LOGIN
"Ah ...."
Desahan rendah dan berat memenuhi seisi ruangan. Gemuruh di dalam dada Andini pun seolah menyambutnya. Hari ini, Andini, genap 2 bulan bekerja di perusahaan RA Company. Dengan bantuan dari sahabatnya—Siska, ia berhasil menjadi pegawai magang di divisi sekretariat direksi. Semua itu adalah demi mengejar lelaki yang kini tengah menikmati sentuhannya. Berusaha tetap tenang, Andini bertanya, “Gimana? Enak kan, Om?” "Ah … ya." Lelaki yang dipanggil dengan sebutan ‘Om’ mendesah pelan sambil mengernyit. "Tapi Andini, kita sedang di kantor. Kamu jangan panggil saya Om!" Gadis bermata kecoklatan itu terkekeh jahil. "Oh iya! Andini lupa, Om!" "Andini!” tegur pria yang dipanggil Om itu. "Kamu lagi-lagi panggil saya Om!" "Oh iya!" Andini terkikik. Gadis berusia 22 tahun itu memang sengaja. Ia hanya ingin menggoda atasannya, yang notabene adalah Satria Hasan. Presiden Direktur RA Company. Pria yang telah mengisi hari-harinya sejak kecil dan telah membuat Andini jatuh cinta sejak SMA. Dia juga adalah ayah dari Siska. “Kamu pintar juga, An,” puji Satria sambil memejamkan mata. “Belajar dari mana?” “Siska kan sering pingsan kalau upacara, Om—eh, Pak. Saya suka pijetin dia.” Bibir Satria membentuk huruf O tanpa suara. Andini yang memang sudah berhasrat terhadapnya pun merasa tergoda untuk menyentuh bibir itu. Namun, ia tidak punya keberanian sampai ke sana. Demi menurunkan ketegangan yang ia buat sendiri, Andini berpikir kalau ia harus segera membuat jarak dengan Satria. "Sudah apa belum Pak?" tanya Andini yang masih menekan ibu jarinya di leher Satria. Sebenarnya tadi malam, Siska cerita kalau ayahnya sedang kurang enak badan. Sekejap, Andini langsung belajar teknik pijat kilat dan mempraktekkannya pada Satria pagi ini. "Saya rasa sudah!” Satria melepaskan diri dari pijatan Andini. “Thanks, An!” Kemudian Satria menambahkan, “Tapi, sepertinya saya tetap harus minum obat. Tolong ambilkan di laci meja sana, Andini!” "Oke, Pak." Dengan sigap Andini menuju laci yang ditunjuk Satria barusan. Andini memperhatikan obat itu sambil berkata dalam hati, ‘Kalau mau menikah dengan Om Satria, aku harus tau obat-obatan aaaayang dia perlukan. Ini untuk darah rendah. Ternyata penyakitnya sama seperti Siska.’ “Ada nggak, An?” tanya Satria yang melihat Andini dari kejauhan tak kunjung kembali. “Apa saya lupa beli lagi?” Sadar dari lamunannya, Andini segera menutup laci dan berbalik untuk menyerahkan obat yang ia temukan. “Ada, Pak!” "Harusnya Pak Satria banyak istirahat! Kalau ada apa-apa sama Bapak, gimana nasib perusahaan ini?" ucap Andini sambil menyerahkan obat tersebut. Kaget dengan ucapannya sendiri, Andini langsung menutup mulut lancangnya dengan kedua tangan, "Astaga! Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud sok pintar. Maksud saya, Bapak jangan terlalu keras bekerja!" "Nggak apa-apa, An. Kamu benar.” Satria tersenyum tipis. “Terima kasih sudah ngingetin saya." Satria baru saja akan meminum obatnya, tetapi air di gelas yang ada di tangannya sudah dingin. Dia kembali melihat ke arah Andini. ”Tolong ganti dengan air hangat, An! Yang ini sudah dingin.” “Siap Pak!” Dengan cekatan, Andini segera berlari menuju pantry kecil yang ada di sudut ruangan untuk mengambilkan air hangat. Dari tempatnya, Andini melirik Satria. ‘Astaga! Andai dia jadi suamiku, mungkin tidak berakhir hanya pijat kepala!’ Andini nyengir. Merasa mulai membayangkan yang tidak-tidak, Andini langsung menggelengkan kepala. Menghapus semua bayangan menggoda itu. ‘Aku semakin gila karenanya!’ Andini terkekeh kecil. Sementara itu, Satria jadi menimbang teguran Andini tadi. Sang presdir bahkan tidak ingat, kapan terakhir kali ia mendapat waktu istirahat yang berkualitas. Sejak perceraiannya, Satria memilih untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ia bahkan berhasil membuka cabang di luar negeri dan sukses setelah 3 tahun fokus di sana. ‘Ah … Benar kata Andini. Kurasa, aku harus liburan. Siska juga pasti merasa kesepian selama ini,’ batin Satria berniat memperbaiki keseimbangan hidupnya. Tanpa sadar, netra Satria berkelana menatap Andini. Ia tidak menyangka gadis kecil yang dulu sering sekali datang ke rumahnya untuk bermain dengan Siska, kini sudah menjadi perempuan dewasa dan mulai bekerja. Dulu, Andini kecil sering sekali minta dipangku dan dibacakan buku cerita olehnya. ‘5 tahun nggak ketemu, Andini jadi berbeda,’ batin Satria. ‘Well, setidaknya dia tumbuh dewasa dengan baik.’ Satria tersenyum lega. Namun, tiba-tiba kepalanya kembali terasa sakit. Ia pun tak sengaja mengerang pelan. “Ah ….” Mendengar erang kesakitan dari Satria, Andini kaget. Diapun tidak sengaja menumpahkan air dan segera berlari kembali untuk menyerahkan gelas berisi air hangat. "Maaf, Pak! Saya kelamaan! Ini airnya!" Wajahnya pucat, takut kalau sakit Satria semakin parah. Stok air panas kosong. Jadi Andini harus menunggu air matang dulu di dalam teko pemanas. Makanya ia jadi terlalu lama menyerahkan air hangat untuk Satria. ‘Aku harus memperhatikan stok air panas untuk selanjutnya!’ batin Andini, mengoreksi diri. Karena Satria tengah memejamkan mata menahan sakit, ia menjulurkan tangan kanannya tanpa melihat. Maksud hati mengambil gelas yang diberikan Andini, tangan Satria ternyata berakhir tidak tepat pada sasarannya. ‘Apa ini? Kenapa terasa empuk ... dan … kenyal?’"Siska?" gumam Andini. Andini melihat ke arah pintu dan kembali menatap Satria. "Dia pasti nyari Om untuk ngajak sarapan." gumamnya lagi. Andini segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja rias untuk merapikan pakaian dan wajahnya.'Aku harus tenang. Siska nggak boleh tau apa yang udah aku dan Satria lakukan tadi.' batin Andini. "Ayah... " panggil Siska lagi dengan nada manja seperti biasanya. Namun, kali ini bukan hanya panggilan, ia juga mengetuk dan menekan kenop pintu kamar Satria untuk membukanya.Andini yang sadar akan hal tersebut berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya lebih dulu. Setelah pintu terbuka, Siska yang melihat Andini ada di kamar Ayahnya terdiam. Dia bingung kenapa ada Andini di dalam kamar Ayahnya."Kok lo ada di kamar Ayah?" tanya Siska dengan kening berkerut. "Ta—tadi Om ke dapur, Sis. Dia mabuk! Jadi, gue bantu Om masuk ke dalam kamar." Andini menjelaskan. Andini yang sedari tadi memutar otak untuk mencari alasan akhirnya bicara. Di
"Om?!"Seketika Andini berbalik. Terkejut melihat Satria lah yang memeluknya. "Om mabuk?!" tanya Andini lagi sambil memegangi Satria yang sedikit limbung. Namun Satria tidak menjawabnya. Dia malah memandangi wajah Andini. "Kamu tumbuh jadi cantik, Andini!" ucap Satria. Pria mabuk itu tersenyum sambil menyentuh pipi Andini dengan lembut. Wajah Andini memerah. Tidak disangka, akhirnya dia mendapat pujian dari Satria. Walau dalam kondisi setengah sadar. Entah apa dia akan ingat atau tidak ketika sadar nanti.Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak pulang semalaman dan sekarang datang dalam kondisi mabuk. "Kayaknya Om butuh istirahat deh! Aku bantu ke kamar ya?"Satria mengangguk. Ia merangkul bahu Andini, sementara melangkah menuju ke kamar Satria.Sama seperti semalam, aroma maskulin kembali masuk ke dalam indra penciumannya. Dia membantu membukakan sepatu yang Satria gunakan dan menaruhnya di pinggir tempat tidur. "Om kenapa sih?” tanya Andini, berharap Satria menjawab. “Kok mab
"Cukup, Sis!" tegas Satria masih dengan suara berbisik. Namun, Siska tidak mau kalah. “Aku butuh sosok Ibu. Yang seperti Andini, Yah." Siska sedikit menurunkan volume suara. Tidak mau Andini mendengarnya. Satria menghela napas. "Kamu tau kan pekerjaan Ayah sangat padat! Ayah nggak ada waktu berurusan sama perempuan. Apalagi cari Ibu untuk kamu, Siska." bisik Satria, nyaris tak terdengar. Andini yang sedari tadi mendengar percakapan mereka tersenyum tipis. 'Lagi-lagi percakapan itu! Bosen banget gue dengernya!' Andini berdecak pelan. 'Lagian Siska ada aja sih! Nyuruh Om Satria nyari yang kayak gue! Padahal, gue juga mau kok jadi Ibunya!' Namun, harapan Andini langsung pudar mengingat sikap Satria padanya. ‘Lihat gue telanjang tadi aja, Om Satria nggak gugup. Dia pasti mikir gue masih bocil!’ Andini menghembuskan napas panjang dan lama. ‘Mana mau Om Satria sama gue!' Tanpa sadar, raut wajah Andini berubah muram."Lo kenapa An?"Andini tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, gue cuma ng
"Uwah! Om jangan lihat!" Andini berteriak berjongkok, seraya menutupi tubuh dengan kedua tangannya. Ia terlalu jauh dengan kamar mandi dan juga kasur, untuk menggapai sesuatu demi menutupi tubuhnya. "Ng—nggak! Om nggak lihat!“ Berjalan menyamping, Satria mengambil selimut dan melemparkannya kepada Andini. “Pakai ini, An!" Andini pun segera bergerak mengambil selimut itu dan berlari menuju belakang punggung Satria seperti anak kecil. Barulah Satria bisa bertanya, "Ada apa, An? Kenapa kamu teriak panik begitu?" "I—itu ... Om." Sambil bersembunyi di balik tubuh Satria, Andini menunjuk ke pojok kamar mandi. Di sana ada hewan yang sangat menjijikkan bagi Andini. Kecoa! 'Ih! Aku paling takut kalau dia udah terbang!' batin Andini. Satria pun melihat serangga yang memang paling dibenci Andini. Sejak kecil, ia juga yang akan langsung mengambil sapu lidi untuk mengusir kecoa. Tak disadari, Satria terkekeh mengingat masa kecil Andini. Andini baru saja akan bertanya kenapa Sa
‘Ugh! Tapi kayaknya nggak bakal kurestuin ah! Dia kayaknya playboy!’ Siska melanjutkan pemikirannya. Setelah beberapa saat mendengarkan obrolan kedua pemegang jabatan tinggi itu, Siska mulai bosan dan jengah. “Yah, udah kelar belum?” tanya Siska sedikit merengek. “Takut Andini nungguin.” Dan lagi, ia semakin malas mendengar Dion bicara. Satria pun menurut kali ini. Ia juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama putrinya. "Saya rasa pembahasan kita sudah cukup sampai di sini, Dion. Mengenai target bulan ini dan selanjutnya, saya harap kita bisa mencapainya." "Iya Pak. Kalau begitu, saya izin undur diri." Satria mengangguk sementara Dion membereskan beberapa dokumen yang dia bawa, kemudian pergi dari ruangan itu. Siska berjalan menghampiri Satria dan menaruh lengan di pundak Ayahnya. "Ayo, Ayah …," rengek Siska lagi. Satria mengerutkan kening. "Sayang,lain kali, kamu tidak boleh seperti itu! Ayah kan sedang kerja! Dan kamu tau, Ayah selalu tau waktu! Ayah tidak mau ba
"Aduh!" Andini meringis dan memegang keningnya yang memerah. "Maaf! Saya nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?!"Dion berjalan mendekat dan mencoba menyentuh keningnya. Namun dengan cepat Andini menepisnya. 'Nggak apa-apa, apanya?!’ batin Andini sambil menatap galak ke arah Dion. ‘Bener-bener ya ini orang! Nggak bisa ketuk pintu dulu apa sebelum masuk? Bikin gue malu aja di depan Satria!' Siska mempercepat langkahnya, menghampiri Andini. Karena sudah ditolong putrinya, Satria memutuskan untuk memperhatikan dari balik meja. "Lo nggak apa-apa An?" ucap Siska khawatir. "Bisa-bisanya sih lo kecelakaan sampai dua kali dalam satu hari." Siska memegang kening Andini dengan tangan kanannya. Andini yang tadi ingin marah, mengurungkan niatnya. Dia sadar kalau Satria sedang memperhatikan dari jauh. "Nggak apa-apa Sis! Tenang! Cuma sedikit perih aja kok!" Andini nyengir. "Udahlah, mending kita pulang aja yuk! Daripada lo kenapa-kenapa lagi! Udah sore juga kan!"Andini melihat jam di perge







