Dua puluh tahun kemudian.
Raisa tumbuh menjadi gadis cantik yang disukai banyak lelaki di kampungnya. Sudah banyak lelaki yang datang melamarnya, tetapi tak ada satu pun yang Raisa terima karena ia belum mau menikah. Padahal jika dilihat dari segi umur, sepantasnya Raisa sudah menikah.Umur Raisa sekarang sudah beranjak dua puluh enam tahun, tetapi ia belum memikirkan tentang pernikahan. Jika Raisa menikah, siapa yang akan merawat neneknya yang kini sedang jatuh sakit, sementara kakeknya sudah meninggal dua tahun yang lalu?
Mereka hanya tinggal berdua sekarang. Belum tentu setelah Raisa menikah, suaminya mau ikut merawat neneknya. Jadi lebih baik Raisa menundanya lebih dulu. Fokus Raisa sekarang adalah mencari uang untuk membayar pengobatan neneknya.
“Raisa, ayo kita berangkat!” Seorang gadis memanggil Raisa di depan rumahnya. Gadis itu duduk menunggu di atas motor maticnya.
“Nek… Raisa berangkat dulu, ya!” pamitnya sambil menepuk pelan pundak neneknya yang tengah memejamkan mata.
Nenek menganggukkan kepalanya pelan. “Hati-hati, ya, Nduk!” ucapnya dengan suara lirih.
“Kalau nenek haus, airnya sudah aku siapin di samping situ!” tunjuknya pada sebuah gelas berisi air dengan sedotan yang ia simpan di samping neneknya. “Nenek bisa, kan, ambil sendiri?” tanya Raisa, takut sang nenek tidak bisa mengambilnya, apalagi kondisi tubuhnya semakin melemah.
Sebenarnya Raisa tak tega meninggalkan neneknya di rumah sendirian, apalagi dalam kondisi sakit. Tapi Raisa terpaksa melakukannya karena jika ia tidak bekerja, dari mana ia bisa mendapatkan uang untuk membeli obat neneknya juga kebutuhan sehari-hari?
Melihat anggukan neneknya, Raisa pun kembali pamit. “Ya sudah, Raisa berangkat dulu kalau gitu. Assalamu’alaikum!” ucapnya sambil menyalami tangan neneknya, kemudian keluar dari rumah menghampiri Gendis yang telah menunggunya.
“Gimana keadaan nenek kamu?” tanya Gendis sambil memberikan sebuah helm pada Raisa.
“Masih gitu-gitu aja, nggak ada perubahan,” jawabnya dengan raut wajah sangat sedih.
Raisa sudah berupaya untuk kesembuhan neneknya. Setiap seminggu sekali ia membawa sang nenek check-up ke dokter. Tapi selama setahun neneknya sakit, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau neneknya itu akan sembuh.
Kata dokter, seharusnya Raisa membawanya ke rumah sakit di kota yang peralatannya lebih memadai. Tapi Raisa belum punya cukup uang untuk membawanya. Tabungannya masih sangat sedikit, jadi ia hanya bisa membelikan obat dan berharap akan ada keajaiban yang membuat neneknya sembuh.
“Sabar, ya. Aku yakin nenek bakal sembuh!” ucap Gendis sambil menepuk-nepuk pelan pundak Raisa.
Selama dua puluh tahun berteman dengan Raisa, Gendis sudah banyak tahu tentang kehidupan wanita itu, termasuk cerita ia dibuang oleh ibunya hingga ditemukan oleh kakek dan nenek yang merawatnya sampai sekarang. Banyak cacian yang Raisa dapat di lingkungannya, entah itu dari tetangga atau teman-teman sekolah mereka dulu. Namun, Raisa tetap sabar menghadapinya.
Raisa adalah wanita yang kuat karena mampu bertahan sampai sekarang. Jika itu Gendis, mungkin ia sudah lama meninggalkan kampung itu dan mencari kehidupan baru di tempat lain daripada harus mendengar cacian dan hinaan orang.
“Ayo kita berangkat!” ajak Gendis saat mereka sudah hampir terlambat setelah melihat waktu yang menunjukkan pukul lima sore.
Keduanya bekerja di sebuah warung makan sederhana yang letaknya lumayan jauh dari tempat mereka tinggal, mungkin sekitar satu jam lebih untuk sampai di sana. Warung itu buka dari pukul delapan pagi sampai pukul sepuluh malam. Tapi karena kerjanya per shift, Raisa dan Gendis masuk pada jam enam sore sampai jam sepuluh malam.
Tepat pukul enam sore mereka sampai di warung. Untungnya warung itu baru saja buka, jadi mereka tidak telat. Raisa segera berdiri di depan meja kasir dan menyambut beberapa pembeli yang mulai berdatangan.
Raisa cukup lelah malam ini karena pelanggan yang datang lebih banyak dari biasanya, sehingga mereka harus menambah jam kerja hingga jam sebelas malam.
“Maaf ya, merepotkan kalian. Tenang saja, kalian dapat bonus untuk tambahan kerjanya!” kata pemilik warung.
Raisa dan Gendis bersorak senang karena mereka mendapat tambahan gaji. Lumayan untuk menambah uang makan, apalagi Raisa sedang sangat membutuhkan uang.
“Kalau gitu kalian boleh pulang! Terima kasih atas kerja kerasnya!”
Raisa sampai di rumah tepat pukul dua belas malam. Dengan hati-hati ia membuka pintu dan berjalan pelan, takut membangunkan neneknya yang sudah tidur.
Raisa langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah itu, Raisa masuk ke kamar neneknya untuk mengecek keadaannya. Saat sampai di kamar, Raisa langsung duduk di samping neneknya. Ia mengambil tangan neneknya lalu mengusapnya dengan pelan.
Namun, ada hal aneh yang Raisa rasakan saat menyentuh tangan neneknya. Tangan itu terasa sangat dingin.
“Nenek…! Nenek bangun…!” Karena khawatir, Raisa mengguncang cepat bahu neneknya, berharap wanita itu akan membuka mata. Namun hasilnya nihil, tak ada pergerakan dari tubuh itu.
Apa yang Raisa takutkan akhirnya terjadi. Neneknya juga meninggalkannya, sama seperti kakeknya.
“Nenek, bangun! Jangan tinggalin Raisa!” Raisa berteriak histeris, memeluk tubuh neneknya yang sudah terbujur kaku.
***
Kring… kring…!
Gendis yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah langsung menghentikan laju motornya saat mendengar panggilan masuk di ponselnya.
“Halo, ada apa, Sa?”
“Hiks… hiks…” Hanya suara tangis Raisa yang terdengar. Gendis langsung khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.
“Kenapa nangis, Sa? Kamu nggak apa-apa, kan?”
Pertanyaan konyol. Sudah jelas pasti terjadi sesuatu dengan Raisa jika ia menangis. Gendis hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Nenek, Ndis… nenek udah nggak ada! Dia udah nyusul kakek, dia ninggalin aku sendirian!” tutur Raisa dengan tangis tak terbendung.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat menyakitkan. Kini ia benar-benar sendirian. Semua orang yang ia sayang telah meninggalkannya. Apa memang hidupnya harus semenyakitkan ini? Setelah dibuang oleh ibunya, kini neneknya juga ikut meninggalkannya. Sepertinya ia memang tidak diizinkan untuk bahagia.
Ia bertahan sampai saat ini karena nenek dan kakeknya selalu meyakinkannya kalau ia tidak sendirian, masih banyak yang menyayanginya. Tapi sekarang neneknya sudah tidak ada. Apa hidupnya akan tetap sama setelah ini?
Gendis segera mematikan panggilan, lalu memutar balik motornya ke arah rumah Raisa. Ia sungguh khawatir dengan keadaan wanita itu. Gendis takut Raisa nekat menyakiti dirinya sendiri, apalagi setelah mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut sahabatnya.
Untung saja ia belum jauh melewati rumah Raisa. Sekitar lima menit perjalanan, Gendis sudah sampai di sana. Ia segera masuk ke dalam rumah, menghampiri Raisa yang suaranya terdengar dari kamar neneknya.
Gendis jatuhkan lututnya di samping Raisa, lalu memeluk gadis itu. “Sabar ya, aku tahu kamu kuat! Nenek sekarang udah nggak sakit lagi. Aku yakin nenek udah bahagia di atas sana karena udah ketemu sama kakek.”
“Aku sendirian sekarang, Ndis. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi!”
“Masih ada aku! Aku sahabat kamu, Sa. Aku nggak bakal ninggalin kamu!” ucap Gendis meyakinkan Raisa bahwa ia akan terus bersama gadis itu.
Gendis sama halnya dengan Raisa, seorang anak yatim piatu. Bedanya, kedua orang tua Gendis sudah meninggal. Sejak umur enam tahun, ia menumpang hidup di rumah tantenya. Memang hidupnya tak semenyakitkan Raisa karena keluarga tantenya memperlakukannya dengan sangat baik. Tapi Gendis bisa merasakan perasaan Raisa, apalagi saat gadis itu dibuang oleh ibu kandungnya sendiri.
Gendis sudah berjanji pada dirinya sendiri, kalau ia akan terus di samping Raisa sampai kapan pun. Meski kelak mereka sama-sama menikah, Gendis akan selalu melindungi Raisa dari belakang. Ia akan menjamin kebahagiaan Raisa karena Raisa sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.
Perlahan, tangis Raisa mulai reda setelah ditenangkan oleh Gendis. Tak mudah baginya mengikhlaskan orang-orang yang disayanginya pergi. Tapi takdir Allah sudah berkata lain. Raisa tidak boleh menyalahkan kuasa-Nya.
“Bantuin aku urusin pemakaman nenek, ya, Dis…” katanya lirih dengan sisa air mata yang masih mengalir di pipinya.
Gendis menganggukkan kepalanya, kemudian melepas pelukannya. “Ya sudah, kamu tunggu di sini. Aku panggilin orang-orang dulu buat bantuin kita,” ucapnya sambil berlari keluar, mengetuk pintu rumah tetangga agar ada yang mau membantu.
Pagi itu, Raisa bangun lebih pagi. Sebelum beranjak dari kasur, ia menoleh ke samping lebih dulu. Raisa melihat Gendis masih tertidur pulas. Matanya kemudian menangkap jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Masih terlalu dini untuk bangun. Akan tetapi, kalau Raisa sudah bangun, ia tidak bisa tidur lagi. Raisa perlahan turun dari kasur, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum Gendis bangun dan menyuruhnya buru-buru. Raisa mencuci muka di depan wastafel. Ia kemudian menatap pantulan dirinya. Kantong matanya terlihat menghitam, efek dari ia yang selalu begadang demi mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal dengan nenek dan kakeknya dulu. Sekarang, ia sudah bisa tidur lebih awal. Namun, rasanya sangat hampa. Ia merindukan kedua orang tua yang merawatnya dari kecil. Rasanya sesak setiap kali mengingat penderitaan hidupnya dulu. Sepiring nasi harus dibagi tiga dengan nenek dan kakeknya karena mereka tidak punya cukup uang untuk mem
Malam itu, setelah neneknya dimakamkan, Raisa duduk di depan rumah kecilnya dengan pipi yang masih basah oleh air mata. Tanpa nenek yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, duka masih mencengkeram hatinya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari rasa kehilangan. Di sampingnya, Gendis duduk dengan diam, membiarkan Raisa menangis sepuasnya. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan Gendis tahu betul luka di hati Raisa tidak bisa sembuh dalam sehari. “Kau masih punya aku, Raisa,” ujar Gendis akhirnya. “Dan kau masih punya tujuan yang belum kau selesaikan.” Raisa menoleh, menatap sahabatnya dengan mata sembab. “Apa maksudmu?” Gendis menarik napas panjang. “Ibumu.” Dada Raisa bergetar mendengar panggilan itu. “Jangan sebut dia ibuku,” katanya dingin. “Dia bukan siapa-siapa bagiku,” ujar Raisa dengan pandangan kosong menatap ke depan. Baginya, ibunya sudah lama mati. Semenjak ayahnya meninggal, Raisa tak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Orang yang tinggal di ru
Dua puluh tahun kemudian.Raisa tumbuh menjadi gadis cantik yang disukai banyak lelaki di kampungnya. Sudah banyak lelaki yang datang melamarnya, tetapi tak ada satu pun yang Raisa terima karena ia belum mau menikah. Padahal jika dilihat dari segi umur, sepantasnya Raisa sudah menikah.Umur Raisa sekarang sudah beranjak dua puluh enam tahun, tetapi ia belum memikirkan tentang pernikahan. Jika Raisa menikah, siapa yang akan merawat neneknya yang kini sedang jatuh sakit, sementara kakeknya sudah meninggal dua tahun yang lalu?Mereka hanya tinggal berdua sekarang. Belum tentu setelah Raisa menikah, suaminya mau ikut merawat neneknya. Jadi lebih baik Raisa menundanya lebih dulu. Fokus Raisa sekarang adalah mencari uang untuk membayar pengobatan neneknya.“Raisa, ayo kita berangkat!” Seorang gadis memanggil Raisa di depan rumahnya. Gadis itu duduk menunggu di atas motor maticnya.“Nek… Raisa berangkat dulu, ya!” pamitnya sambil menepuk pelan pundak neneknya yang tengah memejamkan mata.Nen
"Engh!" Gadis kecil itu melenguh, terbangun dari tidurnya."Aku di mana?" tanya Raisa yang masih setengah sadar, menatap sekelilingnya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar.Kedua matanya melotot kaget saat sadar kalau ia sekarang berada di tengah hutan seorang diri. Tidak ada ibunya, juga laki-laki itu."Ibu di mana?" ucapnya lirih, mengedarkan pandangannya mencari ibunya."Ibu...!" panggilnya sambil menyeret langkah meninggalkan tempat itu. "Ibu di mana? Raisa takut, Bu!"Gadis itu menangis ketakutan, melangkah tertatih menyusuri hutan mencari jalan keluar, terus memanggil ibunya.Ia berharap ibunya mendengar suaranya dan datang menolong. Namun hingga sore tiba, sang ibu tak kunjung datang menjemputnya.Raisa menyerah. Ia terduduk di atas tanah, dengan isak tangis yang tak kunjung reda.Raisa menekan dadanya kuat. Sesak! Sesak sekali sampai rasanya mau mati."Kenapa Ibu tega ninggalin Raisa di sini? Apa salah Raisa, Bu? Apa selama ini memang Ibu nggak pernah sayang sama Raisa, mak
"Hei, bangun!"Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan mengguncang putrinya yang masih terlelap dengan kasar."Engh…" Anak itu melenguh pelan, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil mengusap kedua matanya."Kemasi barang-barangmu, cepat!" suara ibunya meninggi, terdengar seperti perintah."Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanyanya bingung.Kenapa tiba-tiba disuruh mengemas barang? Apa mereka akan pergi liburan?Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Apa kita mau pergi liburan, Bu?" tanyanya penuh semangat, wajahnya berubah sumringah."Hmm…" Ibunya hanya mengangguk singkat.Dengan hati riang, anak itu segera turun dari ranjang, melangkah ke arah lemari, dan mengeluarkan tas serta baju-baju yang ingin dibawanya."Ibu tunggu di bawah," ujar sang ibu, lalu meninggalkan putrinya yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.Wanita itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri seorang pria yang duduk santai sambil memainkan ponselnya."Mobil uda