“Khanza? Tolong kamu siapin pakaian kerja suami saya.” Lidya sudah bersiap diri untuk berangkat ke luar kota. Seperti biasa ia meminta Khanza yang menyiapkan pakaian untuk suaminya.
“Baik, Bu.” Khanza hanya bisa patuh dengan perintah dari majikannya itu.
“Sayang? Tolong cariin dasi Mas.” Suara Rajendra dari depan pintu kamar. Ia meminta bantuan pada Lidya untuk carikan dasinya.
Sayangnya, lagi dan lagi istrinya itu selalu meminta Khanza yang menyiapkan segala kebutuhannya.
“Khanza tolong bantu cariin dasi suami saya, ya? Saya harus pergi, jemputan saya sudah datang.” Lidya begitu buru-buru sampai tidak punya waktu untuk suaminya. Bahkan hanya sekedar carikan dasi untuk Rajendra. Semua waktunya hanya untuk kerja, kerja dan kerja.
Mendengar perkataan Lidya,Rajendra hanya bisa diam. Ia sudah tidak kaget dengan istrinya yang super sibuk itu. Istrinya itu seakan kalah dengan dirinya yang seorang direktur di perusahaan besar. Bahkan lebih anehnya wanita yang dia panggil istri itu tidak mau kerja di perusahaannya.
“Mas? Aku berangkat ya?” Lidya berpamitan pada Rajendra. Nanti kalau aku sudah sampai di sana, aku kabari Mas.”
“Iya, kamu hati-hati.” Rajendra mengecup kening Lidya seperti pasangan suami istri pada umumnya.
“Khanza, tolong perhatikan suami saya. Kalau ada kesusahan kamu bisa hubungi saya,” pesan Lidya pada Khanza.
“Baik, Bu,” jawab Khanza patuh, karena dia memang hanya bisa patuh pada majikannya.
“Aku berangka ya, Mas. Bye, bye.” Lidya melambaikan tangannya berjalan keluar dari rumah.
Rajendra mengantar Lidya sampai di depan teras. Ia berdiri di teras sampai mobil jemputan Lidya pergi dari pekarang rumah mereka.
Khanza menghela nafas, kemudian dia berjalan cepat menuju kamar majikannya. Ia akan mencarikan dasi untuk Rajendra.
Saat Khanza sedang sibuk memilih dasi yang pas dengan baju yang dikenakan oleh Rajendra hari ini, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Khanza tahu siapa yang membuka dan menutup pintu kamar itu, sudah pasti Rajendra.
Suara langkah kaki berjalan ke arah Khanza. Membuat wanita itu menghela nafas panjang. Pikirannya masih cukup terkejut dengan tingkah Rajendra semalam yang tiba-tiba muncul di kamarnya.
“Kalau istirahat saja. Hari ini tidak perlu melakukan pekerjaan apapun dan kamu juga tidak perlu masak makan siang dan makan malam. Nanti saya pesan,” ucap Rajendra. Matanya menatap lekat wajah wanita yang ada di hadapannya itu.
“Ini dasi punya Bapak,” ucap Khanza tanpa memperdulikan perkataan Rajendra yang meminta untuk istirahat.
Rajendra mengambil dasi dari tangan Khanza dan juga menarik tangan wanita itu hingga masuk ke dalam dekapannya.
Posisi seperti itu membuat Khanza tidak tenang. Ia merasa lelaki itu sudah sangat kurang ajar padanya, akhirnya dia mendorong tubuh suami majikannya. Sayangnya tenaganya tak sekuat tenaga Rajendra yang merangkul pada pinggangnya.
Rajendra tetap bersikap santai. Dia seakan tidak peduli dengan Khanza yang berontak berusaha melepaskan rangkulannya.
“Apa kamu dengar perkataan saya?” ucap Rajendra dengan suara beratnya.
“Lepaskan saya, Pak. Jangan bersikap seperti ini, saya tidak mau jadi perusak rumah tangga orang. Saya tidak mau menyakiti hati sesama wanita,” ucap Khanza.
Rajendra semakin mengeratkan rangkulannya. Tatapannya tak lepas menatap wanita dalam dekapannya itu.
“Bukankah istri saya meminta kamu yang mengurus saya? Dia yang menyerahkan suaminya pada wanita lain, kan?” Rajendra berbicara dengan sangat serius dan tegas.
Khanza tidak berbicara lagi. Dia diam dengan sorot mata saling menatap dengan mata elang suami majikannya itu. Walaupun begitu, Khanza perlahan melepaskan rangkulan tangan Rajendra pada pinggangnya.
“Saya di sini hanya sebagai ART di rumah ini. Saya hanya menjalankan perintah dari majikan. Tidak ingin lebih dari yang Pak Rajendra inginkan,” ucap Khanza dan meletakkan dasi di atas tempat tidur.
Di sana sudah ada baju dan celana kerja yang akan dikenakan oleh Rajendra. Setelah itu Khanza beranjak keluar dari kamar, namun sayangnya langkahnya kembali terhenti saat Rajendra memanggil namanya.
“Khanza?” panggil Rajendra.
Khanza memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Kemudian dia berbalik badan menghadap majikannya itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Khanza.
“Iya, tolong pasangkan dasi saya. Saya tidak tahu memasangnya. Biasanya Lidya yang memasang dasi saya, tapi karena dia sudah menyerahkan semuanya pada kamu. Maka saya minta bantuan kamu untuk pasangan dasi saya,” ucap Rajendra.
Khanza tidak bisa menolak, apalagi ini adalah perintah dari Lidya sendiri. Ia akan melakukan permintaan Rajendra.
Rajendra mengenakan celana dan baju kerjanya. Setelah itu, ia berjalan ke arah kaca besar dan berdiri di sana.
“Tolong pasangkan kancing baju saya. Saya tidak bisa mengancingnya,” pinta Rajendra. Matanya menatap Khanza dari pantulan cermin. Bahkan dia melihat wanita itu mendengus kecil saat ia meminta tolong.
Khanza menghampiri Rajendra yang sedang berdiri di depan cermin. Wajahnya tenang, meski dadanya terasa sesak.
“Permisi, Pak. Biarkan saya yang memasang kancing bajunya,” ucap Khanza dengan nada tetap sopan, kendati hatinya masih menyimpan kekesalan atas kejadian semalam.
“Silakan,” jawab Rajendra singkat. Suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam, seperti ada sesuatu yang bergolak di dalam dirinya.
Khanza mulai menjalankan tugasnya. Jemarinya bergerak cekatan, memasang satu per satu kancing baju Rajendra tanpa menatap wajah pria itu. Ia memilih fokus pada pekerjaannya, sementara Rajendra hanya berdiri diam, memandangi sosok di hadapannya itu tanpa berkedip.
Matanya menyapu wajah Khanza dengan pandangan yang sulit dijelaskan—antara kekaguman, kebimbangan, dan… penyesalan.
Saat Khanza mengambil dasi dan mulai memasangkannya, Rajendra tiba-tiba angkat suara, memecah keheningan.
“Kenapa kita baru bertemu sekarang?” gumamnya lirih. Suaranya terdengar pelan, namun berat. “Kenapa tidak sejak dulu saja?”
Khanza tetap diam, mencoba tak menggubris. Ia tahu, bukan tempatnya untuk menjawab pertanyaan semacam itu.
“Kamu lebih cocok jadi istri saya. Kamu lebih pantas untuk bersanding di samping saya.” Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Rajendra, seakan meluapkan emosi yang tertahan.
Namun dalam tatapan matanya, terlihat jelas kebimbangan. Seolah dia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan. Seolah ia sedang meninju dirinya sendiri secara batin, marah karena karena keputusasaannya.
Khanza tak membalas sepatah kata pun. Ia menyelesaikan dasi itu, lalu segera melangkah mundur.
“Saya permisi, Pak,” ucapnya buru-buru, mencoba menjaga jarak.
Namun lagi-lagi, tangan Rajendra menahan pergelangan tangannya. Erat, namun bergetar.
Seolah genggaman itu bukan hanya untuk menahan Khanza, tapi juga untuk menahan dirinya agar tidak runtuh.“Saya tahu kamu masih bingung karena ulah saya semalam.” Suaranya kali ini lebih pelan, lebih jujur.
“Jadi, sebagai permintaan maaf… hari ini kamu istirahat saja. Tidak perlu melakukan pekerjaan rumah. Nanti saya pesan juga makanan untuk kamu,” katanya, berusaha terdengar tenang, meski wajahnya menyiratkan pergulatan batin.
“Tidak perlu, Pak. Saya akan te—”
“Saya tidak suka dibantah,” potong Rajendra, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Lalu ia menarik napas, berusaha menenangkan dirinya. “Tolong patuh dengan perkataan saya, Khanza.”
Lagi dan lagi Khanza terdiam.
“Saya berangkat kerja, ya? Nanti saya kabari kalau makanan kamu sudah dalam perjalanan,” pamitan Rajendra pada Khanza.
Khanza tidak menjawab, ia bergegas meninggalkan kamar majikannya itu. Khanza kembali ke kamarnya.
“Dok? Bagaimana keadaan Lita?” tanya Arga. “Maaf Pak, kami belum bisa memberikan yang terbaik,” jawab dokter dengan suara pelan. “Maksud, dokter?” tanya Arga semakin panik. “Kami tidak bisa—”“Tidak bisa apa, dok?” potong Arga yang terlihat semakin panik. “Dok? Adik saya tidak kenapa-kenapa, ‘kan?” Khanza juga terlihat panik. “Kami belum bisa memberikan yang terbaik, karena bisa saja pasien mengalami lupa ingatan,” jelas dokter. Mendengar perkataan dokter, Arga dan Khansa secara bersamaan menghela nafas panjang. Pikir mereka Lita tidak bisa diselamatkan, ternyata gadis itu hanya akan mengalami lupa ingatan. “Tapi Ibu dan Kapan tenang saja, karena ingatannya akan kembali sekitar 3 bulan. Jadi tidak perlu terlalu khawatir, sekarang kita tinggal menunggu pasiennya sadar.” “Iya, dok. Terima kasih banyak,” ucap Neli dan Rosa bersamaan. “Iya, sekarang Bapak dan Ibu sudah boleh masuk dan lihat pasien di dalam. Jika pasien sadar atau ada sesuatu yang terjadi dengan pasien, tolong ber
Arga sudah pulang dari kampung, akan tetapi ia tidak bertemu Lita. Bahkan saat ia sampai di kampung ia tanyakan juga pada tetangga, tapi kata tetangga Lita tidak pernah pulang kampung sejak mereka berobat ke kota. Sesampainya di kota, lelaki itu langsung ke kediaman Rajendra. Sayangnya saat ia baru tiba di sana, ia mendapatkan informasi dari ART, bahwa Lita mengalami kecelakaan maut dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Jadi, saat ini Rajendra dan yang lainnya di rumah sakit. Karena saat ini Lita dilarikan ke rumah sakit. Mendengar berita yang mengenaskan, Arga langsung melesat mobilnya meninggalkan kediaman Rajendra. Ia melesat mobilnya menuju rumah sakit. Pikirannya makin tidak tenang saat mendengar kabar Lita mengalami kecelakaan maut. Arga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Di posisi lain, tepatnya di rumah sakit. Khanza dan Neli tidak bisa menahan tangis saat melihat kondisi Lita yang sangat parah. Wajah dan tubuh gadis itu berlumuran darah.Rajendra dan Rosa teru
Lita sudah kemas semua pakaiannya. Dia sudah putuskan untuk kembali ke kota. Dia tidak mau buat Khanza kecewa lagi hanya karena kebodohan dirinya. Di luar sudah ada taksi yang sudah menunggunya. Setelah berpakaian rapi dan bersiap diri untuk pulang. Lita bergegas keluar dari kamarnya sambil mendorong kopernya. Di ruang keluarga ada Khanza dan Rajendra. Pasangan suami istri itu terkejut melihat Lita keluar dari kamar sambil mendorong koper dan juga menenteng tas ransel. Lita meletakkan kopernya, lalu ia menghampiri Khanza dan Rajendra. Ia akan berpamitan pada Khanza dan Rajendra. Gadis itu masih tetap tersenyum walaupun matanya masih bengkak karena menangis semalaman. “Kamu mau kemana? Kenapa bawa koper?” tanya Rajendra. “Lita pamit. Lita mau balik ke kampung,” jawab Lita sambil tersenyum. Menyembunyikan rasa sakit dan sedihnya. Ia tidak hanya tersenyum pada Rajendra, tapi juga pada Khanza. “Kak? Lita pamit ya,” ucap Lita pada Khanza. Khanza tidak menjawab. Ia diam dengan mata
Plak!Plak! Lita begitu syok, dia baru saja pulang jalan-jalan bersama Arga, tapi disambut oleh Kakaknya dengan menamparnya.“Kak—”“Kau itu masih kecil, Dek! Kenapa kamu sudah melakukan dosa yang sama seperti Kakak?!” ucap Khanza memotong ucapan Lita. Mendengar suara Khanza yang menggelegar, Rajendra berlari keluar dari kamar dan ia terkejut melihat istrinya yang memarahi Lita. Rajendra mendekati Khanza, namun ia dikejutkan tamparan keras istrinya itu pada adik iparnya. Plak! Tamparan kembali mendarat sempurna di pipi Lita. Lita hanya diam dengan mata yang lekat menatap Kakaknya yang saat ini sedang memarahinya. Rajendra tidak bisa melakukan apapun, karena kalau dia membela Lita, sudah pasti dia juga yang dimarahi dan dipersalahkan oleh istrinya itu. “Kakak pikir kamu tidak akan jadi gadis yang rusak, tapi kamu sama dosanya dengan Kakak!” “Kakak merasa gagal jadi seorang kakak jagain Adiknya,” ucap Khanza lagi. Amarahnya membludak saat Rajendra mengatakan kalau adiknya itu sud
“Ayo, kita bisa membuktikannya di kamar kamu. Atau bisa juga kita coba di mobil saya,” bisik Arga lagi dan tentunya membuat Lita tak bisa berkutik. Melihat Lita yang tidak bisa berkutik, Arga tersenyum. “Lain kali jangan menantang saya, kalau sudah pernah saya buat kewalahan.”Arga tersenyum dengan dada yang berdebar kencang. Ditambah lagi gejolak dalam dirinya. Lita benar-benar menguji keimanannya. Gadis itu benar-benar nakal dan keras kepala. “Atau kamu mau coba disini?” bisik Arga lagi. Lita yang tidak kuat lagi dan takut dilihat oleh Rajendra dan Khanza, ia pun menggigit kuat lengan kekar lelaki itu. Tapi semakin dia berontak dan berusaha gigit lelaki itu justru semakin mengeratkan melingkar tangannya di pinggangnya. “Mau coba disini juga boleh banget. Saya juga mau coba hal baru yang mungkin lebih menyenangkan,” ucap Arga. Mendengar itu, Lita la langsung memasang raut wajah masam dan memanyunkan bibirnya. “Apaan sih? Lepaskan saya!” ujar Lita kesal. Arga terkekeh. Ia tah
Lidya duduk di ruangan istirahat para karyawan cleaning servis. Wanita itu duduk dengan kedua tangan menopang dagunya. Saat ini yang istirahat hanya dia, sedangkan yang lain sudah kembali menjalankan tugas mereka. Semenjak benar-benar pisah dari Rajendra dan tidak berurusan lagi dengan kedua orang tuanya, Lidya terlihat lebih diam dan tubuhnya juga terlihat kurus. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Sekarang yang memperhatikan dirinya adalah Rangga. Walaupun pernah memarahi dan mengancam wanita itu, Rangga masih berbaik hati padanya dengan memberikan pekerjaan dan juga memberikan jam istirahat yang lebih dari karyawan lain. Bahkan lelaki itu juga sering belikan makan siang untuk Lidya. Seperti saat ini lelaki itu keluar dari ruangannya dan berjalan menuju ruang istirahat cleaning servis. Ia samperin Lidya yang duduk sendirian di ruangan itu. Melihat Lidya yang duduk dengan kedua tangan menopang dagu dengan tatapan kosong, Rangga pun menghampiri dan ikut duduk di samping Lidy