LOGINJohn menutup buku catatannya dengan tenang lalu berdiri. Suara gesekan kursinya terdengar lembut namun cukup untuk membuat dada Sophia bergetar aneh.
Pria itu berjalan mengelilingi meja, langkahnya mantap, hingga berhenti tepat di depannya.
Ia lalu menarik kursi dan duduk, begitu dekat hingga Sophia bisa mendengar napasnya, bisa mencium aroma samar cologne yang hangat dan maskulin, perpaduan kayu cedar dan vanila yang memunculkan memori samar dari masa remaja.
Kehadirannya mendominasi ruangan, bukan dengan ancaman, tapi dengan aura yang kuat dan menenangkan di saat bersamaan.
“Kita akan mulai perlahan,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan.
Sophia hanya mampu mengangguk. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga dia yakin ruangan ini bisa mendengarnya.
“Pertama,” lanjut John, “aku ingin kau mengenali tubuhmu sendiri. Mengenali kapan rasa takut itu mulai muncul, dan dari mana asalnya. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak ada paksaan apa pun di sini. Kau hanya perlu jujur terhadap dirimu sendiri.”
Sophia mengangguk lagi dan matanya tertuju pada tangan John yang kini terlipat di atas lututnya.
Tangan itu — yang dulu menulis surat kecil berisi kalimat sederhana di kertas catatan sekolah. ‘Kau membuat hariku lebih baik hari ini.’
Kini tangan yang sama duduk hanya sejengkal dari lututnya sendiri.
“Tarik napas perlahan,” ucap John sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. “Dan katakan padaku, apa yang kau rasakan sekarang?”
Sophia menutup matanya sambil berusaha fokus pada napasnya yang tidak stabil. “Jantungku … berdebar.”
“Karena aku?”
Pertanyaan itu meluncur lembut, tapi berhasil membuat matanya langsung terbuka lebar. Tatapan mereka bertemu begitu intens, tak ada ruang untuk bersembunyi.
John tersenyum tipis, tapi tidak melanjutkan pertanyaan itu. Seolah cukup tahu jawabannya.
“Mungkin,” jawab Sophia lirih, hampir seperti pengakuan yang ia ucapkan tanpa sadar.
John hanya mengangguk pelan. “Itu reaksi yang normal. Kadang ketertarikan dan ketakutan terasa mirip. Kita hanya perlu belajar membedakannya.”
Kata-katanya bergaung lama di benak Sophia. Ketertarikan dan ketakutan terasa mirip. Ia lantas menunduk, berusaha menenangkan dirinya, tapi justru semakin sadar akan jarak di antara mereka yang terlalu dekat.
Mengapa tubuhnya terasa panas sekarang? Mengapa napasnya berat setiap kali pria itu berbicara?
Ini bukan seperti sesi terapi yang dia bayangkan. Ini terasa seperti ujian untuk menahan diri dari sesuatu yang tidak seharusnya dia rasakan.
“Coba pikirkan,” ujar John lembut dengan suara pelan seperti hipnotis, “kapan terakhir kali kau merasa benar-benar aman saat seseorang mendekat?”
Pertanyaan itu cukup membuat Sophia terdiam. Dia hanya menggigit bibir bawahnya, mencoba menjawab tapi suaranya tercekat. “Aku … tidak ingat.”
John menatapnya lama, lalu menunduk sedikit. “Mungkin karena belum ada yang benar-benar membuatmu merasa aman.” suaranya menurun jadi nyaris berbisik.
Hening mengisi ruangan di sana. Sophia menatap matanya, dan dalam sekejap, semua perasaan yang berusaha ia tekan sejak dulu tiba-tiba naik ke permukaan — nostalgia, rindu, rasa bersalah, dan sesuatu yang jauh lebih dalam dari itu.
Ia berusaha berpaling, tapi tatapan John seolah menahannya di tempat. Ada kekuatan dalam cara pria itu melihatnya — bukan dominasi, tapi pengaruh yang nyaris membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri.
“Cukup untuk hari ini,” kata John akhirnya, memecah ketegangan itu. Ia lalu berdiri sambil mengambil sesuatu dari meja, lalu menyodorkan sebuah kartu kecil.
“Ini jadwal sesi selanjutnya. Datanglah ketika kau merasa siap.”
Sophia mengambilnya, dan saat jemarinya bersentuhan dengan tangan John, dunia seolah berhenti berdetak sejenak.
Sebuah sensasi halus merambat di kulitnya — bukan sentuhan, hanya kebetulan yang terlalu berarti.
Ia menarik tangannya cepat-cepat, menunduk, pipinya memanas. “Terima kasih … Dokter.”
John tersenyum samar, matanya tetap menatapnya tanpa menghakimi. “Panggil aku John. Di ruangan ini, kita bicara sebagai manusia, bukan gelar.”
Sophia terdiam, lalu mengangguk kecil. “Baiklah … John.”
Ketika dia melangkah keluar dari ruangan itu, lututnya masih terasa ringan seperti kapas.
Udara pagi di luar klinik menampar lembut wajahnya, tapi bukan untuk menenangkan—malah membuatnya semakin sadar akan sesuatu yang bergolak di dalam.
Ia tidak tahu apakah ia baru saja menjalani sesi terapi atau membuka luka yang belum siap ia hadapi. Yang ia tahu, jantungnya masih berdetak seperti baru saja berlari.
“Ini hanya terapi,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi bagian lain dalam dirinya berbisik balik: ‘Atau mungkin awal dari sesuatu yang lebih dalam dari itu.’
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika cahaya matahari menembus tipis celah tirai kamar hotel.Udara pagi terasa hangat dan tenang, menyisakan keheningan yang nyaman setelah malam panjang yang mereka lewati bersama.Kamar itu masih dipenuhi aroma samar parfum dan linen bersih, menjadi saksi kebersamaan yang membuat keduanya lupa sejenak pada dunia di luar sana.John membuka matanya perlahan. Dia lalu menoleh ke samping dan menemukan Sophia masih terlelap dengan napas teratur.Wajah wanita itu tampak damai, jauh dari bayang-bayang ketakutan yang selama ini sering menghantuinya.John tersenyum kecil, hatinya menghangat melihat pemandangan itu. Dengan gerakan hati-hati, dia mendekat dan mengecup bibir Sophia dengan kecupan hangat dan singkat cukup untuk membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.Sophia menggeliat pelan. Ia meregangkan kedua tangannya, lalu membuka matanya perlahan.Pandangannya bertemu dengan tatapan John yang lembut, membuat sudut bibirnya terangkat membentuk senyum
Makan malam pun berlangsung penuh percakapan ringan, tawa kecil, dan godaan yang berbalut manja.Namun di balik semua itu, ada ketegangan erotis yang menggantung dan semakin pekat dari menit ke menit.Hingga akhirnya, Sophia menaruh garpu dan pisaunya dan menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi puas. “Hh. Perutku sudah kenyang sekali, John.”Kata-kata itu seperti bel tanda akhir pertandingan yang sudah lama ditunggu.John menegakkan tubuhnya menatap Sophia dengan tatapan yang tak lagi bisa disembunyikan. Hasrat yang sejak tadi ia tahan, kini menyeruak keluar tanpa malu.“Bagus,” gumamnya dengan suara berat dan parau. Ia mencondongkan tubuh ke meja dan kedua tangannya bertumpu kuat.“Sekarang ... giliranku. Kau sudah membuat aku menggila sepanjang makan malam ini, Sophia. Jadi ....”Ia berdiri perlahan lalu berjalan memutari meja dengan langkah mantap.Sophia menatapnya tanpa berkedip sementara jantungnya berdegup dengan kencang. Setiap detik terasa panjang, seakan udara di ruan
Waktu menunjuk angka sebelas malam dan John mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Restoran itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.John sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, sebuah restoran mewah dengan pelayanan privat yang menjamin ketenangan.Ia bahkan menyewa satu ruang VIP tertutup, memastikan Sophia merasa aman, nyaman, dan tidak perlu cemas dengan tatapan orang lain.Sophia melangkah masuk dengan gaun sederhana berwarna krem yang membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya tergerai rapi, dan matanya menelusuri ruangan itu dengan sedikit heran. Meja makan ditata elegan, lilin-lilin kecil menyala lembut, dan alunan musik klasik terdengar samar.“Kenapa mendadak sekali?” tanya Sophia begitu mereka duduk berhadapan. Nada suaranya lembut, namun jelas mengandung rasa penasaran. “Kau bahkan tidak memberiku waktu untuk bersiap-siap.”John tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat dada Sophia terasa hangat tanpa alasan j
Tiga hari kemudian, suasana di ruang kerja John terasa jauh lebih berat dari biasanya.Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya pagi masuk samar, seolah ikut menyesuaikan diri dengan suasana hati penghuninya.Di atas meja kerjanya, sebuah map tebal berwarna cokelat tergeletak rapi, penuh dengan dokumen, grafik, dan laporan rinci yang baru saja diserahkan oleh tim audit independen yang ia tugaskan.John duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam menelusuri wajah dua orang auditor yang duduk di hadapannya.Sejak pagi tadi, ia menahan diri untuk tetap tenang, meski dadanya terasa sesak oleh firasat buruk yang sejak awal tak pernah benar-benar ia sangkal.“Kami sudah menyelesaikan penelusuran alur dana yang diberikan oleh Sophia delapan bulan lalu,” ucap salah satu auditor, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis dan suara datar profesional.John mengangguk. “Mulai dari awal,” katanya singkat.Auditor itu membuka map, menarik satu
John datang ke apartemen dengan langkah cepat namun tertahan, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum benar-benar berhadapan dengan Sophia.Pintu ditutup pelan di belakangnya. Aroma sabun dan uap hangat dari kamar mandi masih terasa di udara, menandakan Sophia baru saja selesai mandi.Ia menemukannya duduk di depan meja rias, mengenakan piyama sederhana berwarna lembut.Rambutnya masih setengah basah, disisir perlahan dengan gerakan yang tampak mekanis. Tatapannya kosong, fokus pada pantulan dirinya sendiri, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana.John berdiri di sampingnya tanpa langsung bicara. Ia memperhatikan Sophia beberapa detik, lalu meletakkan sebuah map tipis di atas meja rias, tepat di samping botol lotion dan sisir kayu milik Sophia.Suara kertas yang menyentuh permukaan kayu membuat Sophia menoleh. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dokumen asing itu.“Ini apa?” tanyanya pelan, namun jelas.John menarik napas, lalu menjawab dengan suara rendah namun teg
Mike datang ke klinik John tanpa membuat janji, tanpa basa-basi, dan tanpa sedikit pun niat menahan emosinya.Pintu ruang praktik itu terbuka dengan hentakan keras, membuat beberapa perawat di luar terkejut dan menoleh bersamaan.John yang tengah berdiri di dekat meja kerjanya hanya melirik sekilas, seolah sudah menduga siapa tamu tak diundang itu.“Apa semua ini ulahmu?” bentak Mike tanpa salam.Dadanya naik turun, rahangnya mengeras, dan matanya merah oleh amarah yang belum sempat mereda sejak pagi.“Tim audit pajak itu. Kau yang mendatangkan mereka ke perusahaanku, kan?” pekiknya dengan kasar.John tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke meja, lalu melipat tangan di dada dengan sikap santai yang justru membuat darah Mike semakin mendidih. Wajah John tetap tenang, nyaris dingin.“Aku sudah bilang,” ujar John akhirnya dengan nada datar. “Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”Mike mendengus kasar. “Jadi benar. Kau sengaja menghancurkan perusahaanku.”John me







