LOGINMalam itu, setelah neneknya dimakamkan, Raisa duduk di depan rumah kecilnya dengan pipi yang masih basah oleh air mata. Tanpa nenek yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, duka masih mencengkeram hatinya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari rasa kehilangan.
Di sampingnya, Gendis duduk dengan diam, membiarkan Raisa menangis sepuasnya. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan Gendis tahu betul luka di hati Raisa tidak bisa sembuh dalam sehari. “Kau masih punya aku, Raisa,” ujar Gendis akhirnya. “Dan kau masih punya tujuan yang belum kau selesaikan.” Raisa menoleh, menatap sahabatnya dengan mata sembab. “Apa maksudmu?” Gendis menarik napas panjang. “Ibumu.” Dada Raisa bergetar mendengar panggilan itu. “Jangan sebut dia ibuku,” katanya dingin. “Dia bukan siapa-siapa bagiku,” ujar Raisa dengan pandangan kosong menatap ke depan. Baginya, ibunya sudah lama mati. Semenjak ayahnya meninggal, Raisa tak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Orang yang tinggal di rumahnya dan yang telah membuangnya sekarang hanyalah orang asing baginya. Karena mana mungkin ada seorang ibu yang tega membuang anak kandungnya sendiri? “Baiklah.” Gendis mengalah. “Tapi kau tidak lupa, kan? Dulu kau bilang ingin membalas semua perbuatannya. Aku tahu kau terluka, tapi kalau kau menyerah sekarang, dia akan tetap hidup bahagia di atas penderitaanmu.” Raisa terdiam. Gendis benar. Wanita itu mungkin sedang menikmati hidupnya di rumah mewah, menikmati harta yang seharusnya menjadi haknya. “Kau harus bangkit!” lanjut Gendis. “Kita pergi ke kota. Kita cari cara agar kau bisa masuk ke rumahnya. Aku yakin masih ada cara untuk mendapatkan keadilan.” Raisa menghembuskan napas panjang. “Aku tidak punya apa-apa sekarang, Gendis.” Uang di dompetnya hanya sisa lima ratus ribu rupiah. Semua tabungan yang ia simpan selama ini sudah Raisa pakai untuk mengurus pemakaman neneknya. “Aku juga tidak punya banyak, tapi kita bisa mulai dari nol,” sahut Gendis cepat. “Aku dengar ada banyak lowongan kerja di kota. Kita coba peruntungan di sana,” seru Gendis lantang. Raisa menatap sahabatnya lama, lalu mengangguk. Ia tidak bisa terus berduka. Benar kata Gendis, jika ingin keadilan, ia harus bergerak. *** Dua minggu setelah kematian neneknya, Raisa dan Gendis meninggalkan desa. Mereka naik bus dengan beberapa koper berisi pakaian dan kenangan masa lalu. Tidak ada yang menahan mereka untuk tetap tinggal, tidak ada yang bisa mereka tinggalkan. Perjalanan ke kota memakan waktu berjam-jam. Raisa memandangi jalan raya yang sibuk, gedung-gedung tinggi yang menjulang di kejauhan. Kota ini terasa asing, karena Raisa tidak banyak menghabiskan waktu di sana, tetapi di sinilah ia akan menemukan jalannya. Setelah tiba, mereka tinggal di sebuah kamar kos kecil yang mereka sewa dengan uang tabungan mereka. Hidup di kota tidak mudah. Mereka menghabiskan hari-hari pertama mencari pekerjaan. “Ada lowongan di restoran ini,” kata Gendis suatu sore, menunjukkan selembar kertas tempelan di jendela. “Kurasa aku bisa mencobanya,” jawab Raisa agak ragu. Mereka masuk, tetapi pemilik resto menolak dengan alasan sudah banyak CV yang mereka terima hari itu. Hari itu berlalu dengan penolakan demi penolakan. Raisa mulai merasa putus asa. Namun, keesokan harinya, Gendis datang dengan senyum lebar. “Aku punya kabar baik!” katanya berlari kecil menghampiri Raisa. “Apa?” tanya Raisa penasaran. “Tadi aku tidak sengaja bertemu seorang wanita tua di pasar. Dia menawariku bekerja di rumah tempatnya bekerja juga. Katanya, pemilik rumah itu masih butuh dua pembantu. Jadi aku menerimanya. Kamu mau, kan?” Raisa menimbang sejenak. Jika ia bekerja di rumah orang kaya, mungkin ia bisa mendapatkan informasi lebih banyak. Biasanya orang kaya punya banyak relasi. Siapa tahu salah satu relasinya adalah ibunya. Karena setahu Raisa, perusahaan yang ditinggalkan ayahnya lumayan besar. Ia pasti punya banyak relasi di mana-mana, dan kemungkinan ibunya juga kenal. “Baiklah, kapan kita mulai?” “Besok.” *** “Kamu nggak salah alamat, kan, Ndis?” Raisa dibuat kaget setelah mereka sampai di alamat tujuan. Raisa sangat familiar dengan rumah itu, ia pernah tinggal di sana. Rumah itu adalah rumah peninggalan ayahnya. Jika alamatnya benar, berarti mereka akan bekerja di rumah ibunya. Kebetulan sekali, tanpa dicari pun akhirnya mereka bisa bertemu. Raisa hanya berharap semoga saja ibunya tidak mengenalinya agar rencana yang ia susun berjalan dengan lancar. Raisa juga tidak akan memberitahu hal ini dulu pada Gendis karena ia akan menjalankan semua rencananya sendirian. “Nggak! Ini bener alamatnya kok!” kata Gendis menunjukkan ponselnya, di mana tertera sebuah alamat yang menunjukkan rumah itu. Senyum miring terukir di sudut bibirnya. Raisa sangat senang, ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan ibunya. Bagaimana ya keadaannya sekarang? Apakah sikapnya masih keras seperti dulu atau sudah berubah setelah meratapi kesalahannya? Namun, Raisa tidak yakin ibunya bisa berubah. Otak wanita itu sudah dipenuhi kejahatan. Anaknya saja mau dibunuh karena dianggap mengganggu jalannya. Raisa yakin ibunya tambah menjadi-jadi sekarang. Apalagi semua harta kekayaan ayahnya sudah jatuh ke tangannya, ia pasti makin menindas orang. “Coba ketuk pintunya!” kata Raisa menyuruh Gendis mengetuk pintu rumah itu. Gendis menganggukkan kepalanya, lalu mulai mengetuk pintu. Tak lama, seorang kepala pelayan tua membuka pintu. Dia adalah wanita yang Gendis temui di pasar kemarin. Wanita itu membawa mereka masuk ke dalam rumah. Waktu pertama kali Raisa menginjakkan kaki di rumah itu lagi, semuanya terasa asing. Ibunya telah mengubah segala hal di dalam rumah itu, termasuk berbagai perabot yang dibeli ayahnya. Semuanya sudah berganti. Bahkan foto keluarga yang ditempel di dinding ruang tamu kini tak ada lagi dan sudah digantikan oleh foto keluarga baru ibunya. Raisa masih sangat mengenal pria itu. Pria yang bersekongkol dengan ibunya untuk melenyapkannya. Ia tak akan bisa melupakan semuanya. Dendamnya pada dua orang itu harus terbalas. Mereka harus merasakan apa yang Raisa rasakan selama ini: kehilangan orang yang kita sayang. “Kamu kenapa, Sa?” tanya Gendis saat melihat Raisa menangis. Raisa tanpa sadar menjatuhkan air matanya. Dadanya sesak melihat orang yang sudah menghancurkan hidupnya terlihat bahagia, seolah mereka tak pernah melakukan kesalahan. Raisa merasa ini tak adil untuknya. Seharusnya orang-orang itulah yang menderita dan menemui karmanya, bukan dirinya. “Aku nggak apa-apa kok,” ucap Raisa menghapus air matanya. Gendis tak percaya begitu saja. Ia yakin ada yang disembunyikan gadis itu, tapi Gendis tak ingin bertanya terlalu jauh. Ia yakin Raisa akan menceritakannya nanti ketika wanita itu sudah siap. “Siapa mereka?” tanya seseorang tiba-tiba. Raisa langsung mendongak. Ia sangat mengenali suara itu. Di sebuah anak tangga penghubung ke lantai dua, berdiri seorang wanita paruh baya, kedua tangan bersedekap di dada, memandang mereka dengan tatapan angkuh. Raisa mengepalkan tangannya pada kedua sisi tubuhnya. Dadanya mendadak sesak setelah melihat wajah itu. Wajah yang sangat ia benci. Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ketika wanita itu dengan tega membuangnya tanpa belas kasihan. Rasanya ia tak ingin lagi melihatnya. Namun demi tujuannya, ia harus bertahan. Ia harus merebut haknya kembali dan meminta keadilan untuk ayahnya. Kasus ayahnya yang meninggal karena kecelakaan bukan murni kecelakaan, tetapi karena ada campur tangan orang lain dan orang itu adalah ibunya sendiri. Ibunya berselingkuh dengan pria lain dan tega membunuh suaminya sendiri demi merebut hartanya. Mungkin karena ayahnya sudah punya firasat kurang baik, sebelum kecelakaan itu ia melimpahkan semua harta kekayaannya atas nama Raisa. Pengacara ayahnya datang menemui Raisa sehari setelah ayahnya dikuburkan. Dia menemui Raisa diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya. Pengacara itu bilang jika ada yang sengaja menyabotase mobil ayahnya hingga kecelakaan itu terjadi. Pengacara itu juga bilang bahwa Raisa harus berhati-hati dengan ibunya. Namun, karena Raisa saat itu masih kecil, ia belum mengerti maksud dari pengacara ayahnya. Tetapi setelah kejadian yang menimpanya, ia akhirnya sadar bahwa ibunya lah dalang dari semua masalah ini. Itu sebabnya pengacara ayahnya menyuruhnya untuk berhati-hati. Dan kini wanita itu berdiri dihadapannya seperti tak terjadi apa-apa. Tak merasa bersalah sama sekali, hidup bahagia di atas penderitaan dirinya juga ayahnya “Pelayan baru, Bu.” Ratri melirik sekilas, lalu menuruni tangga. Ia berjalan mendekati Raisa dan Gendis. Setelah sampai di hadapan mereka, wanita itu menatap intens keduanya. Raisa menelan ludah, gugup. “Aku seperti pernah melihatmu. Tapi di mana, ya?” ucapnya masih menatap Raisa, berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan gadis itu. Deg! Jantung Raisa berdegup sangat kencang. Ia berdoa dalam hati semoga ibunya tak mengingatnya. Bisa gagal semua rencananya jika wanita itu mengenalinya. “Mungkin Ibu salah orang, karena ini baru pertama kalinya kita ke kota ini,” sela Gendis sambil melirik Raisa yang terdiam kaku di tempatnya. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala. “Iya, sepertinya…” Raisa bernapas lega. Ia hampir saja kena serangan jantung mendadak andai Gendis tak membantunya. “Saya harap kalian bisa bekerja dengan baik selama di sini dan jangan sekali-kali membuat masalah. Kalau tidak, kalian akan tahu akibatnya!” tegasnya dengan nada mengancam. Kedua gadis itu mengangguk sambil menundukkan wajah. “Bi, bawa mereka ke kamarnya. Suruh istirahat. Besok mereka harus mulai bekerja,” ucap Ratri, kemudian pergi meninggalkan mereka di ruang tengah menuju dapur untuk mengambil air minum yang akan dibawanya ke kamar. Begitu punggung wanita itu menghilang di balik lorong, Raisa tersenyum dingin. Ibunya tidak mengenalinya. Rencananya bisa dimulai. “Ayo ikut saya,” panggil kepala pelayan, kemudian berjalan menuju ruang belakang tempat kamar mereka berada. “Ini kamar kalian. Saya harap selama bekerja di sini kalian berhati-hati. Ibu sangat suka marah-marah, apalagi jika ada yang bicara dengan suaminya. Dia sangat pencemburu,” ucap kepala pelayan mengingatkan. Keduanya mengangguk. “Baik,” jawab mereka serempak. “Ya sudah, kalian masuk, istirahatlah.” *** Keesokan harinya, kedua gadis itu memulai pekerjaannya. Dari pagi hingga malam hanya ada mereka dan juga kepala pelayan di rumah itu. Seharian Raisa tak melihat ibunya. Ke mana kiranya wanita itu pergi? Raisa berjalan menghampiri kepala pelayan yang kebetulan baru masuk dapur. “Mbo!” panggil Raisa, membuat kepala pelayan yang tadi sedang membuka kulkas langsung berbalik. “Iya, kenapa?” “Ibu ke mana? Kenapa seharian saya nggak lihat beliau ada di rumah ini?” tanya Raisa penasaran. “Hari ini Ibu ada jadwal arisan dengan teman-temannya. Beliau memang akan di luar seharian dan pulang setelah jam sepuluh malam,” jawab kepala pelayan. “Kamu kenapa belum tidur? Terus, Gendis di mana?” “Dia sudah tidur duluan, Bi. Sebentar lagi saya juga nyusul, cuma saya mau ambil air dulu. Haus, Bi,” ujarnya terkekeh pelan. “Ya sudah kalau begitu, Bibi duluan, ya,” ucapnya, kemudian meninggalkan Raisa sendirian di sana, di bawah lampu dapur yang temaram. Setelah mengambil air, niat Raisa ingin kembali ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti setelah mendengar keributan dari ruang tengah. Raisa berjalan mengendap menghampiri asal suara. “Mau sampai kapan kamu mau kayak gini, Mas? Aku capek selalu lihat kamu pulang dalam keadaan mabuk! Terus bau kamu juga selalu bau parfum cewek. Kamu selingkuh, kan?!” Raisa melihat ibunya berteriak pada seorang pria. Raisa mengenalinya. Pria itu adalah pria yang sama, kekasih ibunya dua puluh tahun lalu. Lalu kenapa ibunya bisa marah? Apa yang membuatnya marah pada pria itu? “Jangan ngatur aku! Kamu nggak berhak melakukan itu. Ini hidupku, jadi terserah aku mau melakukan apa! Dan stop bilang aku selingkuh karena aku nggak selingkuh!” Pria itu balik berteriak, kemudian mendorong wanita itu hingga terjatuh di atas sofa. Ia lalu meninggalkannya, masuk ke kamarnya seorang diri, tak peduli istrinya sedang menangis meraung. “Hayo… ngapain kamu di sini?” Raisa tersentak kaget saat punggungnya tiba-tiba ditepuk. Ia langsung berbalik dan mendapati Gendis berdiri di belakangnya. “Kamu ngagetin aja,” tukas Raisa sambil mengusap dadanya pelan. Gendis terkekeh pelan. “Sorry, habisnya aku lihat kamu serius banget.” “Nggak ada apa-apa. Ayo balik kamar,” ucap Raisa menarik tangan Gendis untuk kembali ke kamarnya, tak menghiraukan suara tangis Ratri yang terdengar menyedihkan di ruang tengah.Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen
Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing
“Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala
“Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,
Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah
“Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau







