawaban. Dadanya sesak dengan dugaan-dugaan buruk. Apakah Dara meninggalkannya? Apakah dia pergi dengan Rendra?Dengan jantung berdebar kencang, Arkha turun dari ranjang. Dia memeriksa kamar tamu. Kosong, hanya selimut berantakan di sofa. Ruang keluarga, sepi. Lalu, dia mendengar suara dari dapur. Bunyi spatula menyentuh wajan, bunyi desis minyak di penggorengan, aroma bawang putih yang digoreng.Arkha berhenti di ambang pintu dapur. Di sana, Dara berdiri dengan piyama sederhana, rambutnya diikat sembarangan, sedang membalik telur mata sapi di atas kompor.
Ketukan di pintu kamar tamu itu pelan, hampir ragu-ragu, namun terdengar nyaring di tengah kesunyian malam di rumah itu. Rendra yang sedang bersiap untuk tidur, tertegun. Bukan gaya Riani untuk mendatanginya, apalagi setelah pertengkaran mereka.Dengan hati berdebar karena kejutan dan sisa amarah yang belum sepenuhnya reda, Rendra membuka pintu. Dan apa yang disaksikannya membuat napasnya tersangkut di tenggorokan.Riani berdiri di sana. Cahaya lampu lorong yang redup menerpa tubuhnya. Tangan-tangannya yang biasanya selalu kaku, kini memegang kedua ujung kimono sutra tidur itu. Kimono mahal miliknya yang selalu ia pakai. Dan dengan sebuah gerakan yang lambat, Riani membuka kimono itu di hadapannya.Kimono itu terbuka, mengungkapkan tubuh Riani yang sebenarnya sangat anggun di balik balutan piyama biasa yang selalu ia kenakan. Namun di sana, tidak ada godaan. Tidak ada ajakan.Mata Riani tidak menatapnya dengan hawa nafsu atau c
Usai seharian berhadapan dengan kehampaan di rumahnya sendiri, dengan Riani yang menghindar di balik pintu kamar, Rendra merasa dinding-dinding di rumahnya itu semakin menyesak. Dia butuh keluar. Butuh sesuatu atau seseorang untuk mengalihkan pikirannya dari lingkaran pikiran tentang Dara, Arkha, dan kegagalan pernikahannya sendiri.Dia mengulurkan tangan ke ponsel, kali ini bukan untuk mencari nama Dara, tetapi untuk menelepon Rio. Seorang teman lamanya sejak kuliah, satu-satunya orang yang tahu sisi liar dan frustrasinya jauh sebelum dia menjadi ‘Rendra si terapis yang tenang’.Suara riang Rio di seberang telepon dan berisik langsung memecah kesunyian. “Wah, wah. Ada apa nih, Ren? Nggak biasanya terapis yang terkenal dan selalu nasihatin hidup sehat ini ngajak minum duluan. Dunia mau kiamat jangan-jangan?”Candaannya tajam, karena Rio tahu betul Rendra jarang sekali mengajak ke acara malam untuk minum.Dengan suara datar dan
Usai menghabiskan waktu untuk berdiam di ruang tamu, Rendra memutuskan kembali ke kamar. Riani masih duduk di ranjang. “Aku akan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu menunggu sampai kita benar-benar bercerai,” kata Rendra. Kalimat itu terdengar seperti hukuman dari pengadilan, seolah tak terbantahkan. Rendra sudah berusaha menahan badai emosinya selama ini, dan menyerah. Dia hanya berusaha untuk bertahan. Untuk tetap melindungi dirinya dari rasa sakit yang lebih dalam. Namun bagi Riani, kata cerai itu seperti pintu jebakan yang tiba-tiba terbuka di bawah kakinya. Panik yang tadi terpendam kini meluap. Dia melompat dari ranjang, kimono sutranya melambai, dan mendekati Rendra dengan langkah tergopoh-gopoh. Riani meraih lengan Rendra, suaranya tinggi, penuh kepanikan yang sangat jelas. “Jangan, Rendra! Aku belum bisa kayak gini! Please, jangan tinggalin aku!”







