Share

Bab 6

"Bagus lah kalau tahu diri, hanya mengingatkan saja. Ini tetap kamarku, dan kamu bisa kembali lagi ke kamarmu setelah mami pulang," ucap Rasnya selalu seenaknya. Seakan tidak pernah menganggap Ruma sedikit pun.

Gadis itu tidak menjawab lagi. Sebenarnya dia sangat lelah dan butuh istirahat segera. Namun, rasanya tidak pantas kalau tidak menemui mertuanya yang sudah menyempatkan ke rumahnya. Apalagi beliau orangnya juga sangat baik.

"Temui mami, berbaik hatilah kamu dan jangan sampai beliau tahu tentang hubungan kita," kata Rasya mewanti-wanti.

Dia selalu mengajarkan Ruma untuk berbohong pada ibunya. Bersikap seolah hubungan mereka normal seperti pasangan lainnya. Padahal tidak sama sekali, semua hanya pencitraan di depan keluarganya saja.

Ruma keluar kamar setelah beres mandi. Dia menemui mertuanya yang sudah datang sejak setengah jam lalu.

"Assalamu'alaikum Mi," sapa Ruma santun. Seperti biasa, menyalim takzim beliau.

"Kamu apa kabar Rum, baru saja pulang ya?"

"Baik Mi, iya, Mami mau minum apa?"

"Nanti saja gampang mami ambil sendiri. Kamu kelihatannya lelah."

"Enggak kok Mi, sebentar," jawabnya berlalu. Beranjak ke dapur untuk membuatkan minum. Disusul Rasya tiba-tiba.

"Ingat ya Ruma, jangan cerita yang aneh-aneh. Awas kamu kalau sampai berani mengatakannya," ancam Rasya menghentikan aktivitas Ruma sejenak.

"Kenapa takut sekali Mas, bukankah memang hubungan kita seperti ini. Kalau kamu merasa lelah bisa kok kita berhenti berpura-pura lagi," kata Ruma lama-lama malas juga.

Setahun Ruma bersabar, meraih cinta suami yang nyatanya masih terpaut dengan orang lain. Dia harus menjaga perasaan ibunya. Sementara perasaan dirinya, peduli juga nggak.

"Jangan banyak tingkah, kamu mau kedua orang tua geger. Mami itu punya riwayat jantung. Bisa anfal dia kalau denger yang tidak-tidak. Jadi, kerja sama lah yang baik," pesan pria itu menyebalkan sekali.

Selama ini Ruma diam, membiarkan Mas Rasya terus bersikap demikian. Setahun rasanya sudah cukup Ruma terus mengalah. Sudah saatnya dia melepaskan orang yang tidak pernah bisa menghargai dirinya sama sekali. Hanya karena dia calon seorang dokter, mau menikah demi menjaga amanah papinya. Karena sejatinya Rasya sama sekali tidak mencintai Ruma. Dia mencintai perempuan lain yang tidak pernah direstui kedua orang tuanya.

Gadis itu berjalan tertata menuju ruang keluarga menjamu ibu. Mempersilahkan mertuanya untuk menikmati kudapan yang sudah tersaji.

"Minum Mi, maaf, tidak tahu kalau Mami mau datang, jadi nggak persiapan," kata Ruma sembari menaruh teh hangat di meja.

"Santai saja Rum, mami di sini mau lama. Semingguan, biar kangen mami terobati."

"Seminggu Mi?" tanya Rasya jelas merasa keberatan. Bukankah itu terlalu lama, bagaimana ceritanya kalau Mami menginap seminggu.

"Iya, memangnya kenapa? Kok ekspresi wajah kamu kaya nggak suka gitu mami mau nginep di sini. Takut mengganggu keromantisan kalian ya. Tenang saja Rasya, mami tidak akan mengurangi keromantisan kalian kok. Mami malah pingin kalian segera punya anak."

"Mami, Ruma ini masih sangat muda dan tengah sibuk-sibuknya memikirkan karirnya. Jadi, jangan berharap dulu. Kita juga santai kok Mi."

"Mami tahu, tapi mami ini sudah tua. Kodrat wanita kan ya emang begitu. Tidak apa kalau dikasih cepat, jangan menundanya ya," ucap Mami membuat Ruma diam.

Sejenak perempuan itu kepikiran, bagaimana kalau dia hamil atas insiden itu. Sedang Rasya justru belum pernah menyentuhnya. Apakah dia harus merayu suaminya agar menyentuhnya. Terus, kalau Rasya mempertanyakan hal itu. Bagaimana Ruma menjawabnya. Mendadak wanita itu kepikiran.

"Rum, Ruma? Capek banget ya sampai melamun gini?" tegur Mami.

"Eh, maaf Mi," ujar gadis itu tergeragap. Selain lelah, dia juga mengantuk sebenarnya. Hanya saja, segan untuk meninggalkan ruangan itu.

"Kalau capek istirahat saja, jangan dipaksain. Lagian baru pulang pasti lelah. Sudah sana masuk kamar!" titah Mami melihat menantunya sepertinya lelah.

"Terima kasih Mi, Ruma ke kamar dulu," ucap wanita itu pamit.

"Kamu nggak makan?" tanya Rasya mengingatkan.

"Sudah tadi Mas, masih kenyang. Mas temani mami saja," sahut Ruma lalu beranjak.

Dia langsung ke kamar untuk istirahat. Selang satu jam kemudian, Rasya baru menyusul ke kamar. Dia melihat Ruma yang sudah menempati sofa. Seketika Rasya merasa lega.

Pria itu baru saja hendak merebah. Tetiba handphonenya berdering pertanda ada panggilan masuk. Ia langsung menilik ponselnya. Wajahnya tersenyum melihat siapa yang menghubunginya.

"Mas, aku sedari tadi nungguin, apa kamu lupa," rengek perempuan di sebrang sana. Kekasih Rasya menelponnya dengan manja.

"Maaf sayang, malam ini aku tidak bisa keluar. Ada mami aku di rumah," adu pria itu setengah berbisik.

"Lah, kalian tidur bareng dong. Pokoknya awas kamu ya Mas, sampai berani sentuh Ruma. Aku udah capek-capek nungguin kamu," ujar perempuan itu mengomel.

"Nggak kok, dia udah tidur di sofa. Mana aku doyan perempuan kaya dia. Jangn khawatir, kalau tahu Ruma tidak hamil, dan tidak akan pernah hamil pastinya. Nanti lama-lama juga pasti mami nyerah. Itu saat yang tepat aku menceraikannya. Kamu yang sabar ya, sekarang lagi berjuang dulu."

"Jadi, ini beneran nggak bisa datang? Duh ... mana aku lagi kangen berat juga."

"Sabar dong sayang, besok kita bisa ketemu sepuasnya," ujarnya manis. Mereka menutup panggilan itu setelah puas mengobrol.

Rasya sebenarnya ingin sekali keluar. Dia juga tahu istrinya yang kelelahan itu sudah tertidur. Pasti tidak akan notice juga kalau dia keluar. Namun, perkara ibu bisa berbahaya juga kalau sampai tahu. Pria itu pun tahan-tahan sampai esok harinya.

Barulah setelah hari berganti, dia bisa saja alasan pulang terlambat seperti biasanya. Aman, maminya yang cerewet itu pasti tidak akan banyak komentar.

Pagi harinya, Ruma sudah bangun di awal waktu seperti biasa. Dia berangkat pagi ini di jam normal orang bekerja. Mereka menyempatkan sarapan bersama, lalu berangkat dengan kendaraan masing-masing.

Ruma sibuk di rumah sakit sampai sore. Kebetulan dia memang tengah tugas jaga di poli IGD.

"Koas, pasien laka lantas di bilik satu, baru masuk!" seru seorang perawat menginterupsi.

"Siap Kak," jawab wanita itu langsung memeriksanya.

Dia tertegun saat melihat ada Rasya juga di sana. Menemani seorang perempuan yang sepertinya sangat dikhawatirkanya.

"Dokter, sakit ini," keluh perempuan itu tak sabaran.

Ruma langsung memeriksa pasien yang mengalami luka pada kakinya. Rupanya wanita itu jatuh dari motor.

"Mas, mau ke mana, sini saja jangan tinggalin," rengeknya manja. Pasien bernama Rina ini sepertinya tahu kalau Ruma adalah istrinya Rasya. Jadi, dia sengaja bersikap demikian untuk mendapatkan simpati lebih darinya.

"Sebentar, aku harus mengurus administrasi kedatangan kamu dulu," ujar Rasya beranjak.

Pria itu keluar, hal yang sangat kebetulan karena bisa bertemu dengan sahabatnya.

"Raja!" seru Rasya dengan akrabnya.

"Rasya! Hai Bro? Siapa yang sakit? Tumben di sini?"

"Mas! Mas!" panggil Rina dari dalam. Membuat atensi Raja teralihkan.

"Istrinya yang sakit?" tanya Raja spontan.

"Hmm ... dia baru jatuh dari motor. Gue mau urus pendaftaran dulu."

"Sudah ada dokter yang menangani? Parah?"

"Iya, sedang dalam pemeriksaan. Semoga saja tidak. Lama tidak bertemu, apa kabar?"

"Baik, alhamdulillah. Iya lama, apa kabar teman-teman. Kami lepas kontak."

"Sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Dengar-dengar mau nikah. Semoga dilancarkan, undangannya belum sampai loh."

"Ya, baru rencana. Aamiin ... maaf banget waktu itu nggak sempat datang karena suatu hal."

"Tidak apa, ya tahu, kamu pasti sangat sibuk di rumah sakit sebesar ini."

Lantaran terdengar nada marah-marah di ruang UGD. Raja sampai masuk untuk mengkondisikan pasien.

"Ada apa ini?" tanya Raja langsung mendekat. Pasien baru masuk itu sangat berisik dan rewel. Membuat Ruma menekan sabar banyak-banyak.

"Dokter Raja, dia tidak mau disuntik Dok, padahal saya harus menjahit lukanya biar tidak sakit," adu Ruma sungguh pasien satu ini menyebalkan sekali.

Rasya ikut masuk setelah menyelesaikan pendaftaran.

"Mas, kamu kan tahu aku takut jarum suntik. Emang tidak bisa bius selain suntik," keluhnya dengan nada manja.

"Udah, nggak pa-pa kok, jangan takut, aku kan di sini. Lukanya harus ditutup, kamu bakalan kesakitan," bujuk Rasya penuh perhatian.

Rasanya Ruma ingin sekali keluar dari bilik itu. Dadanya mendadak sesak melihat kelakuan dua orang di depannya.

Raja yang sekilas memperhatikan Ruma pergi begitu saja. Merasa dia sangat tidak berkompeten sekali dalam menghadapi pasien.

"Mau ke mana? Bukankah seharusnya tetap melayani pasien?"

"Jam kerja saya hanya sampai sore Dok, ganti shif," kata Ruma memang seharusnya menyelesaikan pemeriksaan terakhir. Jelas itu membuat penilaian kinerja Ruma tidak baik.

"Siapa dokter pembimbing kamu?"

"Kenapa?"

Comments (13)
goodnovel comment avatar
ramadhaniyulia
Rasya temannya Raja...wow it's so complicated
goodnovel comment avatar
Duma Candrakasi Harahap
duch raja jgn salah menilai ruma dong
goodnovel comment avatar
Dwi MaRITA
walo nggak da rasa.... wanita mana cobk yg nggak syakit hati, liat pak su meserah²an dg valakor... .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status