Pagi itu, Raisa bangun lebih pagi. Sebelum beranjak dari kasur, ia menoleh ke samping lebih dulu. Raisa melihat Gendis masih tertidur pulas.
Matanya kemudian menangkap jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Masih terlalu dini untuk bangun. Akan tetapi, kalau Raisa sudah bangun, ia tidak bisa tidur lagi. Raisa perlahan turun dari kasur, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum Gendis bangun dan menyuruhnya buru-buru. Raisa mencuci muka di depan wastafel. Ia kemudian menatap pantulan dirinya. Kantong matanya terlihat menghitam, efek dari ia yang selalu begadang demi mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal dengan nenek dan kakeknya dulu. Sekarang, ia sudah bisa tidur lebih awal. Namun, rasanya sangat hampa. Ia merindukan kedua orang tua yang merawatnya dari kecil. Rasanya sesak setiap kali mengingat penderitaan hidupnya dulu. Sepiring nasi harus dibagi tiga dengan nenek dan kakeknya karena mereka tidak punya cukup uang untuk membeli beras. Bahkan, lauknya pun seadanya, hanya dengan garam dan cabai yang ditumbuk. Sementara itu, orang yang membuatnya menderita hidup enak di kota, menikmati semua fasilitas yang seharusnya menjadi miliknya. Mengingatnya membuat rasa benci dalam diri Raisa semakin berkobar. Ia tidak akan pernah memaafkan ibunya, sekalipun wanita itu meminta maaf padanya. Raisa yang tadinya menangis tiba-tiba berkobar, pancaran matanya penuh kebencian. Kedua tangannya meremas pinggiran wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. "Ayah, Kakek, Nenek, yang tenang di sana, ya. Di sini, aku akan berjuang demi mengembalikan hakku agar kalian bisa tenang melihatku dari atas sana," gumam Raisa dengan air mata yang tiba-tiba kembali meluncur di kedua pipinya. Tok! Tok! "Sa, kamu di dalam?" Di luar, Gendis mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Raisa buru-buru menghapus air matanya, lalu berdeham pelan dan berusaha untuk tetap tenang. Gendis tidak boleh tahu kalau dia habis menangis. Anak itu bisa bertanya banyak hal padanya nanti. "Iya, aku baru mau mandi." "Kamu bisa keluar dulu tidak? Aku sudah kebelet ini, perutku sakit," ucap Gendis dari luar sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba sakit karena ingin buang air besar. Mendengar itu, Raisa buru-buru membuka pintu. "Ya sudah, masuk. Jangan lama-lama, ya. Kita harus cepat-cepat keluar untuk bersih-bersih." Gendis yang sedang bersandar di tembok dengan lutut tertekuk hanya mengangguk. Ia dengan cepat masuk ke kamar mandi karena hajatnya sudah di ujung tanduk. Raisa duduk di ranjang sembari menunggu Gendis selesai buang air besar. Raisa membuka ponselnya, mencari informasi tentang perusahaan ayahnya. Saat membuka sebuah halaman, Raisa melihat profil jajaran direksi dan staf yang bekerja di perusahaan itu. Yang menjadi CEO-nya sekarang adalah ayah tirinya, suami ibunya. Raisa mengepalkan tangannya erat, meremat ponsel dalam genggamannya. Raisa harus masuk ke sana, bagaimanapun caranya. Ia harus merebut kembali hak milik ayahnya yang dikuasai oleh wanita ular dan suaminya itu. Cklek! Mendengar pintu kamar mandi dibuka, Raisa dengan cepat menaruh ponselnya kembali ke atas kasur, lalu melihat Gendis yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap perutnya. Anak itu tampak lesu, wajahnya terlihat sangat pucat, dan tubuhnya lemas. Raisa beranjak menghampirinya. "Kamu kenapa? Perutmu masih sakit, ya?" tanya Raisa sambil menuntun Gendis untuk duduk di ranjang. Gendis mengangguk pelan. "I-iya, aku tiba-tiba diare, jadi lemas sekali," ucap Gendis lesu. Raisa menghela napas pelan. Ia kasihan melihat Gendis seperti ini, apalagi ini adalah hari pertama mereka bekerja lagi. Namun, kalau dipaksa bekerja, ia takut anak itu malah kolaps. "Ya sudah, kamu istirahat saja. Biar nanti aku yang bilang ke Ibu kalau kamu belum bisa kerja hari ini karena sakit," ucap Raisa karena ia tahu Gendis butuh banyak istirahat. Wajah Gendis berubah melas. "Maaf, ya, Sa. Gara-gara aku sakit, kamu jadi harus kerja sendiri," ucap Gendis tak enak hati. Raisa tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, lagian ada Bi Murni, kok. Jadi aku tidak sendirian," ucap Raisa mengusap pelan punggung Gendis. "Mending kamu istirahat sekarang, jangan lupa minum banyak air putih juga biar cepat pulih. Nanti aku minta obat diare ke Bi Murni, siapa tahu dia punya." Gendis mengangguk, kemudian merebahkan dirinya ke kasur. Sementara itu, Raisa dengan telaten menyelimutinya. Setelah itu, ia masuk ke kamar mandi untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Selesai bersiap-siap, Raisa langsung keluar dari kamarnya, membiarkan Gendis istirahat seorang diri. Raisa berjalan menuju area dapur. Ia mendapati Bi Murni sudah ada di sana, sedang berkutat dengan berbagai peralatan masaknya. "Selamat pagi, Bi," sapa Raisa sambil berjalan ke arah pojok dapur untuk mengambil sapu dan pengki. "Pagi, Raisa. Bagaimana tidurnya? Nyenyak, kan?" tanya Bi Murni balik sambil sibuk memotong-motong roti yang akan dijadikan sandwich untuk sarapan majikannya. "Nyenyak, Bi. Oh iya, Ibu belum bangun, ya?" tanya Raisa sedikit berbasa-basi. "Belum, Nak. Ibu kan biasanya bangun agak siang, sekitar jam sembilan. Jadi, sebelum dia bangun, semuanya harus sudah bersih." Raisa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu, aku bersih-bersih dulu, ya, Bi," ucapnya seraya berjalan meninggalkan area dapur dengan membawa sapu dan pengki di tangannya. "Tunggu!" Raisa menghentikan langkahnya mendengar Bi Murni memanggil. "Iya, ada apa, Bi?" tanyanya berbalik. "Gendis mana? Kenapa tidak bareng kamu?" tanya Bi Murni yang baru sadar kalau sejak tadi Gendis tak ada di antara mereka. Raisa menepuk dahinya pelan. Ia hampir lupa meminta obat untuk Gendis pada Bi Murni. Untung saja Bi Murni bertanya padanya. "Dia lagi sakit, Bi. Lagi diare, jadi saya suruh istirahat dulu. Biar saya saja yang kerjakan semuanya sampai dia pulih. Oh iya, Bibi ada obat diare?" "Ada di kamar, nanti biar Bibi yang kasih ke Gendis. Sekarang kamu lanjut kerja saja." Raisa mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya. Namun, ia kembali berhenti saat Bi Murni kembali bicara. "Oh iya, kalau ruang tamu sama teras sudah bersih, kamu masuk ke ruang kerja Bapak, ya. Bersih-bersih di sana juga. Biasanya saya yang bersih-bersih, tapi karena sudah ada kamu, jadi tugas itu saya alihkan ke kamu." Raisa tersenyum tipis. "Baik, Bi!" serunya dengan semangat. *** Ruang tamu dan teras telah ia bersihkan. Kini, Raisa berjalan ke arah ruang kerja ayah tirinya. Raisa sudah berdiri di depan ruangan itu. Ia agak waswas untuk membukanya, takut tiba-tiba ada orang di dalam. Raisa mengumpulkan keberaniannya. Ia membuka pintu ruangan itu dengan pelan. Ia sedikit mengintip ke dalam sebelum benar-benar masuk. Tidak ada orang di dalam. Namun, hal pertama yang Raisa lihat adalah ruangan itu terlihat berantakan. Ada banyak sisa makanan dan minuman beralkohol di sana. Sepertinya ruangan itu dijadikan tempat minum-minum oleh ayah tirinya. Dulunya, ruangan itu adalah ruang kerja ayahnya. Selama ayahnya masih ada, ia sering masuk ke sana untuk menemani ayahnya bekerja atau sekadar membaca buku. Tak ada yang berbeda dari ruangan itu. Semua propertinya masih sama. Ada dua lemari yang berisi buku-buku milik ayahnya. Raisa bersyukur, setidaknya ia masih bisa melihat beberapa peninggalan ayahnya di rumah itu. Raisa melangkah masuk lebih dalam. Pengki dan sapu yang dibawanya ia taruh di lantai, kemudian ia membereskan meja yang berantakan, lalu mulai menyapu seluruh ruang kerja. Setelah selesai, Raisa beristirahat sejenak di dalam ruangan itu. Matanya kembali menelisik deretan rak buku. Ia kemudian berdiri hendak mengambil salah satu buku dari lemari itu. Raisa ingin menggapainya, tetapi letak bukunya terlalu tinggi. Ia kemudian mengambil kursi kayu yang tersedia di sana, lalu berdiri di atasnya untuk mengambil buku itu. Namun, sialnya, saat hendak turun, tiba-tiba kursi kayu itu berderit keras. Raisa oleng ke belakang. Bugh! Raisa terjatuh. Namun, anehnya ia merasa tak sakit sama sekali. Punggungnya baik-baik saja. Mata yang tadinya tertutup karena takut, perlahan terbuka. Raisa membelalakkan matanya. Ia memberontak ingin turun karena sadar kalau ia berada dalam gendongan ayah tirinya. Pria itu menurunkannya. Raisa menunduk dengan rambut tergerai menutupi wajahnya. Raisa merasa kalau saat ini ia ditatap intens oleh pria itu yang membuatnya sedikit takut, apalagi mengingat kejadian kelam di mana pria itu membantu ibunya untuk membuangnya. Raisa berharap semoga pria itu tak mengenalinya, sama seperti ibunya. Ia tak ingin rencananya gagal. "Siapa kamu? Kenapa kamu tiba-tiba ada di ruangan saya?" Suara itu terdengar tegas dan dingin.Pagi itu, Raisa bangun lebih pagi. Sebelum beranjak dari kasur, ia menoleh ke samping lebih dulu. Raisa melihat Gendis masih tertidur pulas. Matanya kemudian menangkap jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Masih terlalu dini untuk bangun. Akan tetapi, kalau Raisa sudah bangun, ia tidak bisa tidur lagi. Raisa perlahan turun dari kasur, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum Gendis bangun dan menyuruhnya buru-buru. Raisa mencuci muka di depan wastafel. Ia kemudian menatap pantulan dirinya. Kantong matanya terlihat menghitam, efek dari ia yang selalu begadang demi mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal dengan nenek dan kakeknya dulu. Sekarang, ia sudah bisa tidur lebih awal. Namun, rasanya sangat hampa. Ia merindukan kedua orang tua yang merawatnya dari kecil. Rasanya sesak setiap kali mengingat penderitaan hidupnya dulu. Sepiring nasi harus dibagi tiga dengan nenek dan kakeknya karena mereka tidak punya cukup uang untuk mem
Malam itu, setelah neneknya dimakamkan, Raisa duduk di depan rumah kecilnya dengan pipi yang masih basah oleh air mata. Tanpa nenek yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, duka masih mencengkeram hatinya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari rasa kehilangan. Di sampingnya, Gendis duduk dengan diam, membiarkan Raisa menangis sepuasnya. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan Gendis tahu betul luka di hati Raisa tidak bisa sembuh dalam sehari. “Kau masih punya aku, Raisa,” ujar Gendis akhirnya. “Dan kau masih punya tujuan yang belum kau selesaikan.” Raisa menoleh, menatap sahabatnya dengan mata sembab. “Apa maksudmu?” Gendis menarik napas panjang. “Ibumu.” Dada Raisa bergetar mendengar panggilan itu. “Jangan sebut dia ibuku,” katanya dingin. “Dia bukan siapa-siapa bagiku,” ujar Raisa dengan pandangan kosong menatap ke depan. Baginya, ibunya sudah lama mati. Semenjak ayahnya meninggal, Raisa tak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Orang yang tinggal di ru
Dua puluh tahun kemudian.Raisa tumbuh menjadi gadis cantik yang disukai banyak lelaki di kampungnya. Sudah banyak lelaki yang datang melamarnya, tetapi tak ada satu pun yang Raisa terima karena ia belum mau menikah. Padahal jika dilihat dari segi umur, sepantasnya Raisa sudah menikah.Umur Raisa sekarang sudah beranjak dua puluh enam tahun, tetapi ia belum memikirkan tentang pernikahan. Jika Raisa menikah, siapa yang akan merawat neneknya yang kini sedang jatuh sakit, sementara kakeknya sudah meninggal dua tahun yang lalu?Mereka hanya tinggal berdua sekarang. Belum tentu setelah Raisa menikah, suaminya mau ikut merawat neneknya. Jadi lebih baik Raisa menundanya lebih dulu. Fokus Raisa sekarang adalah mencari uang untuk membayar pengobatan neneknya.“Raisa, ayo kita berangkat!” Seorang gadis memanggil Raisa di depan rumahnya. Gadis itu duduk menunggu di atas motor maticnya.“Nek… Raisa berangkat dulu, ya!” pamitnya sambil menepuk pelan pundak neneknya yang tengah memejamkan mata.Nen
"Engh!" Gadis kecil itu melenguh, terbangun dari tidurnya."Aku di mana?" tanya Raisa yang masih setengah sadar, menatap sekelilingnya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar.Kedua matanya melotot kaget saat sadar kalau ia sekarang berada di tengah hutan seorang diri. Tidak ada ibunya, juga laki-laki itu."Ibu di mana?" ucapnya lirih, mengedarkan pandangannya mencari ibunya."Ibu...!" panggilnya sambil menyeret langkah meninggalkan tempat itu. "Ibu di mana? Raisa takut, Bu!"Gadis itu menangis ketakutan, melangkah tertatih menyusuri hutan mencari jalan keluar, terus memanggil ibunya.Ia berharap ibunya mendengar suaranya dan datang menolong. Namun hingga sore tiba, sang ibu tak kunjung datang menjemputnya.Raisa menyerah. Ia terduduk di atas tanah, dengan isak tangis yang tak kunjung reda.Raisa menekan dadanya kuat. Sesak! Sesak sekali sampai rasanya mau mati."Kenapa Ibu tega ninggalin Raisa di sini? Apa salah Raisa, Bu? Apa selama ini memang Ibu nggak pernah sayang sama Raisa, mak
"Hei, bangun!"Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan mengguncang putrinya yang masih terlelap dengan kasar."Engh…" Anak itu melenguh pelan, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil mengusap kedua matanya."Kemasi barang-barangmu, cepat!" suara ibunya meninggi, terdengar seperti perintah."Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanyanya bingung.Kenapa tiba-tiba disuruh mengemas barang? Apa mereka akan pergi liburan?Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Apa kita mau pergi liburan, Bu?" tanyanya penuh semangat, wajahnya berubah sumringah."Hmm…" Ibunya hanya mengangguk singkat.Dengan hati riang, anak itu segera turun dari ranjang, melangkah ke arah lemari, dan mengeluarkan tas serta baju-baju yang ingin dibawanya."Ibu tunggu di bawah," ujar sang ibu, lalu meninggalkan putrinya yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.Wanita itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri seorang pria yang duduk santai sambil memainkan ponselnya."Mobil uda