LOGINPengakuan itu keluar dari bibir Dara seperti bisikan patah, penuh dengan kepahitan dan rasa tidak percaya. Tapi efeknya pada Rendra langsung terasa.
Tanpa peringatan, Rendra menginjak pedal rem lebih dalam. Ban mobil bergesekan dengan kencang di jalan yang basah, membuat ban berdecit dan Dara terlempar ke sandaran kursinya.“Dia BERANI MELAKUKAN ITU?” geram Rendra, suaranya rendah namun penuh amarah yang meledak. Tangannya mencengkeram setir lebih erat, urat di tangannya menegang.Dara tak menyangka reaksinya akan sekeras itu. Dalam kemarahan Rendra, ada sesuatu yang membuat Dara merasa nyaman sekaligus bersalah. Sebuah perlindungan yang membuat dadanya sesak dengan perasaan campur aduk.Di satu sisi, ia merasa terlindungi. Di sisi lain, ini membuktikan betapa dalamnya perasaan Rendra padanya. Dan betapa berbahayanya perasaan itu.Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan yang sepi, hanya diterangi oleh cahaya remaRendra hampir tertidur saat suara itu menyelinap masuk, selembut angin malam tetapi sekeras dentuman musik di telinganya, membuatnya terjaga. “Ren ... kamu pulang?”Rendra membuka mata. Di ambang pintu kamar yang remang-remang, berdiri sosok yang tidak mungkin ada di sana, namun selalu hadir dalam mimpinya. Dara. Rambutnya acak-acakan, matanya masih sembap, tetapi ada kerinduan yang tak terbendung di dalamnya.Sebelum Rendra sempat menyadari ini mimpi atau kenyataan, Dara sudah melangkah cepat ke tempat tidur. Tangannya yang dingin meraih lengannya, menariknya mendekat. Lalu, dia menghambur ke pelukannya, menyembunyikan wajahnya di dada Rendra, menggenggam erat baju tidurnya seolah takut ia menghilang.Rendra membeku sejenak, lalu nalurinya mengambil alih. Lengannya dengan sendirinya melingkari tubuh Dara yang menggigil. Dia menunduk, menempatkan bibirnya di puncak kepala Dara yang harum dengan aroma sampo sederhana. Ciuman itu penuh dengan
“Apa??”Mata Riani terbelalak seketika.Rencana itu terlintas di benak Rendra sebagai satu-satunya pelarian. Baginya, dan terutama untuk Dara. Tapi begitu diucapkan pada Riani, reaksinya langsung dan tegas, menghentikan pikiran picik yang sudah mulai kehilangan arah itu.Riani menyilangkan tangan, matanya menatap tajam suaminya. “Kamu bilang ke luar negeri?” ulangnya, memastikan.Saat Rendra mengangguk, dia langsung menggeleng. Menolak ide gila itu. “Nggak, Ren. Itu bukan ide bagus. Itu sama aja kamu pengecut dan mengakui skandal itu di mata publik.”Pandangannya tajam. Riani bisa melihat pertarungan itu dari sudut pertempuran citra yang sudah dibangunnya di depan publik. “Kamu kabur, artinya kamu punya sesuatu untuk disembunyikan. Media akan lebih gila. Mereka akan gali lebih dalam, dan justru lebih mungkin buat mereka tahu siapa wanita misterius itu.”Rendra menghela napas berat, duduk di kursi se
Jalanan malam yang lengang menjadi tempat pelampiasan frustrasi Rendra. Dia menekan pedal gas mobilnya lebih dalam sehingga mobil melaju kencang, membawa serta kekacauan emosi dari pertikaian dengan Arkha di rumah Dara.Bayangan terakhir Dara mengusirnya, wajahnya yang lelah, masih terpampang jelas di benaknya. Dia kalah. Bukan oleh Arkha, tetapi oleh keinginan Dara untuk bebas dari mereka berdua.Saat mobilnya mendekati rumahnya, harapan akan ketenangan sirna oleh pemandangan yang sudah ia duga sebelumnya. Kerumunan wartawan yang masih bertahan di depan gerbang dengan kamera itu membuatnya jengkel. Lampu kamera dan sorotan menyala saat mobilnya mendekat, siap menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama menyiksa.Rasa lelah, marah, dan kekalahan yang terpendam mendidih menjadi satu. Daripada melambat dan terjebak dalam lingkaran pertanyaan yang tak ada habisnya, Rendra memilih cara yang lebih keras. Jarinya menekan tombol klakson mobilnya dengan kuat dan terus-menerus.TIIINN—
“Jadi kamu mau terang-terangan mengakui kalau kamu selingkuh sama istriku, hah?” Arkha berteriak di depan wajah Rendra.Pertanyaannya bukan lagi mencari jawaban, melainkan sebuah tuduhan yang ingin dia tujukan pada Rendra di depan Dara.Rendra merasakan tangan Dara mengeratkan genggamannya di lengan jaketnya dari belakang. Tubuh Rendra yang menjadi perisai itu seketika menegang. Dia tahu, apapun jawabannya akan menjadi bumerang.Jika menyangkal, dia akan terlihat seperti pengecut dan seorang pembohong. Namun, mengakuinya akan menjadi senjata pamungkas bagi Arkha untuk melabeli mereka sebagai pasangan pendosa. Sekaligus pembenaran untuk semua kemarahannya.Rendra mendesah, merasa sudah lelah dengan kebohongan. Dia menatap Arkha, matanya tidak lagi berisi amarah.Rendra tidak membela diri. Dia hanya mengatakan perasaannya. “Aku tidak pernah menyentuhnya dengan niat seperti itu, Arkha. Tidak sampai hari ini. Ta
Langkah Rendra terhenti di depan pintu kayu rumah tua itu. Dari dalam, terdengar suara. Bukan suara tangisan, tetapi teriakan yang teredam, penuh dengan emosi yang meledak. Suara Dara. Dan suara lain yang lebih dalam, sedang marah. Dia menduga itu suara Arkha. Debat. Pertengkaran. Sakit hati yang memecah kesunyian malam di rumah itu. Setiap kata yang tertangkap samar olehnya seperti cambuk di punggung. Rendra tidak tahan. Kekhawatiran berubah menjadi sebuah keberanian yang nekat. Dia tidak bisa hanya berdiri di luar sementara Dara mungkin sedang disakiti. Tanpa berpikir lagi, dia mengepalkan tangannya untuk menggedor pintu kayu yang kokoh itu. Suara gedoran itu keras, memecah ketegangan di dalam rumah. “Dara! Buka pintunya! Dara, aku di sini!” Teriakan Rendra penuh dengan kepanikan dan keinginan melindungi. Dia tidak peduli apakah Arkha ada di dalam. Justru, kemung
Dinginnya air yang mengucur dari keran menyiram wajah Rendra, tetapi tidak bisa mendinginkan kegelisahan yang mendidih di dalam dadanya. Pikirannya berputar-putar di antara strategi hukum, narasi media, dan satu kekhawatiran yang paling membuatnya tak tenang.Dara.Ponsel Dara tak bisa dihubungi atau dia sengaja menonaktifkan daya ponselnya. Setiap kali Rendra menelepon, hanya nada sambung monoton yang terdengar, seolah menegaskan jarak yang tiba-tiba terbentang lagi di antara mereka.Apakah Dara baik-baik saja? Apakah dia terjebak dalam pusaran berita? Atau, yang paling buruk, apakah Arkha telah menemukannya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya?Kekhawatiran itu lebih tajam dari segala ancaman pada karirnya.Tok-tok-tok!Ketukan di pintu kamar mandi memutus konsentrasinya. Suara Riani terdengar datar dari balik pintu.“Ren, aku mau keluar sebentar ya,” katanya.Rendra







