Share

5. Membuat Candu

Author: MAMAZAN
last update Last Updated: 2025-06-12 17:08:17

“Elizaaa… Eliii… Eliza!” terdengar teriakan Kevin dari kejauhan, memanggil Eliza yang baru saja keluar dari butiknya.

Eliza berbalik, terkejut mendapati Kevin yang kini berdiri di depannya, napasnya sedikit terengah. "Eh, Kak! Ada apa, Kak?"

Kevin menatapnya tanpa basa-basi. "Aku antar kamu pulang," ucapnya singkat namun tegas.

Eliza sedikit bingung. "Loh, Kak, aku sudah pesan kendaraan lewat aplikasi, kok."

"Cancel aja. Tadi Angel nelpon, katanya kamu gak bawa kendaraan sendiri, jadi dia minta aku antar kamu pulang," jelas Kevin.

Eliza terkekeh, mencoba menolak dengan halus. “Aduh, Kak, gak apa-apa kok, masih jam delapan juga.”

“Kasian kan driver-nya kalau aku cancel. Dia udah ada di lobi parkiran depan,” Eliza mencoba membujuk Kevin agar mengurungkan niatnya.

Namun, Kevin hanya menarik tangan Eliza, tanpa memperdulikan protesnya. "Ke lobi depan, ‘kan?" tanyanya sambil melangkah.

“Uh… iya, Kak,” balas Eliza, mengikuti langkah Kevin yang kokoh menggenggam tangannya.

Sesampainya di lobi depan, Eliza melihat mobil yang telah ia pesan terparkir rapi. Ia menunjuknya kepada Kevin. "Kayaknya yang itu, Kak."

Kevin berjalan mendekati mobil tersebut, berbicara sejenak dengan pengemudi, lalu menyerahkan dua lembar uang merah. Setelah itu, ia kembali ke Eliza, meraih tangannya, dan membawanya pergi tanpa memberi penjelasan.

"Eh, eh… mau ke mana lagi, Kak? Kenapa babang driver aku pergi?" Eliza bertanya bingung, melihat mobil pesanannya menjauh.

“Sudah beres. Yuk pulang,” ucap Kevin dengan nada ringan sambil mengelus puncak kepalanya.

Eliza, yang mulai lelah berdebat, akhirnya pasrah. "Ya deh, kalau gitu,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Saat tiba di mobil, Kevin membukakan pintu untuk Eliza, lalu dengan lembut membantunya memasangkan sabuk pengaman. Kedekatan mereka membuat Eliza sedikit salah tingkah, ia bisa mencium aroma parfum maskulin Kevin yang menyegarkan, sementara Kevin menikmati aroma manis dari tubuh dan rambut Eliza yang harum.

“Eh, Kak?” tegur Eliza dengan gugup, menyadari betapa dekat posisi mereka.

Kevin segera tersadar, bangkit, dan memperbaiki posisinya sambil menyalakan mesin mobil. "Alamatnya?” tanyanya untuk memecah keheningan.

Setelah Eliza memberitahu alamatnya, Kevin memasukkan nama jalan di layar LCD mobilnya.

"Jadi, kendaraanmu ditinggal di kampus?" Kevin bertanya iseng, mencoba memecah keheningan lagi.

"Iya, Kak. Tadi Angel tiba-tiba jemput di kampus, minta ditemani makan siang, terus tiba-tiba lagi Kak Kevin nelpon ngajak makan siang juga, ya udah deh kita langsung ke mal," jawab Eliza panjang lebar.

Kevin tertawa kecil, "Jadi aku nih yang salah karena bikin kamu ninggalin kendaraan?”

Eliza tergelak, wajahnya langsung berubah panik. “Eh, bukan begitu maksudnya, Kak! Cuma… ya… kebetulan aja…”

Kevin tertawa melihat kepanikan Eliza, lalu mengacak rambutnya dengan gemas. “Bercanda aja, kok.”

“Ishhh, usil banget sih, Kak,” gumam Eliza sambil memanyunkan bibirnya, membuat Kevin tak bisa menahan senyum.

“Senyummu benar-benar candu, Eli,” gumam Kevin pelan, namun cukup keras untuk membuat Eliza tersipu dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menyembunyikan senyum yang mulai merekah di wajahnya.

Di tengah perjalanan, keduanya terdiam, namun keheningan itu terasa nyaman. Kevin merasa ada hal baru dalam hidupnya yang sederhana namun membuatnya penasaran, sementara Eliza hanya bisa tersenyum kecil, menikmati momen kebersamaan yang tak terduga.

Suasana terasa mulai mencair, Eliza tak lagi merasa canggung di hadapan Kevin. Percakapan mereka pun mengalir lancar, mulai dari obrolan seputar kampus hingga kapan Eliza pertama kali bersahabat dengan Angel, adik Kevin.

“Habis ini belok mana?” tanya Kevin sambil melihat sekitar perumahan.

“Belok kanan, terus rumah di sudut dengan pagar putih,” jawab Eliza memberikan arahan.

“Oke, sampai juga!” Kevin segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Eliza.

“Thanks ya, Kak!” ujar Eliza sambil tersenyum.

“Dengan senang hati,” balas Kevin, mempersilakan Eliza turun layaknya seorang putri.

“Masuk dulu, Kak?” tawar Eliza dengan basa-basi.

“Emang boleh?” Kevin mengangkat alis, menantangnya dengan santai.

“Eliza terdiam sejenak, lalu gelagapan. “Eh, boleh kok, Kak!”

Namun, di dalam rumah, Mama dan Papa Eliza tampak mengintip dari jendela kamar mereka, kepo melihat anak gadisnya diantar pria asing.

“Next time aja, besok kamu ke kampus jam berapa?” tanya Kevin dengan senyum lembut.

“Eliza tersenyum. “Sekitar jam delapan pagi, Kak.”

“Oke... Nitee, aku pulang dulu ya,” pamit Kevin, lalu masuk ke mobil dan melaju pergi.

Eliza pun segera masuk ke rumah dan membuka pintu.

Ceklek

“Astagfirullah, Mama, Papa! Ngapain di sini?” Eliza kaget mendapati kedua orang tuanya berdiri di balik pintu.

“Siapa yang nganterin kamu, Dek? Kendaraan kamu mana?” tanya Papa penasaran melihat putri bungsunya diantar pria asing.

“Itu Kakaknya Angel, Pa. Kendaraan Eliza ada di kampus,” jelas Eliza.

“Terus, kenapa Kakaknya Angel yang anterin kamu pulang?” sambung Mama, mulai kepo.

“Angel yang minta tolong, Ma. Soalnya tadi Eliza diculik buat nemenin makan siang bareng Kak Kevin,” jawab Eliza jujur.

“Ooh... jadi namanya Kak Kevin...” ujar Mama dan Papa serempak.

“Lihat, kan! Kepo banget!” Eliza terkikik geli melihat tingkah kedua orang tuanya.

“Adek, mau langsung masuk kamar ya, Ma, Pa. Nitee…” Eliza mengecup kedua pipi orang tuanya sebelum bergegas ke kamarnya yang bernuansa putih dan pink.

Setelah membersihkan diri, Eliza merebahkan diri di kasur empuknya. Ia meraih ponsel di atas nakas dan menelpon Angel.

“Halo…” jawab Angel.

“Halo beb…” sapa Eliza, sedikit bingung, mendengar tawa Angel di seberang.

“Kamu ngerjain aku ya, Njel?” sergah Eliza.

“Kerjain gimana, beb?” Angel pura-pura bodoh.

“Hmm... tuh, kan!” Eliza kesal.

“Iya, iya, maaf!” sahut Angel cepat, mendengar nada ngambek Eliza. “Bukan mau ngerjain juga sih, beb... aku cuma khawatir makanya minta Kak Kevin buat nganterin kamu pulang…” jelas Angel, tersenyum penuh arti yang tak terlihat oleh Eliza.

Padahal, Angel sengaja meminta sang Kakak menjemput Eliza dari butik dan mengantarnya pulang, dengan harapan Kak Kevin bisa PDKT dengan sahabatnya.

Angel bahkan memberi tahu Kevin kalau Eliza nggak bawa kendaraan dan harus pulang naik transportasi online sendiri.

Yang tidak Angel duga, Kevin langsung mematikan telepon begitu mendengar permintaannya, membuat Angel semakin yakin ada sesuatu antara kakaknya dan Eliza.

“Hmmm baiklah kalau begitu... makasih beb... hoammm...” Eliza mulai mengantuk.

“Ya udah... goodnite beb!” jawab Angel.

“Goodnite beb, have a lovely dream!” balas Angel sebelum menutup telepon.

Eliza yang sudah terlelap tak menyadari arti kata-kata terakhir Angel.

Drrzz... Drrzzzt...

"Halo, kenapa, Bro?" Kevin mengangkat telepon, melihat Leon yang meneleponnya.

"Di mana, Bro?" suara Leon terdengar di seberang.

"Lagi di jalan, Bro!" jawab Kevin santai.

"Nyusul sini, Bro!" ajak Leon ke klub milik Aldi.

"Ok, ok... on the way!" Kevin pun memacu mobilnya menuju klub X.

Dalam dua puluh menit, Kevin tiba di sana.

"Sini, Kev!" teriak Rikki dan Leon ketika melihat Kevin masuk.

"Ok, Bro!” sapa Kevin sambil menjatuhkan dirinya di sofa. Malam ini mereka tidak berada di ruang VVIP.

"Mana Aldi?" tanya Kevin, tak melihat sang pemilik klub.

"Biasa... di ruang VVIP," jawab Rikki sambil cekikikan.

"Hahahaha, ya udahlah!" Kevin ikut tertawa.

Tak lama kemudian, Aldi keluar dari ruang VVIP dengan seorang wanita. Riasan wajah wanita itu tampak pudar dan berantakan, sementara rambut dan pakaiannya tampak acak-acakan.

"Hey, Kev!" sapa Aldi ketika melihat Kevin.

"Hey, Bro!" balas Kevin singkat.

"Udah lama?" tanya Aldi lagi.

"Dari tadi pas lo masuk ke ruang VVIP!" jawab Leon bercanda.

"Hahaha!" Aldi tertawa sambil melirik wanita di sampingnya, lalu memberi isyarat agar wanita itu pergi.

Di tengah tawa dan canda mereka, Kevin merasa ada pergulatan di pikirannya. Selama dua hari ini, Eliza, gadis yang terus menghantui pikirannya, membuatnya ingin menyerah dan berhenti bertanya-tanya tentangnya. Namun, malam ini, semua keraguannya pada Aldi terbukti. Aldi ternyata masih sama seperti dulu.

"Ya sudahlah! Itu urusan mereka," gumam Kevin dalam hati, berniat untuk tak ambil pusing dengan hubungan antara Aldi dan Eliza.

Baginya, Eliza bukan tipe perempuan baik-baik.

"Eh, gimana, Bro? Goyangannya asik?" Rikki bertanya polos tanpa merasa bersalah sambil melirik ke arah wanita yang mulai menjauh.

Plak! Leon langsung menjitak kepala Rikki agar sadar dari pikiran mesumnya.

Aldi, Kevin, dan Leon tertawa terbahak-bahak melihat wajah Rikki yang kesakitan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   186. Part Tian Nita #29

    Part 186Edward menurunkan ponselnya, matanya melotot tajam menatap Tian. Rasa takut yang nyata kini menggantikan kesombongannya. Suaranya terdengar berat, penuh kepanikan yang tertahan."Apa yang kau lakukan pada Ayahku?!" teriak Edward, tubuhnya maju satu langkah, tapi nyalinya langsung menciut saat melihat tatapan membunuh dari mata Tian.Tian tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya memiringkan kepala, menyeringai angkuh. "Bukankah kau tadi bilang aku tidak punya hak untuk ikut campur, Edward?" Tian melangkah perlahan, mendekat ke Edward. "Sekarang, kurasa aku sudah memiliki semua hak itu. Ayahmu... ada di tangan orang-orangku."Nita memegang lengan Tian, terkejut dengan pengakuan itu. Tian memang CEO, tapi ia tidak menyangka Tian memiliki jaringan sejauh ini."Kau... kau tidak mungkin!" Edward menggeleng tak percaya, napasnya tersengal-sengal. Ia baru sadar, pria yang ia anggap remeh ini jauh lebih berbahaya dari semua musuh ayahnya."Aku bisa melakukan apa saja, Edward," bisik Ti

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   185. Part Tian Nita #28

    Part 185Sontak semua yang ada di ruangan terpusat pada Tian. Wajah Winston tampak tegang, sementara Edward membeku di tempatnya.Nita pun tidak paham apa maksud dari pembicaraan sang kekasih. Ia melihat ponsel Tian, merasa ada yang aneh. "Tian?" gumamnya, penuh tanya.Edward yang tadinya memasang wajah arogan, sempat tersentak dan membeku beberapa detik, hingga kembali ke kesadarannya. Ia menatap Tian dengan mata penuh kebencian dan kebingungan.Tian tersenyum lembut pada Nita, ia mengusap punggung Nita. "Kamu tidak perlu khawatir. Mulai sekarang biar aku yang bereskan cecunguk ini!" katanya, suaranya meyakinkan.Kemudian, Tian melihat ke arah Winston, berjalan mendekat sambil membawa serta Nita yang mengikutinya dari belakang."Ayah," panggil Tian dengan nada hormat. "Kamu tidak perlu khawatir. Sesuai janjiku, biar aku yang mengurusnya." Tian berhenti tepat di depan Winston, menatap ayah kekasihnya itu dengan mata penuh keyakinanWinston tersenyum hangat, sepertinya ia tidak salah m

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   184. Part Tian Nita #27

    Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang terbilang mewah, perusahaan milik Winston—ayah Nita. Dari luar saja, ketegangan sudah terasa. Dan benar saja, begitu mereka berada di lobi perusahaan, suasananya terasa begitu mencekam. Para staf hanya bisa berdiri di sudut-sudut ruangan, ketakutan, melihat beberapa petugas dari kantor pajak dan entah dari mana lagi berlalu-lalang, menggeledah setiap meja dan lemari arsip.Nita mengepalkan tangannya. "Sialan Edward!" umpatnya dalam hati."Sebaiknya kita langsung ke ruangan Ayah," usul Tian, matanya mengawasi keadaan sekitar dengan tenang. Ia tidak ingin Nita panik.Nita mengangguk, hatinya terasa sesak. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk."Tunjukkan ruangannya, sayang," sambung Tian, tangannya semakin erat menggenggam tangan Nita.Nita membalas genggaman Tian, seolah mencari kekuatan. Mereka berjalan cepat, melewati para staf yang menatap mereka dengan tatapan iba. Nita tahu, ayahnya sedang mengalami kesulitan, dan ini semua karena u

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   183. Part Tian Nita #26

    Part 183"Maaf, Tian..." Nita merasa bersalah akan pemikirannya yang picik. Ia yang terbiasa menyelesaikan segala urusannya sendiri pun tidak memikirkan perasaan Tian. Ia selalu berpikir, ia bisa mengatasi semuanya sendirian. Tapi, ia lupa, ia punya Tian sekarang.Tian tersenyum tipis, kelembutannya kembali terpancar di wajahnya. "Bukan masalah, sayang. Sekarang, apa pun yang ada di kehidupan kamu, libatkan aku. Jangan pernah merasa sendiri.""Terima kasih," Nita melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tian, masuk ke dalam dekapan pria itu. Menyandarkan kepalanya di dada bidang yang menenangkan. Ia bisa mendengar detak jantung Tian, yang terasa begitu damai.Tian bernapas lega, ia mengusap punggung Nita. "Aku akan selalu ada untukmu, Nita. Kita akan lalui ini bersama. Aku janji.""Hmm, aku percaya Tian," bisik Nita, suaranya mantap. Ia benar-benar yakin dengan pria di depannya ini.Tian mengurai pelukannya, menatap wajah Nita lekat. "Jadi, apa yang dilakukan pria berengsek itu?" tany

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   182. Part Tian Nita #25 (21+)

    Part 182Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut yang kini bergerak memainkan klitorisnya. "Ahh, sayang!" desahnya, suaranya parau karena gairah.Tubuhnya bereaksi terlalu kuat terhadap setiap sentuhan Ken. Rubi mendesah tak kuasa, "Sayang...""Iya, sayang?" sahut Ken, suaranya serak, sembari menjilati leher halus Rubi. Ia tahu, istrinya sudah berada di ambang batas.Rubi menahan tangan suaminya yang terus saja memainkan inti tubuhnya. "Tahan, sayang," ucap Rubi mendesis, suaranya penuh permohonan. Tiba-tiba tangannya merambat ke area sensitif suaminya, mengelus kejantanan Ken yang sudah menegang."Ugh, sayang!" Ken menggeram, sorot matanya penuh gairah saat jemari dan tangan lembut Rubi perlahan mengurut kejantanannya.Ken memejamkan mata, membiarkan Rubi mengambil kendali. Rubi, dengan senyum menggoda, membenamkan wajahnya. Membuka mulut dan menjulurkan lidahnya. "Uhm...""Dang! Sayang... Argghhh!" Ken menggeliat, ia menggeram menahan napas. Urat-urat di bagian bawahnya terasa

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   181. Part Tian Nita #24 (21+)

    Part 181Di Paris, pasangan pengantin baru yang seharusnya menikmati bulan madu mereka malah sedang asyik menelpon dengan Margareth. Keduanya, yang tanpa henti saling bercumbu tadi, tertawa keras mendengar cerita yang keluar dari ponsel."Seriously, Mam?" tanya Rubi tidak percaya. Ia memeluk erat Ken, suaminya."Ya, sayang. Mami juga terkejut," balas Margareth dari seberang telepon. "Mereka tidak bisa diam, saling ejek seperti dulu, tapi sekarang ada kata 'sayang' dan 'kamu' di tengah-tengahnya.""Jadi, di mana mereka berdua sekarang?" tanya Ken, yang ikut bergabung dalam percakapan itu. Ia duduk di samping Rubi dan memeluk istrinya."Lagi main rumah-rumahan dengan Celina," jawab Margareth, menahan tawa gelinya.Ken dan Rubi saling melempar pandangan tidak paham. "Maksud Mam?" tanya Ken.Margareth menghela napas, "Yah... mereka sedang gladi menjadi seorang Papa dan Mama."Seketika tawa Ken meledak. "Oh, dang! Seorang Tian? Tian?" Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Pria sedin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status