Mag-log in“Over here!” serunya begitu melihat Sophia masuk. Kini, mereka berada di kafe yang tak jauh dari klinik milik John.
Sophia tersenyum lemah dan menghampiri sambil melepas mantel panjangnya, lalu duduk di hadapan sahabatnya itu.
“Jadi?” tanya Bianca tanpa basa-basi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana sesi keduamu? Kau terlihat berbeda setelah melakukan terapi pertama.”
“Berbeda bagaimana?” tanyanya bingung.
“Entahlah.” Bianca menyipitkan matanya menatap lekat wajah Sophia. “Wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu, atau baru saja jatuh cinta.”
Sophia terdiam sambil menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Mungkin keduanya,” gumamnya lirih.
Bianca mengernyit. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.
Sophia menatap ke luar jendela seolah mencari keberanian lalu menghela napas panjang. “John Maxwell,” katanya pelan. “Psikolog itu … dia bukan orang asing. Aku mengenalnya.”
“Kenal?” Bianca mendekat dengan raut wajah antusiasnya. “Dalam arti kenal bagaimana? Kau pernah bekerja dengannya?”
Sophia menggeleng dengan pelan. “Tidak. Dia adalah cinta pertamaku. Saat kami masih SMA. Kami satu sekolah yang sama.”
Bianca hampir tersedak kopinya. “Astaga, kau serius?”
Sophia mengangguk sementara matanya memancarkan campuran malu dan resah. “Aku bahkan tidak tahu sampai aku melihatnya. Aku pikir itu hanya kebetulan namanya sama. Tapi begitu aku melihat wajahnya, aku langsung tahu itu dia.”
Bianca menatapnya tak percaya. “Lalu? Apa dia mengenalimu juga?”
“Ya. Tapi dia tidak membahasnya. Hanya bilang dia ingat padaku.”
“Dan?”
“Dan aku—” Sophia menarik napas panjang. “Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Setiap kali dia bicara, aku seperti kembali jadi remaja. Dan yang lebih buruk, aku … aku tidak bisa mengendalikan diri.”
“Dalam arti?” tanya Bianca pelan.
“Jantungku berdebar, tanganku gemetar, bahkan aku merasa nyaman saat di dekatnya.”
Sophia menunduk dalam-dalam karena malu mengakui hal tersebut. “Padahal aku seharusnya tidak merasakan itu. Ini terapi, bukan … bukan pertemuan romantis.”
Bianca menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. “Sophia, aku tahu ini rumit. Tapi kau sadar kan, kalau kau hentikan sesi ini sekarang, Mike pasti curiga. Dia sudah mengatur semuanya.”
Sophia menatapnya dengan mata membulat. “Jadi kau pikir aku harus tetap datang?”
“Ya, kalau kau tidak mau Mike akan marah besar.” Bianca mengangkat bahu. “Lagi pula, ini cuma terapi. Selama kau bisa menjaga jarak, tidak ada masalah, kan?”
“Menjaga jarak ….” Sophia tertawa hambar. “Kau tahu apa yang lebih sulit dari menjaga jarak? Berpura-pura tidak merasakan apa pun ketika orang itu menatapmu seolah tahu semua rahasiamu.”
Bianca terdiam sejenak, lalu menatap Sophia dengan lembut. “Kau masih mencintainya, ya?”
Pertanyaan itu sontak membuat dada Sophia terasa berat. Dia tidak menjawab, hanya menatap kopi yang mulai dingin.
Sebelum Bianca sempat bicara lagi, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah pintu.
Aroma cologne yang samar namun familiar langsung membuat tubuh Sophia menegang. Ia lalu mendongak — dan nyaris menjatuhkan sendok di tangannya.
John Maxwell berdiri di sana. Dengan mantel hitam panjang, rambut sedikit berantakan, dan senyum tenang yang selalu tampak terkendali.
“Oh, apa ini kebetulan,” katanya ramah sambil melangkah mendekat. “Sophia Russell.”
Sophia hampir kehilangan kata. “John?”
Bianca langsung menoleh, matanya membesar. “Tunggu, ini doktermu?”
John tersenyum kecil, lalu menatap ke arah Bianca. “Ya. Kau pasti sahabatnya.” Ia mengulurkan tangan. “John Maxwell.”
“Bianca Adams,” sahut Bianca cepat sambil berjabat tangan dengan wajah yang berbinar. “Oh Tuhan, kau jauh lebih tampan daripada yang dideskripsikan oleh Sophia.”
Sophia nyaris tersedak. “Bianca!”
John tertawa kecil, nada tawanya rendah tapi tulus. “Aku harap deskripsinya tidak terlalu buruk.”
“Justru sebaliknya,” jawab Bianca sambil tersenyum geli. “Dia bilang kau menenangkan dan berbahaya.”
“Berbahaya?” John menatap Sophia dengan alis terangkat. “Itu deskripsi yang menarik.”
Sophia berdehem lalu menunduk dalam, wajahnya sudah merah padam karena ucapan Bianca dan John barusan. “Kau … sering datang ke sini?” tanyanya mencoba mengalihkan topik.
John mengangguk sambil duduk di meja mereka, seolah hal itu wajar saja. “Kafe ini milik teman lamaku. Aku sering mampir setelah sesi sore. Tidak menyangka akan bertemu pasien di sini.”Bianca menatap ke arah Sophia dengan ekspresi yang berkata, lihat? bahkan semesta pun ingin kalian bertemu lagi.
Sophia memaksakan senyum pada John. “Kami hanya mengobrol ringan.”
John menatapnya sejenak, dan senyum itu kembali muncul — samar, nyaris tak terbaca. “Baiklah, asal bukan obrolan tentang menghentikan terapi.”
Sophia tertegun. “Kau tahu?”
John menatapnya lembut tapi tegas. “Aku tidak perlu tahu dari siapa pun. Wajahmu sudah mengatakan semuanya. Dan sedikit mendengar sebelum menghampirimu.”
Bianca berusaha menahan senyum, jelas menikmati situasi itu. “Wah, dokter yang peka sekaligus tampan. Tidak heran pasiennya tidak mau berhenti terapi.”
“Bianca!” seru Sophia lagi, dan kali ini nyaris putus asa dibuatnya.
John hanya terkekeh kecil. “Aku tidak akan menahannya kalau memang ingin berhenti, tapi ….” Ia mencondongkan tubuh sedikit dan menatap Sophia dalam-dalam. “Akan sangat disayangkan kalau prosesnya terhenti ketika baru saja mulai membuahkan hasil.”
Ada sesuatu di nada suaranya — bukan ancaman, tapi lebih seperti tantangan halus.
Bianca memperhatikan keduanya, matanya berpindah-pindah di antara dua orang yang tampak seperti sedang memainkan permainan yang hanya mereka pahami.
“Baiklah, aku rasa aku harus memberi kalian ruang untuk bicara,” ujar Bianca sambil bangkit dan pura-pura mengecek ponselnya. “Aku akan pesan dessert di kasir.”
Sebelum Sophia sempat menahannya, Bianca sudah melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Kini hanya ada keheningan tipis di antara mereka. John menatap Sophia tanpa terburu-buru, seperti sedang menilai setiap perubahan di wajahnya.
“Kau tampak gelisah, Sophia,” katanya dengan pelan.
“Aku … aku hanya tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
“Aku juga tidak.”
“Tapi kau terlihat sangat tenang, John. Sangat berbeda denganku,” ujar Sophia dengan pelan.
“Tenang adalah bagian dari pekerjaanku,” jawabnya sambil menatap cangkirnya. “Meski terkadang, beberapa pasien membuat hal itu sulit.”
Sophia tahu dia sedang menjadi bahan pembicaraan. Wajahnya seketika memanas sembari menelan salivanya dengan pelan. “Aku tidak bermaksud—”
“Tidak perlu menjelaskan,” potong John dengan lembut. “Kita hanya perlu jujur dalam ruang terapi, bukan di sini. So ….” Ia menatap jam tangannya lalu menatap Sophia dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Jangan lupa, sesi berikutnya hari Kamis jam tiga. Aku ingin kau datang.”
“Apa kau gila? Mana mungkin aku berciuman denganmu,” sahut Sophia dengan mata membulat dan napasnya yang tiba-tiba terasa memburu usai mendengar ucapan John barusan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin kau belajar memahami tubuhmu. Belajar kapan rasa takut itu muncul. Dan kalau kau ingin memahaminya, kadang kau perlu menghadapi sumbernya.”“Denganmu?” ucapnya dengan nada datar.“Siapa lagi yang lebih aman daripada seseorang yang tahu batasnya?” bisiknya seolah tengah menghipnotis Sophia agar mengikuti perintahnya.Meski ucapan itu terdengar tenang, tapi justru membuat Sophia semakin bingung.Bagian rasional dirinya tahu, ini seharusnya murni terapi.Namun bagian lain—bagian yang sudah lama dia tekan, mengatakan bahwa yang sedang terjadi jauh melampaui itu.John melangkah satu langkah mendekat. Aromanya kembali memenuhi ruang kecil itu yang begitu samar, hangat, menenangkan, tapi memabukkan.“Ketakutanmu muncul setiap kali seseorang mencoba mendekat secara fisik,” uj
Tiga hari kemudian.Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”“Pek
“Over here!” serunya begitu melihat Sophia masuk. Kini, mereka berada di kafe yang tak jauh dari klinik milik John.Sophia tersenyum lemah dan menghampiri sambil melepas mantel panjangnya, lalu duduk di hadapan sahabatnya itu.“Jadi?” tanya Bianca tanpa basa-basi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana sesi keduamu? Kau terlihat berbeda setelah melakukan terapi pertama.”“Berbeda bagaimana?” tanyanya bingung.“Entahlah.” Bianca menyipitkan matanya menatap lekat wajah Sophia. “Wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu, atau baru saja jatuh cinta.”Sophia terdiam sambil menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Mungkin keduanya,” gumamnya lirih.Bianca mengernyit. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.Sophia menatap ke luar jendela seolah mencari keberanian lalu menghela napas panjang. “John Maxwell,” katanya pelan. “Psikolog itu … dia bukan orang asing. Aku mengenalnya.”“Kenal?” Bianca mendekat dengan raut wajah antusiasnya. “Dalam arti kenal bagaimana? Kau pernah bekerja
John menutup buku catatannya dengan tenang lalu berdiri. Suara gesekan kursinya terdengar lembut namun cukup untuk membuat dada Sophia bergetar aneh.Pria itu berjalan mengelilingi meja, langkahnya mantap, hingga berhenti tepat di depannya.Ia lalu menarik kursi dan duduk, begitu dekat hingga Sophia bisa mendengar napasnya, bisa mencium aroma samar cologne yang hangat dan maskulin, perpaduan kayu cedar dan vanila yang memunculkan memori samar dari masa remaja.Kehadirannya mendominasi ruangan, bukan dengan ancaman, tapi dengan aura yang kuat dan menenangkan di saat bersamaan.“Kita akan mulai perlahan,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan.Sophia hanya mampu mengangguk. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga dia yakin ruangan ini bisa mendengarnya.“Pertama,” lanjut John, “aku ingin kau mengenali tubuhmu sendiri. Mengenali kapan rasa takut itu mulai muncul, dan dari mana asalnya. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak ada paksaan apa pun di sini. Kau hanya perlu ju
“Silakan duduk dengan nyaman,” ujar suara berat itu dengan nada lembut tapi berwibawa. “Tidak perlu tegang. Di sini tidak akan ada yang menghakimimu.”Dr. John Maxwell menutup map di tangannya, lalu menatap perempuan yang duduk di seberangnya. Sekilas, pria itu tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa menampung rahasia-rahasia terdalam manusia—tenang, sabar, dan sangat profesional.Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa padat.Sophia hanya bisa menatapnya dalam diam, tubuhnya kaku di kursi empuk berwarna krem, sementara pikirannya berputar cepat, mencoba menyesuaikan antara kenangan masa lalu dan kenyataan yang kini terhampar di depan mata.Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya.John Maxwell—nama lengkap yang dulu sering ditulis gadis SMA itu di halaman belakang buku catatannya, dan diapit coretan hati kecil.Cinta pertamanya. Pria yang dulu dia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan apa pun.Dan kini, pria itu duduk di hadapannya, mengenakan ke
Tok tok tok“Masuk.”Sophia membuka pintu ruang kerja Mike untuk membahas saran dari sahabatnya semalam.Di dalam, Mike sedang duduk di balik meja kerja yang luas dengan laptop terbuka, dasi masih melingkar di leher, dan kening berkerut tajam. Ia bahkan tidak menatap Sophia ketika perempuan itu masuk.“Mike,” sapa Sophia dengan pelan.“Hmm,” jawabnya singkat tanpa mengangkat kepala.Sophia berdiri canggung di depan meja, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan tubuh. “Aku ingin bicara.”“Kalau soal proyek, bicarakan saja ke Clara. Aku sedang sibuk.”“Bukan soal pekerjaan,” ucap Sophia dengan hati-hati. “Ini tentang ... aku.”Baru kali itu Mike mengangkat kepala dan menatap Sophia dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada lelah di sana, tapi juga ketidaksabaran. “Ada apa lagi, Sophia?”Sophia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Aku ... aku memikirkan saran Bianca tentang terapi.”Mike bersandar ke kursi lalu menautkan jari-jarinya di depan







