Satu minggu sudah Lidya di luar kota. Wanita itu hanya mengabari Rajendra saat dia sampai di sana dan mengatakan kalau dirinya akan sibuk dan tidak bisa mengabari suaminya itu lagi.
Rajendra tidak keberatan dia memaklumi kesibukan istrinya yang seorang jiwa kerja itu. Di satu sisi dia juga merasa senang, karena tidak ada yang mengganggu waktunya bersama Khanza. Ada Khanza di rumah saja sudah buat dia merasa seperti ada istri. Jadi, untuk apa dia memikirkan kabar dari istrinya yang jelas-jelas tidak memberikan perannya sebagai istri untuknya. Saat Rajendra tengah duduk melamun menatap ponselnya, Khanza datang menghampirinya. âSelamat pagi, Pak. Kopinya sudah saya buatkan,â ucap Khanza. âBaik, saya akan segera ke sana. Tolong temani saya minum,â ucap Rajendra. âIya, Pak.â Khanza berdiri di hadapan Rajendra dengan tubuh yang sedikit membungkuk, layaknya ART pada majikan. Khanza tetap bersikap ramah walaupun lelaki itu bersikap seenaknya pada dirinya. Kalau bukan karena uang untuk biaya pengobatan adiknya di kampung yang sakit kista, Khanza sudah keluar dari rumah itu. Teringat dengan susahnya mendapatkan pekerjaan dia pun memilih untuk tetap bertahan, apalagi gaji jadi ART di rumah itu juga tidak kecil. Rajendra bangkit berdiri lalu berjalan mengikuti langkah Khanza menuju ruang keluarga. Sesampainya di sana, Khanza melangkah ke arah dapur. âKhanza?â panggil Rajendra. âIya, Pak.â âSaya minta kamu temani saya minum. Apa kamu tidak saya?â Rajendra tidak mau kesempatan emas ini buang sia-sia, ia gunakan kesempatan itu untuk bisa terus berduaan dengan wanita yang bukan istrinya. âSini, duduk.â Rajendra menjatuhkan bokongnya di atas sofa, lalu menepuk tempat di sebelahnya. âSaya disini saja, Pak.â Khanza tidak menolak, tapi ia jaga jarak dari Rajendra agar tidak terulang kembali kejadian satu minggu lalu di kamarnya. Khanza duduk di sofa yang berhadapan dengan Rajendra dan tentunya jauh dari lelaki itu. Tentunya Rajendra tidak suka jika permintaannya di bantah dan ditolak. Ia bangkit berdiri, lalu mengangkat gelas kopinya dan membawanya ke arah Khanza. Ia pindah tempat duduk tepat di samping Khanza. Khanza hanya bisa menghela nafas panjang dan menggeser posisi duduknya agar menjauh dari Rajendra. Sayangnya, saat ia hendak geser tangan lelaki itu sudah merangkul pinggangnya dan menariknya agar mereka tetap dekat seperti saat ini. âJangan jauh-jauh, saya mau ditemani minum sama kamu.â Suara Rajendra begitu pelan saat berbicara. âTapi, Pakââ âKenapa, Khanza? Apa kamu mau menolak karena tidak mau menyakiti hati istri saya?â ucap Rajendra. âKamu tidak salah, Khanza. Kamu tidak menyakiti hati istri saya, tapi dia sendiri yang ingin menyakiti hatinya dengan menyerahkan tanggung jawabnya pada wanita lain. Jadi, kamu tidak perlu beralasan lagi untuk menjauh dari saya. Ini semua atas perintah dia dan kamu harus melakukannya.â Rajendra selalu berkata begitu saat Khanza ingin memintanya menjaga jarak. Khanza tidak lagi menjawab. Ia hanya diam dan patuh pada suami majikannya. Rajendra mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya. Kopi yang tadi masih panas, kini sudah jadi dingin karena sudah didiamkan begitu lama. âKopi buatan kamu enak,â ucap Rajendra memuji kopi buatan Khanza. âSesuai selera saya. Kamu selalu buat saya merasa diperlakukan dengan baik oleh seorang istri, kamu buat saya merasa nyaman.â âSaya melakukan ini semua atas perintah bu Lidya dan juga melakukan ini sebagai tanggung jawab saya sebagai pembantu di rumah ini. Tidak lebih, jika Pak Rajendra merasa nyaman dengan perhatian saya, itu hak Bapak. Tapi saya mohon sama Pak Rajendra untuk jaga sikap pada saya layaknya seorang majikan pada pembantunya,â ucap Khanza yang akhirnya buka suara. Rajendra tersenyum. Entahlah dia sangat senang jika Khanza berbicara dengannya. Suara lembut wanita itu membuat hatinya tenang dan dia juga senang saat melihat wanita itu marah, karena dia merasa seperti istri yang sedang memarahi suaminya. Saat suasana tenang dan menegangkan bagi Khanza, tiba-tiba ponselnya berdering. Wanita itu terlihat gelagapan, ia dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong bajunya dan mematikan sambungan telfon tersebut. Padahal tantenya lah yang menelponnya. âKenapa dimatikan? Bagaimana kalau ada hal penting?â ucap Rajendra. Khanza tidak menjawab. Tidak bersemangat lama ponselnya kembali berdering. âAngkat saja, Khanza,â ucap Rajendra. Khanza yang tadinya hanya tertunduk, kini ia sedikit mengangkat kepalanya dan melihat lelaki di sampingnya. âSaya izin angkat telfon dari tante, Pak.â Khanza meminta izin pada Rajendra dan mendapatkan anggukkan dari lelaki itu. Setelah mendapat izin, Khanza hendak bangkit berdiri. Namun, Rajendra menahannya. âBicara di sini saja.â Rajendra tetap memintanya untuk duduk dan bicara di sampingnya. Khanza yang tidak mau tantenya marah, ia pun nurut saja dan segera mengangkat panggilan telfon dari tantenya. âKhanza? Khanza?â Suara tantenya Khanza terdengar memanggil Khanza seperti orang panik. âIya, Tante. Khanza disini,â jawab Khanza lirih. âKhanza, kondisi Lita semakin memburuk. Obat-obatannya sudah habis, Khanza.â Suara wanita dari seberang sana seperti suara orang menahan tangis. âTante mohon kirimkan untuk adikmu, Za,â ucap wanita itu lirih. Khanza terdiam. Dia tidak tahu mau jawab apa pada tantenya yang mengurus adiknya di kampung. Saat ini dia tidak punya uang untuk dikirimkan untuk beli obat untuk adiknya yang semakin sekarat. âKhanza? Apa kamu dengar suara Tante? Lita kehabisan obat, Za. Kondisi memburuk, Za. Tante takut, Za. Tante takut, Lita tidak bisa bertahan hidup.â Ucapan wanita itu terdengar lirih disertai isak tangis. Khanza memejamkan matanya perlahan dan tidak terasa bulir beningnya mengalir dari pelupuk matanya. âTante tolong usaha pinjam disana, nanti Khanza ganti kalau sudah gajian.â Khanza tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. âTante sudah berusaha pinjam ke sana kemari, Za. Tapi orang tidak kasih, orang tidak kasih karena kita miskin Khanza. Tante bingung sendiri, Za.â Khanza tidak lagi menjawab. Ia terdiam dan terus menangis. Melihat Khanza yang terpuruk dan membutuhkan uang, Rajendra ikut sedih. Tangannya yang tadi ada di pinggang ramping sang wanita, kini berpindah ke wajah cantik itu. Rajendra menyeka air mata Khanza yang mengalir deras membasahi pipi wanita itu. âTolong kamu usahakan di bos kamu, Za. Kasbon dulu untuk adikmu,â usul Tantenya Khanza. âIya, Tante. Khanza coba usaha disini,â ucap Khanza. Setelah itu Khanza mengakhiri panggilan dengan tantenya. Khanza semakin menangis. Rajendra membawa wanita itu ke dalam dekapannya dan mengusap lembut pucuk kepala wanita yang buatnya nyaman layaknya seorang istri. âBerapa yang kamu butuh untuk pengobatan adikmu?â tanya Rajendra dengan suara pelan. Khanza mendongakkan kepalanya menatap wajah suami majikannya itu. Kali ini tidak ada pilihan lain lagi, selain minta kasbon pada majikannya itu. âApa Pak Rajendra bisa pinjamkan uang untuk saya?â Dengan sangat hati-hati Khanza bertanya pada Rajendra. âIya, berapa yang kamu butuhkan untuk biaya pengobatan adik kamu? Biar saya transfer ke rekening tante kamu,â kata Rajendra. âKalau bisa kasih saya 10 juta, Pak. Bapak potong saja gaji saja setiap bulan,â ucap Khanza. âIya, Khanza. Mana rekening tante kamu, biar saya transferkan sekarang. Biar adik kamu bisa minum obat,â kata Rajendra. Khanza menegakkan tubuhnya, kemudian ia kembali membuka ponselnya dan membacakan rekening tantenya pada Rajendra. Rajendra mengambil ponselnya. Lalu, mentransfer uang sesuai jumlah yang diminta oleh Khanza. âSudah saya transfer. Kamu bisa minta tante kamu untuk mengeceknya,â ucap Rajendra. âBaik, Pak.â Khanza pun langsung mengabari tantenya lagi dan memberitahu tantenya kalau dia sudah mengirim uang untuk pengobatan adiknya dan juga untuk biaya makan mereka di sana. Setelah berbicara dengan tantenya, perasaan Khanza sudah sedikit lega. Ia merasa lega karena adiknya sudah mendapatkan uang untuk beli obat. âTerima kasih, Pak. Bapak potong saja gaji saya selama lima bulan kedepan,â ucap Khanza. âTidak perlu, Khanza. Saya ikhlas bantu kamu,â ucap Rajendra. âJangan, Pak. Potong saja gaji saya, kalau Bapak tidak mau potong gaji saya, biar saya minta bu Lidya.â Khanza tidak mau berutang pada orang lain. âKalau kamu beritahu istri saya, dia pasti bakalan curiga sama kamu dan dia pasti curiga kalau kita ada hubungan di belakang dia.â âApa kamu mau istri saya tahu kalau ART pilihannya ini sudah buat suaminya nyaman di atas ranjang? Apa kamu mau dia tahu kalau kamu sudah memuaskan saya layaknya seorang istri?â âJangan beritahu istri saya. Cukup saya dan kamu yang tahu uang itu,â ucap Rajendra, lagi. Khanza kembali terdiam. Dia bingung sendiri dan merasa terjebak dengan bantuan yang diberikan oleh suami majikannya itu. Berbanding terbalik dengan Rajendra. Lelaki itu merasa senang karena ia tahu setelah ini Khanza akan merasa berhutang padanya dan dia akan buat wanita itu bergantung padanya. Dengan begitu ia bisa memiliki wanita itu seutuhnya tanpa ada penolakan apapun dari Khanza. âTerus apa yang harus saya lakukan untuk membayar uang Pak Rajen?â tanya Khanza dengan sangat hati-hati. Rajendra tersenyum. âLayani saya layaknya istrinya melayani suaminya,â pinta Rajendra. âApa kamu bisa, Khanza?â tanyanya memastikan. Khanza menarik nafas dalam lalu menghembus secara perlahan. Tidak ada pilihan lain lagi, selain menuruti apa yang diinginkan lelaki itu. Ia mengangkat kepalanya dan akhirnya matanya kembali bertemu dengan mata elang lelaki itu. âApa kamu bisa melayani saya layaknya istri pada suaminya?â Rajendra mengulangi pertanyaannya. Ia ingin memastikan jawaban wanita itu. âKamu tidak perlu takut, saya akan jaga rahasia kita. Saya akan jaga jarak kalau ada istri saya di rumah,â ucap Rajendra. Ia tahu ketakutan yang ada dipikiran Khanza, oleh sebab itu dia berjanji untuk jaga rahasia mereka dan jaga jarak saat Lidya di rumah. Dengan ragu-ragu Khanza menganggukkan kepalanya sebagai jawaban kalau dia akan melayani suami majikannya itu layaknya suami istri. Rajendra begitu bahagia mendapat jawaban Khanza. Ia pun memeluk wanita itu dengan sangat erat. âSaya akan memperlakukanmu dengan baik, Khanza. Saya janji itu,â ucap Rajendra. BersambungâŚRajendra terlihat sangat murka saat ia mendapatkan pesan dari orang suruhannya yang dia minta untuk cari tahu hotel tempat penginapan hotel.âAku harus ke sana, aku sudah mendapatkan alamat tempat tinggal wanita itu.â Rajendra bangkit berdiri bergegas pergi dari sana. âAku ikut,â ucap Arga. Lelaki itu bangkit berdiri lalu melangkah mengikuti langkah Rajendra menuju mobilnya. Arga melarang Rajendra setir mobil, karena dia tahu saat ini temannya itu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Dia tidak mau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan di antara mereka berdua. Kini dua lelaki itu sudah pergi dari kediaman Arga dengan menggunakan mobil milik Rajendra. Mereka akan datangi Lidya yang sedang menikmati liburan bersama selingkuhannya. Dalam perjalanan menuju tempat penginapan Lidya, Rajendra tak henti-hentinya mencaci maki dirinya sendiri karena terlalu bodoh mempercayai wanita ular itu berulang kali.Saat suasana lagi tegang ponsel Rajendra kembali berdering tanda ada pesan masuk. Ia m
Apa kau ingin melihat video istrimu? Aku rasa kau juga sangat ingin melihat wanitamu di gagahi lelaki lain,â ucap lelaki itu.Rajendra tetap diam tanpa menjawab apapun.Sedangkan Khanza, ia sangat syok dengan ucapan lelaki di seberang sana yang dia dengar dari ponsel Rajendra. Ia ikut merasa sakit hati mendengar berita bahwa majikannya itu ternyata suka bermain dengan banyak pria di luar sana.Setelah beberapa menit terdiam, bunyi notifikasi masuk di ponsel Rajendra. Beberapa pesan berupa video itu berderet pada aplikasi milik di ponsel Rajendra.âSelamat menonton Tuan Rejandra,â ucap lelaki itu dengan nada mengejek.Rajendra sama sekali tidak bersuara dan ia pun mengakhiri panggilan telfon dengan lelaki itu. dengan perasaan yang sangat memuakan, Rajendra membuka pesan video tersebut dan menontonnya. Ia tidak lagi terkejut melihat video tersebut, karena dia sendiri pernah menyaksikan secara langsung istrinya melayani atasannya di salah satu hotel. Kala itu ia ingin menggugat cerai ist
âAku harus gunakan kesempatan ini untuk berlibur. Sebelum Khanza berhenti kerja,â ucap Lidya sambil berjalan mondar mandir.âSekarang aku harus telfon Chris minta untuk mempercepat liburan kami,â ucap Lidya. Dia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi atasannya sekaligus selingkuhannya. Setelah panggilan terhubung dengan Chris, Lidya pun mulai berbicara dengan lelaki itu. âHalo, sayang? Aku mau liburan kita dipercepat,â ucap Lidya saat sambungan telfon terhubung dengan Chris. âBisa saja, sayang. Aku ikut mau kamu saja,â jawab Chris dari seberang sana. âBaiklah, bagaimana kalau besok saja kita berangkat liburan? Soalnya ini ART di rumahku ini sudah mau berhenti kerja. Aku takutnya nanti kalau dia sudah berhenti kerja aku akan sibuk urus mas Rajendra dan bakalan susah untuk ketemuan sama kamu.â âBaiklah, kalau begitu aku langsung booking saja tiket untuk ke kita berdua ke Bali.â âIya, Mas. Malam ini aku juga mau meminta izin sama mas Rajendra. Aku mau cari alasan agar mas Raj
Malam sudah semakin larut, Lidya terbangun dari tidurnya karena merasa ingin buang air kecil. Wanita bangun dan cepat dia turun dan berjalan ke arah toilet. Sekitar lima menit kemudian dia keluar dari toilet dan kembali ke tempat tidur. ia menghentikan langkahnya saat ia hendak naik ke atas tempat tidur. Lidya memicingkan matanya menatap heran suaminya yang tidak ada di atas tempat tidur.Dengan penuh penasaran, Lidya melihat ke arah kamar mandi, pikirnya mungkin suaminya itu sedang buang air kecil sana. Tapi saat ia menunggu cukup lama di samping tempat tidur, suaminya itu tak kunjungan keluar.Lidya melangkah kakinya ke arah kamar mandi dan mengetuk pintu kamar mandi. âMas Rejan?â panggilnya.Tidak ada suara sahutan sama sekali dari dalam kamar mandi. Lidya yang takut terjadi sesuatu di dalam kamar mandi, ia pun membuka pintu, namun saat pintu terbuka ia tidak menemukan siapa pun di dalam sana.âDi mana mas Rajendra?â ucap Lidya.Dengan rasa khawatir, wanita itu melangkah cepat kelu
Lidya sampai lebih dulu di rumah. Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan wajah lelahnya seperti orang kerja pada umumya. Ia terlihat sangat segar dan sangat bersemangat. âSelamat sore,â ucapnya saat menghampiri Khanza di dapur. âSelamat sore juga, Bu. Ada yang bisa saya bantu?â jawab Khanza, ramah. âTidak ada, Za. Apa mas Rajendra belum pulang?â Lidya menanyakan suaminya yang saat ini belum menampakan batang hidungnya. âBelum, Bu.â âOh, ya, sudah saya kembali ke kamar dulu.â Lidya meninggalkan dapur dan langsung melangkah menuju kamarnya. Saat kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Ia merasa mual dan dengan cepat ia membuka pintu dan berlari ke dalam kamar mandi. Wanita itu memuntah isi perutnya di wastafel. Hoek! Hoek! Hoek!Suara Lidya memuntahkan semua isi perutnya di dalam kamar mandi. Wanita itu sampai terlihat pucat dan keringat dingin hanya karena memuntah. âApa aku salah makan?â gumamnya pelan. âTapi tadi aku⌠Aku rasa aku tidak salah makan. Semua makanan yang
Khanza tidak percaya kalau semalam itu kedua majikannya kembali lagi ke rumah. Dia baru menyadari saat melihat Rajendra yang tidur di bersamanya di kamar. Suami majikannya itu sudah benar-benar buat dia jantungan. âMaaf, Bu, semalam saya tidak dengar Ibu panggil.â Khanza meminta maaf pada Lidya. âTidak apa-apa, Khanza. Salah saya juga karena sudah mengabari kamu kalau saya dan suami tidak jadi pulang, tapi tiba-tiba mas Rajendra di telfon sama klien. Kalau pagi ini mereka akan meeting jam 9, makanya kamu pulang lagi. Suami saya takut telat ketemu klien kalau menginap di sana.â Lidya tidak memarahi Khanza, karena dia tahu itu salah dia dan suaminya yang sudah lebih dulu mengabari Khanza. Syukurnya semalam mereka bawa kunci cadangan, kalau tidak mereka pasti bakalan tidur di luar. âTapi tadi kata mas Rajendra mereka tidak jadi meeting,â ucap Lidya lagi. Khanza hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian dia kembali ke dapur.âKhanza tolong kamu buatkan kopi untuk mas Rajendra, ya
âHari ini saya libur kerja. Kamu tidak perlu menyiapkan pakaian kerja saya,â ucap Rajendra saat menghampiri Khanza di dapur. âIya, Pak. Saya sudah tahu,â jawab Khanza tanpa menoleh ke arah lelaki yang berdiri di belakangnya. Rajendra melangkah kakinya untuk lebih dekat dengan Khanza dan kini dia sudah berdiri di samping ART-nya yang sedang mengaduk masakannya. Khanza tetap fokus dengan kegiatan memasaknya tanpa memperdulikan keberadaan lelaki itu. Sikapnya pada Rajendra masih terlihat canggung dan takut, apalagi saat mereka dekat dan berpapasan seperti ini. Pada sudah hampir dua minggu ini mereka berdua di rumah dan bahkan setiap malam suami majikannya tidur bersamanya. âApa kamu mau jalan-jalan?â Rajendra sepertinya ingin mengajak Khanza jalan-jalan. âTidak, Pak. Saya di rumah saja,â jawab Khanza. âBaiklah, kalau begitu saya juga akan tetap di rumah,â kata Rajendra. Setelah itu Khanza dan juga Rajendra kembali terdiam. Rajendra diam di tempatnya, sedangkan Khanza sibuk dengan
Satu minggu sudah Lidya di luar kota. Wanita itu hanya mengabari Rajendra saat dia sampai di sana dan mengatakan kalau dirinya akan sibuk dan tidak bisa mengabari suaminya itu lagi. Rajendra tidak keberatan dia memaklumi kesibukan istrinya yang seorang jiwa kerja itu. Di satu sisi dia juga merasa senang, karena tidak ada yang mengganggu waktunya bersama Khanza. Ada Khanza di rumah saja sudah buat dia merasa seperti ada istri. Jadi, untuk apa dia memikirkan kabar dari istrinya yang jelas-jelas tidak memberikan perannya sebagai istri untuknya. Saat Rajendra tengah duduk melamun menatap ponselnya, Khanza datang menghampirinya. âSelamat pagi, Pak. Kopinya sudah saya buatkan,â ucap Khanza.âBaik, saya akan segera ke sana. Tolong temani saya minum,â ucap Rajendra. âIya, Pak.â Khanza berdiri di hadapan Rajendra dengan tubuh yang sedikit membungkuk, layaknya ART pada majikan. Khanza tetap bersikap ramah walaupun lelaki itu bersikap seenaknya pada dirinya. Kalau bukan karena uang untuk
âKhanza? Tolong kamu siapin pakaian kerja suami saya. Saya harus pergi, saya buru-buru.â Lidya sudah bersiap diri untuk berangkat ke luar kota. Seperti biasa ia meminta Khanza yang menyiapkan pakaian untuk suaminya. âBaik, Bu.â Khanza hanya bisa patuh dengan perintah dari majikannya itu. âSayang? Tolong cariin dasi Mas.â Suara Rajendra dari depan pintu kamar. Ia meminta bantuan pada Lidya untuk carikan dasinya. Sayangnya, lagi dan lagi istrinya itu selalu meminta Khanza yang menyiapkan segala kebutuhannya. âKhanza tolong bantu cariin dasi suami saya, ya? Saya harus pergi, jemputan saya sudah datang.â Lidya begitu buru-buru sampai tidak punya waktu untuk suaminya. Bahkan hanya sekedar carikan dasi untuk Rajendra. Semua waktunya hanya untuk kerja, kerja dan kerja. Mendengar perkataan Lidya,Rajendra hanya bisa diam. Ia sudah tidak kaget dengan istrinya yang super sibuk itu. Istrinya itu seakan kalah dengan dirinya yang seorang direktur di perusahaan besar. Bahkan lebih anehnya wanit