Sudah satu minggu Lidya pergi keluar kota. Sejak hari pertama kepergiannya, Khanza tahu rumah ini akan jauh lebih sunyi… dan lebih berat untuknya. Nyonya rumah hanya mengabari sekali saat tiba di tujuan, lalu hilang tanpa kabar, seolah tak peduli meninggalkan suaminya begitu saja.
Rajendra, sang majikan, tampak tak terlalu peduli. Dia lebih banyak duduk termenung dengan ponselnya, tapi tidak pernah terlihat resah. Malah, sejak kepergian istrinya, sikapnya terhadap Khanza jadi lebih santai atau mungkin, lebih berani.
Bagi Khanza, semua itu seperti tekanan yang pelan-pelan menghimpit. Menjadi asisten rumah tangga berarti mengurus kebutuhan rumah… tapi sejak beberapa hari ini, tugasnya terasa bergeser.
Ia sadar betul bahwa Rajendra memperlakukannya lebih dari sekadar pembantu. Dan yang lebih menyakitkan, lelaki itu tak pernah merasa bersalah.
Pagi itu, Khanza membawa secangkir kopi ke ruang tengah, seperti biasa.
“Selamat pagi, Pak. Kopinya sudah saya buatkan,” ucap Khanza.
“Baik, saya akan segera ke sana. Tolong temani saya minum,” ucap Rajendra.
“Iya, Pak.”
Khanza berdiri di hadapan Rajendra dengan tubuh yang sedikit membungkuk, layaknya ART pada majikan. Khanza tetap bersikap ramah walaupun lelaki itu bersikap seenaknya pada dirinya semenjak malam itu.
Kalau bukan karena uang untuk biaya pengobatan adiknya di kampung yang sakit kista, Khanza sudah keluar dari rumah itu. Teringat dengan susahnya mendapatkan pekerjaan dia pun memilih untuk tetap bertahan, apalagi gaji jadi ART di rumah itu juga tidak kecil.
Rajendra bangkit berdiri lalu berjalan mengikuti langkah Khanza menuju ruang keluarga. Sesampainya di sana, Khanza melangkah ke arah dapur.
“Khanza?” panggil Rajendra.
“Iya, Pak.”
“Saya minta kamu temani saya minum. Apa kamu tidak mendengar saya?” Rajendra mendengus kecil. “Sini, duduk.”
Rajendra menjatuhkan bokongnya di atas sofa, lalu menepuk tempat di sebelahnya.
“Saya disini saja, Pak.” Khanza tidak menolak, tapi ia jaga jarak dari Rajendra agar tidak terulang kembali kejadian satu minggu lalu di kamarnya.
Khanza duduk di sofa yang berhadapan dengan Rajendra dan tentunya jauh dari lelaki itu. Tentunya Rajendra tidak suka jika permintaannya di bantah dan ditolak. Ia bangkit berdiri, lalu mengangkat gelas kopinya dan membawanya ke arah Khanza. Ia pindah tempat duduk tepat di samping Khanza.
Khanza hanya bisa menghela nafas panjang dan menggeser posisi duduknya agar menjauh dari Rajendra. Sayangnya, saat ia hendak geser tangan lelaki itu sudah merangkul pinggangnya dan menariknya agar mereka tetap dekat seperti saat ini.
“Jangan jauh-jauh, saya mau ditemani minum sama kamu.” Suara Rajendra begitu pelan saat berbicara.
“Tapi, Pak—”
“Kenapa, Khanza?” tanya Rajendra langsung, lalu kembali menatap gadis itu.
Khanza menghela napas pasrah, tidak lagi menjawab. Ia hanya diam dan patuh pada suami majikannya.
Rajendra mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya. Kopi yang tadi masih panas, kini sudah jadi dingin karena sudah didiamkan begitu lama.
“Kopi buatan kamu enak,” ucap Rajendra memuji kopi buatan Khanza. “Sesuai selera saya. Kamu selalu buat saya merasa diperlakukan dengan baik oleh seorang istri, kamu buat saya merasa nyaman.”
“Saya melakukan ini semua atas perintah bu Lidya dan juga melakukan ini sebagai tanggung jawab saya sebagai pembantu di rumah ini, tidak lebih. Jika Pak Rajendra merasa nyaman dengan perhatian saya, itu hak Bapak. Tapi saya mohon sama Pak Rajendra untuk jaga sikap pada saya layaknya seorang majikan pada pembantunya,” ucap Khanza yang akhirnya buka suara.
Rajendra tersenyum. Entahlah dia sangat senang jika Khanza berbicara dengannya. Suara lembut wanita itu membuat hatinya tenang dan dia juga senang saat melihat wanita itu marah, karena dia merasa seperti istri yang sedang memarahi suaminya.
Saat suasana tenang dan menegangkan bagi Khanza, tiba-tiba ponselnya berdering. Wanita itu terlihat gelagapan, ia dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong bajunya dan mematikan sambungan telepon tersebut. Padahal tantenya lah yang menelponnya.
“Kenapa dimatikan? Bagaimana kalau ada hal penting?” ucap Rajendra.
Khanza tidak menjawab. Namun, tidak berselang lama ponselnya kembali berdering.
“Angkat saja, Khanza,” ucap Rajendra.
Khanza yang tadinya hanya tertunduk, kini ia sedikit mengangkat kepalanya dan melihat lelaki di sampingnya.
“Saya izin angkat telepon dari tante saya, Pak.” Khanza meminta izin pada Rajendra dan mendapatkan anggukkan dari lelaki itu. Setelah mendapat izin, Khanza hendak bangkit berdiri. Namun, Rajendra menahannya.
“Bicara di sini saja.” Rajendra tetap memintanya untuk duduk dan bicara di sampingnya.
Khanza yang tidak mau tantenya marah, ia pun nurut saja dan segera mengangkat panggilan telepon dari tantenya.
“Khanza? Khanza?” Suara tantenya Khanza terdengar memanggil Khanza seperti orang panik.
“Iya, Tante. Khanza disini,” jawab Khanza lirih.
Beberapa menit Khanza diam, mendengar perkataan tantenya di seberang sana dengan ekspresi bingung dan terkejut.
Hingga akhirnya, Khanza menutup telepon itu. Wajahnya pucat, matanya kosong… lalu perlahan, air matanya jatuh satu per satu, hingga menjadi tangisan sesenggukan yang tak bisa lagi ia tahan.
Rajendra yang sedari tadi memperhatikannya, mendekat dengan langkah tenang.
“Ada apa, Khanza?” tanyanya pelan, duduk di samping wanita itu. Tangannya terulur, menyeka air mata yang terus mengalir di pipi Khanza.
Khanza tak menjawab. Ia hanya menggeleng, tubuhnya bergetar.
“Katakan, siapa tahu saya bisa bantu kamu. Katakan saja,” desak Rajendra lagi, sambil terus mengusap punggung Khanza.
Khanza mendongakkan kepalanya menatap wajah suami majikannya itu. Kali ini tidak ada pilihan lain lagi, selain minta kasbon pada majikannya itu.
“Apa Pak Rajendra bisa pinjamkan uang untuk saya?” Dengan sangat hati-hati Khanza bertanya pada Rajendra. “Saya harus bayar pengobatan adik saya.”
Selesai mengatakan itu, air mata Khanza jatuh. Dia sadar apa yang dia katakan ini kemungkinan besar akan membuatnya semakin susah karena bisa jatuh pada masalah lain.
Rajendra menariknya ke pelukannya, menepuk pelan punggung Khanza, lalu berbisik, “Berapa yang kamu butuh untuk pengobatan adikmu? Biar saya transfer langsung,”
“Sepuluh juta, Pak,” jawab Khanza pelan.
“Mana nomor rekeningnya?”
Khanza membacakan, dan Rajendra langsung mentransfer uangnya.
“Sudah. Cek saja ke tante kamu,” katanya santai.
Khanza langsung menghubungi tantenya. Setelah mendapat konfirmasi uangnya masuk, ia menghela napas lega.
“Terima kasih, Pak. Tolong potong dari gaji saya lima bulan ke depan saja,” kata Khanza merasa sangat berterima kasih.
“Enggak perlu. Saya ikhlas bantu kamu,” ujar Rajendra.
“Jangan, Pak. Kalau Bapak nggak mau, saya minta ke Bu Lidya saja.” Khanza mendadak panik. Jelas dia tidak bisa menerima uang sebanyak itu begitu saja.
Rajendra menatapnya tajam. “Kalau kamu lapor ke istri saya, dia pasti curiga kita punya hubungan karena tiba-tiba memberi kamu uang. Dan kemungkinan besar kamu bisa dipecat.”
Khanza membeku, matanya mulai berkaca. Khanza menggigit bibir, merasa terjebak. “Jadi… saya harus bayar dengan cara apa?”
Rajendra tersenyum tipis. “Bekerja saja dengan baik.”
Khanza terdiam, tubuhnya menegang. Kalimat Rajendra barusan membuatnya bingung. Bukankah bekerja dengan baik memang sudah menjadi kewajibannya? Kenapa harus diucapkan seperti syarat? Seolah… ada hal lain yang dimaksud.
Pikirannya melayang tak terhindarkan pada malam satu minggu lalu. Malam saat Rajendra tiba-tiba masuk ke kamarnya. Namun, ia tidak tahu apakah itu hanya kekhawatiran berlebihan, atau memang ada maksud tersembunyi.
Apa ‘bekerja dengan baik’ berarti ia harus siap untuk kejadian semacam itu lagi? Atau bahkan… lebih jauh dari itu?
“Khanza?” suara Rajendra membuyarkan lamunannya. Nada suaranya terdengar datar, tapi dengan sedikit tekanan. “Kenapa kamu diam saja?”
Khanza tersentak dan cepat-cepat mengangguk. “I-iya, Pak. Saya… saya akan bekerja dengan baik.”
Rajendra mengangguk pelan, senyumnya samar. “Bagus.”
Sementara itu, di dalam hati, Khanza hanya bisa berharap bahwa semua ini tidak akan melewati batas. Bahwa ia tidak sedang menjerumuskan dirinya ke dalam sesuatu yang tak bisa ia hindari.
“Dok? Bagaimana keadaan Lita?” tanya Arga. “Maaf Pak, kami belum bisa memberikan yang terbaik,” jawab dokter dengan suara pelan. “Maksud, dokter?” tanya Arga semakin panik. “Kami tidak bisa—”“Tidak bisa apa, dok?” potong Arga yang terlihat semakin panik. “Dok? Adik saya tidak kenapa-kenapa, ‘kan?” Khanza juga terlihat panik. “Kami belum bisa memberikan yang terbaik, karena bisa saja pasien mengalami lupa ingatan,” jelas dokter. Mendengar perkataan dokter, Arga dan Khansa secara bersamaan menghela nafas panjang. Pikir mereka Lita tidak bisa diselamatkan, ternyata gadis itu hanya akan mengalami lupa ingatan. “Tapi Ibu dan Kapan tenang saja, karena ingatannya akan kembali sekitar 3 bulan. Jadi tidak perlu terlalu khawatir, sekarang kita tinggal menunggu pasiennya sadar.” “Iya, dok. Terima kasih banyak,” ucap Neli dan Rosa bersamaan. “Iya, sekarang Bapak dan Ibu sudah boleh masuk dan lihat pasien di dalam. Jika pasien sadar atau ada sesuatu yang terjadi dengan pasien, tolong ber
Arga sudah pulang dari kampung, akan tetapi ia tidak bertemu Lita. Bahkan saat ia sampai di kampung ia tanyakan juga pada tetangga, tapi kata tetangga Lita tidak pernah pulang kampung sejak mereka berobat ke kota. Sesampainya di kota, lelaki itu langsung ke kediaman Rajendra. Sayangnya saat ia baru tiba di sana, ia mendapatkan informasi dari ART, bahwa Lita mengalami kecelakaan maut dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Jadi, saat ini Rajendra dan yang lainnya di rumah sakit. Karena saat ini Lita dilarikan ke rumah sakit. Mendengar berita yang mengenaskan, Arga langsung melesat mobilnya meninggalkan kediaman Rajendra. Ia melesat mobilnya menuju rumah sakit. Pikirannya makin tidak tenang saat mendengar kabar Lita mengalami kecelakaan maut. Arga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Di posisi lain, tepatnya di rumah sakit. Khanza dan Neli tidak bisa menahan tangis saat melihat kondisi Lita yang sangat parah. Wajah dan tubuh gadis itu berlumuran darah.Rajendra dan Rosa teru
Lita sudah kemas semua pakaiannya. Dia sudah putuskan untuk kembali ke kota. Dia tidak mau buat Khanza kecewa lagi hanya karena kebodohan dirinya. Di luar sudah ada taksi yang sudah menunggunya. Setelah berpakaian rapi dan bersiap diri untuk pulang. Lita bergegas keluar dari kamarnya sambil mendorong kopernya. Di ruang keluarga ada Khanza dan Rajendra. Pasangan suami istri itu terkejut melihat Lita keluar dari kamar sambil mendorong koper dan juga menenteng tas ransel. Lita meletakkan kopernya, lalu ia menghampiri Khanza dan Rajendra. Ia akan berpamitan pada Khanza dan Rajendra. Gadis itu masih tetap tersenyum walaupun matanya masih bengkak karena menangis semalaman. “Kamu mau kemana? Kenapa bawa koper?” tanya Rajendra. “Lita pamit. Lita mau balik ke kampung,” jawab Lita sambil tersenyum. Menyembunyikan rasa sakit dan sedihnya. Ia tidak hanya tersenyum pada Rajendra, tapi juga pada Khanza. “Kak? Lita pamit ya,” ucap Lita pada Khanza. Khanza tidak menjawab. Ia diam dengan mata
Plak!Plak! Lita begitu syok, dia baru saja pulang jalan-jalan bersama Arga, tapi disambut oleh Kakaknya dengan menamparnya.“Kak—”“Kau itu masih kecil, Dek! Kenapa kamu sudah melakukan dosa yang sama seperti Kakak?!” ucap Khanza memotong ucapan Lita. Mendengar suara Khanza yang menggelegar, Rajendra berlari keluar dari kamar dan ia terkejut melihat istrinya yang memarahi Lita. Rajendra mendekati Khanza, namun ia dikejutkan tamparan keras istrinya itu pada adik iparnya. Plak! Tamparan kembali mendarat sempurna di pipi Lita. Lita hanya diam dengan mata yang lekat menatap Kakaknya yang saat ini sedang memarahinya. Rajendra tidak bisa melakukan apapun, karena kalau dia membela Lita, sudah pasti dia juga yang dimarahi dan dipersalahkan oleh istrinya itu. “Kakak pikir kamu tidak akan jadi gadis yang rusak, tapi kamu sama dosanya dengan Kakak!” “Kakak merasa gagal jadi seorang kakak jagain Adiknya,” ucap Khanza lagi. Amarahnya membludak saat Rajendra mengatakan kalau adiknya itu sud
“Ayo, kita bisa membuktikannya di kamar kamu. Atau bisa juga kita coba di mobil saya,” bisik Arga lagi dan tentunya membuat Lita tak bisa berkutik. Melihat Lita yang tidak bisa berkutik, Arga tersenyum. “Lain kali jangan menantang saya, kalau sudah pernah saya buat kewalahan.”Arga tersenyum dengan dada yang berdebar kencang. Ditambah lagi gejolak dalam dirinya. Lita benar-benar menguji keimanannya. Gadis itu benar-benar nakal dan keras kepala. “Atau kamu mau coba disini?” bisik Arga lagi. Lita yang tidak kuat lagi dan takut dilihat oleh Rajendra dan Khanza, ia pun menggigit kuat lengan kekar lelaki itu. Tapi semakin dia berontak dan berusaha gigit lelaki itu justru semakin mengeratkan melingkar tangannya di pinggangnya. “Mau coba disini juga boleh banget. Saya juga mau coba hal baru yang mungkin lebih menyenangkan,” ucap Arga. Mendengar itu, Lita la langsung memasang raut wajah masam dan memanyunkan bibirnya. “Apaan sih? Lepaskan saya!” ujar Lita kesal. Arga terkekeh. Ia tah
Lidya duduk di ruangan istirahat para karyawan cleaning servis. Wanita itu duduk dengan kedua tangan menopang dagunya. Saat ini yang istirahat hanya dia, sedangkan yang lain sudah kembali menjalankan tugas mereka. Semenjak benar-benar pisah dari Rajendra dan tidak berurusan lagi dengan kedua orang tuanya, Lidya terlihat lebih diam dan tubuhnya juga terlihat kurus. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Sekarang yang memperhatikan dirinya adalah Rangga. Walaupun pernah memarahi dan mengancam wanita itu, Rangga masih berbaik hati padanya dengan memberikan pekerjaan dan juga memberikan jam istirahat yang lebih dari karyawan lain. Bahkan lelaki itu juga sering belikan makan siang untuk Lidya. Seperti saat ini lelaki itu keluar dari ruangannya dan berjalan menuju ruang istirahat cleaning servis. Ia samperin Lidya yang duduk sendirian di ruangan itu. Melihat Lidya yang duduk dengan kedua tangan menopang dagu dengan tatapan kosong, Rangga pun menghampiri dan ikut duduk di samping Lidy