LOGIN“Silakan duduk dengan nyaman,” ujar suara berat itu dengan nada lembut tapi berwibawa. “Tidak perlu tegang. Di sini tidak akan ada yang menghakimimu.”
Dr. John Maxwell menutup map di tangannya, lalu menatap perempuan yang duduk di seberangnya. Sekilas, pria itu tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa menampung rahasia-rahasia terdalam manusia—tenang, sabar, dan sangat profesional.
Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa padat.
Sophia hanya bisa menatapnya dalam diam, tubuhnya kaku di kursi empuk berwarna krem, sementara pikirannya berputar cepat, mencoba menyesuaikan antara kenangan masa lalu dan kenyataan yang kini terhampar di depan mata.
Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya.
John Maxwell—nama lengkap yang dulu sering ditulis gadis SMA itu di halaman belakang buku catatannya, dan diapit coretan hati kecil.
Cinta pertamanya. Pria yang dulu dia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan apa pun.
Dan kini, pria itu duduk di hadapannya, mengenakan kemeja putih rapi dengan dasi hitam gelap yang kontras di kulitnya yang sedikit sawo matang.
Lengan bajunya tergulung hingga siku, memperlihatkan urat tangan yang menonjol setiap kali dia menulis sesuatu. Jam tangan perak di pergelangan kirinya berkilau halus ketika cahaya pagi menembus tirai ruangan.
Sophia bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana mungkin dia harus duduk di depan cinta lamanya—untuk membicarakan tentang ketidakmampuannya bergairah?
John menatapnya lekat-lekat, tapi tatapan itu bukan tatapan masa lalu. Bukan tatapan seorang pemuda SMA yang dulu sering meminjamkan jaketnya saat hujan.
Ini tatapan seorang profesional, dokter, pria yang kini tahu cara membaca manusia hanya lewat bahasa tubuh dan nada napasnya.
“Sudah lama sekali,” akhirnya John membuka suara lagi.
Sophia menelan ludahnya dengan pelan. “Kau … masih ingat aku?”
Senyum tipis terbentuk di sudut bibir John. “Sulit untuk melupakan seseorang yang pernah menulis namaku di buku catatannya setiap hari.”
Wajah Sophia langsung merona. “Astaga …,” gumamnya sambil menutupi wajahnya dengan satu tangan.
John terkekeh pelan—suara yang dulu selalu membuat jantungnya berdebar. Tapi kini, debar itu terasa campur aduk antara nostalgia, gugup, dan malu luar biasa.
“Tenang saja,” ujar John lembut, “Aku di sini sebagai profesional, Sophia. Bukan sebagai seseorang dari masa lalumu. Tapi, kalau kau merasa tidak nyaman, aku bisa merekomendasikan rekan lain.”
Sophia menggeleng dengan cepat. “Tidak! Maksudku, tidak perlu. Aku … aku bisa menghadapinya.”
Meski sebenarnya, detak jantungnya berdebar begitu keras hingga dia takut John bisa mendengarnya.
Pria itu mengangguk, lalu menulis sesuatu di kertas di depannya. “Baik. Mari kita mulai dari awal. Mike memberitahuku sedikit tentang kondisimu, tapi aku ingin mendengar langsung darimu.”
Sophia menarik napas dalam. Mungkin karena John bukan orang asing sepenuhnya, mulutnya lebih mudah terbuka—tapi justru karena dia adalah John, rasa malunya meningkat berkali lipat.
Sophia menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan kegugupan yang membuat telapak tangannya dingin.
“Terima kasih, Dokter,” katanya dengan pelan.
John mengangguk lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Sebelum kita mulai, panggil aku John saja. Di ruangan ini, kita bicara setara. Tidak ada jarak yang harus dijaga. Lagi pula, kita sudah saling kenal sebelumnya, bukan?”
Sophia langsung memalingkan wajahnya begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh John–pria yang sempat mengisi masa lalunya, dan kini dia harus berhadapan lagi dengannya.
“Baiklah … John.” Ia mencoba tersenyum, meski matanya menunduk tak mampu menatap mata John yang begitu memukau menurutnya.
“Jadi,” ujar John sambil menulis sesuatu di buku catatan kulitnya. “Tunggu.” Sophia menelan ludahnya. Dia baru sadar kalau John adalah sepupu tunangannya. “Jadi, kau … sepupunya Mike?”
John mengangguk singkat. “Ya. Dan aku pun baru tahu, kalau kau adalah tunangan sepupuku. Bagaimana? Masih mau lanjut?”
Tidak ada pilihan lain selain mengangguk. Meski harus berhadapan dengan masa lalunya setiap hari, setidaknya dia bisa sembuh dan normal layaknya manusia pada umumnya.
“Lanjut saja, John,” jawabnya mantap.
“Baik.” John tersenyum menatap lekat wajah Sophia. “Kau mengalami kesulitan dalam hal keintiman dengan pasanganmu?”
Sophia menelan ludahnya sambil menatap jemari yang bertaut di pangkuannya. “Ya. Kami … sudah mencoba berkali-kali. Tapi setiap kali dia menyentuhku, aku membeku. Kadang sampai panik, atau bahkan pingsan.”
John tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya mengangguk dengan pelan. “Apakah kau tahu sejak kapan hal itu terjadi?”
Sophia menggeleng dengan pelan. “Aku tidak tahu pasti. Tapi setiap kali Mike mulai terlalu dekat, rasanya seperti tubuhku menolak. Bukannya merespon, aku justru ketakutan.”
“Takut apa?”
Pertanyaan sederhana itu membuat jantung Sophia mencelos. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.
Gambar-gambar dari masa kecilnya melintas begitu saja—suara teriakan ibunya, piring yang pecah, bayangan ayahnya yang meninggalkan rumah dengan wajah dingin.
“Takut … kalau aku akan berakhir seperti mereka,” jawabnya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
“Orang tuaku. Mereka saling mencintai, tapi setiap hari saling menghancurkan. Ibuku sering menangis. Ayahku selingkuh. Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa pernikahan hanya akan membawa luka.”
John menatapnya dalam diam. Bukan tatapan kasihan, tapi penuh empati. “Itu pengalaman yang berat, Sophia. Tidak heran tubuhmu bereaksi begitu. Tubuh kita punya cara sendiri melindungi diri dari hal yang diasosiasikan dengan bahaya.”
Sophia menatapnya dan bibirnya sedikit terbuka. “Jadi ini bukan salahku?”
“Tidak,” jawab John mantap. “Kau tidak rusak. Kau hanya belum sembuh.”
Kata-kata itu seperti udara segar di dada Sophia. Namun di sisi lain, sorot mata John yang begitu dalam membuatnya merasa seolah sedang dilucuti perlahan, hingga tak ada lagi lapisan pelindung yang bisa dia sembunyikan.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan pelan.
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika cahaya matahari menembus tipis celah tirai kamar hotel.Udara pagi terasa hangat dan tenang, menyisakan keheningan yang nyaman setelah malam panjang yang mereka lewati bersama.Kamar itu masih dipenuhi aroma samar parfum dan linen bersih, menjadi saksi kebersamaan yang membuat keduanya lupa sejenak pada dunia di luar sana.John membuka matanya perlahan. Dia lalu menoleh ke samping dan menemukan Sophia masih terlelap dengan napas teratur.Wajah wanita itu tampak damai, jauh dari bayang-bayang ketakutan yang selama ini sering menghantuinya.John tersenyum kecil, hatinya menghangat melihat pemandangan itu. Dengan gerakan hati-hati, dia mendekat dan mengecup bibir Sophia dengan kecupan hangat dan singkat cukup untuk membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.Sophia menggeliat pelan. Ia meregangkan kedua tangannya, lalu membuka matanya perlahan.Pandangannya bertemu dengan tatapan John yang lembut, membuat sudut bibirnya terangkat membentuk senyum
Makan malam pun berlangsung penuh percakapan ringan, tawa kecil, dan godaan yang berbalut manja.Namun di balik semua itu, ada ketegangan erotis yang menggantung dan semakin pekat dari menit ke menit.Hingga akhirnya, Sophia menaruh garpu dan pisaunya dan menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi puas. “Hh. Perutku sudah kenyang sekali, John.”Kata-kata itu seperti bel tanda akhir pertandingan yang sudah lama ditunggu.John menegakkan tubuhnya menatap Sophia dengan tatapan yang tak lagi bisa disembunyikan. Hasrat yang sejak tadi ia tahan, kini menyeruak keluar tanpa malu.“Bagus,” gumamnya dengan suara berat dan parau. Ia mencondongkan tubuh ke meja dan kedua tangannya bertumpu kuat.“Sekarang ... giliranku. Kau sudah membuat aku menggila sepanjang makan malam ini, Sophia. Jadi ....”Ia berdiri perlahan lalu berjalan memutari meja dengan langkah mantap.Sophia menatapnya tanpa berkedip sementara jantungnya berdegup dengan kencang. Setiap detik terasa panjang, seakan udara di ruan
Waktu menunjuk angka sebelas malam dan John mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Restoran itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.John sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, sebuah restoran mewah dengan pelayanan privat yang menjamin ketenangan.Ia bahkan menyewa satu ruang VIP tertutup, memastikan Sophia merasa aman, nyaman, dan tidak perlu cemas dengan tatapan orang lain.Sophia melangkah masuk dengan gaun sederhana berwarna krem yang membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya tergerai rapi, dan matanya menelusuri ruangan itu dengan sedikit heran. Meja makan ditata elegan, lilin-lilin kecil menyala lembut, dan alunan musik klasik terdengar samar.“Kenapa mendadak sekali?” tanya Sophia begitu mereka duduk berhadapan. Nada suaranya lembut, namun jelas mengandung rasa penasaran. “Kau bahkan tidak memberiku waktu untuk bersiap-siap.”John tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat dada Sophia terasa hangat tanpa alasan j
Tiga hari kemudian, suasana di ruang kerja John terasa jauh lebih berat dari biasanya.Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya pagi masuk samar, seolah ikut menyesuaikan diri dengan suasana hati penghuninya.Di atas meja kerjanya, sebuah map tebal berwarna cokelat tergeletak rapi, penuh dengan dokumen, grafik, dan laporan rinci yang baru saja diserahkan oleh tim audit independen yang ia tugaskan.John duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam menelusuri wajah dua orang auditor yang duduk di hadapannya.Sejak pagi tadi, ia menahan diri untuk tetap tenang, meski dadanya terasa sesak oleh firasat buruk yang sejak awal tak pernah benar-benar ia sangkal.“Kami sudah menyelesaikan penelusuran alur dana yang diberikan oleh Sophia delapan bulan lalu,” ucap salah satu auditor, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis dan suara datar profesional.John mengangguk. “Mulai dari awal,” katanya singkat.Auditor itu membuka map, menarik satu
John datang ke apartemen dengan langkah cepat namun tertahan, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum benar-benar berhadapan dengan Sophia.Pintu ditutup pelan di belakangnya. Aroma sabun dan uap hangat dari kamar mandi masih terasa di udara, menandakan Sophia baru saja selesai mandi.Ia menemukannya duduk di depan meja rias, mengenakan piyama sederhana berwarna lembut.Rambutnya masih setengah basah, disisir perlahan dengan gerakan yang tampak mekanis. Tatapannya kosong, fokus pada pantulan dirinya sendiri, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana.John berdiri di sampingnya tanpa langsung bicara. Ia memperhatikan Sophia beberapa detik, lalu meletakkan sebuah map tipis di atas meja rias, tepat di samping botol lotion dan sisir kayu milik Sophia.Suara kertas yang menyentuh permukaan kayu membuat Sophia menoleh. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dokumen asing itu.“Ini apa?” tanyanya pelan, namun jelas.John menarik napas, lalu menjawab dengan suara rendah namun teg
Mike datang ke klinik John tanpa membuat janji, tanpa basa-basi, dan tanpa sedikit pun niat menahan emosinya.Pintu ruang praktik itu terbuka dengan hentakan keras, membuat beberapa perawat di luar terkejut dan menoleh bersamaan.John yang tengah berdiri di dekat meja kerjanya hanya melirik sekilas, seolah sudah menduga siapa tamu tak diundang itu.“Apa semua ini ulahmu?” bentak Mike tanpa salam.Dadanya naik turun, rahangnya mengeras, dan matanya merah oleh amarah yang belum sempat mereda sejak pagi.“Tim audit pajak itu. Kau yang mendatangkan mereka ke perusahaanku, kan?” pekiknya dengan kasar.John tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke meja, lalu melipat tangan di dada dengan sikap santai yang justru membuat darah Mike semakin mendidih. Wajah John tetap tenang, nyaris dingin.“Aku sudah bilang,” ujar John akhirnya dengan nada datar. “Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”Mike mendengus kasar. “Jadi benar. Kau sengaja menghancurkan perusahaanku.”John me







