Beranda / Romansa / Sentuhan Panas Editorku / Rencana absurt Pak CEO

Share

Rencana absurt Pak CEO

Penulis: Risya Petrova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-28 17:54:25

Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan.

Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah.

"Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens."

Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun.

Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan.

Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut meja besar Wildan. Di antara tumpukan manuskrip, ia melihat bingkai foto kecil.

Rasa penasaran mengalahkan kehati-hatian. Ia berdiri dan mendekati meja itu. Di dalam bingkai perak minimalis, ada foto Wildan sedang tersenyum tulus, memeluk seorang balita gembul. Balita itu tertawa, menunjukkan dua gigi seri pertamanya. Senyum itu adalah senyum hangat seorang ayah yang penuh kasih, jauh dari citra editor arogan dan berlidah tajam.

“Oh, jadi dia punya anak,” bisik Meysa, tiba-tiba merasa bersalah karena fantasi romantis konyol yang sempat terlintas di benaknya kini luruh. Statusnya jelas: suami dan ayah. Pria terlarang yang paling harus ia hindari.

Tepat saat ia hendak meletakkan kembali bingkai foto itu persis di tempatnya semula, pintu terbuka dengan suara derit yang tajam.

“Meja itu bukan untuk dijamah.”

Meysa tersentak. Wildan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja abu muda yang tampak sempurna. Wajahnya menunjukkan ekspresi datar dan dingin yang tak terbantahkan.

"Aku ... Aku disuruh stafmu menunggu di sini," jelas Meysa, suaranya sedikit tercekat karena tertangkap basah. "Aku hanya melihat foto ini. Anakmu?"

Wildan menutup pintu, berjalan santai menuju meja. Gerakannya minim, namun setiap langkahnya terasa dominan. Ia mengambil bingkai foto itu tanpa ekspresi, menatapnya sekilas, lalu memutar bingkai itu membelakangi Meysa, seolah melindungi privasinya.

"Itu privasiku. Urus pekerjaanmu," balas Wildan pendek, dingin, mengakhiri semua pembahasan pribadi.

Meysa mengangkat dagunya. "Baik. Aku sudah siapkan revisi Bab 1 Season 2. Aku ubah deskripsi hujan menjadi gairah membara, seperti yang kamu minta."

Wildan duduk, menarik lembar print-out revisi Meysa tanpa basa-basi. Ia mulai membaca cepat. Meysa menunggunya dengan napas tertahan. Setiap detik keheningan terasa seperti hukuman.

Setelah selesai, Wildan meletakkan kertas itu dengan suara keras. "Bagus. Kamu mulai belajar. Gairah itu terasa. Tapi terlalu clean. Kita akan polish ini lagi nanti. Sekarang, ada hal yang lebih penting."

"Apa?" tanya Meysa.

Wildan berdiri, berjalan ke arah pintu. "CEO PenaKata, Pak Adam, ingin bicara denganmu secara langsung. Soal proyek ini."

"Hah? CEO? Kenapa?" Jantung Meysa berdebar-debar liar di dadanya.

Wildan membuka pintu. “Seluruh kantor sudah tahu betapa besarnya potensi Kehangatan Rudal Paman Mantanku dan adaptasi drama series yang diminta ViewMax. Kamu adalah aset terbesar PenaKata saat ini. Sepertinya ada rencana tambahan. Ini ide langsung dari CEO untuk kita.”

“Untuk kita?” Kening Meysa berkerut dalam.

Wildan menoleh, tatapannya tajam. "Ya. Untuk kita. Jangan buang waktu, Pak Adam sangat sibuk. Ayo."

***

Mereka berjalan menuju ruangan CEO. Ruangan Pak Adam adalah kebalikan total dari ruang kerja Wildan. Luas, dipenuhi tanaman, dan ada lukisan-lukisan abstrak mahal.

Adam Sanjaya, pria berusia lima puluhan dengan rambut beruban rapi dan mata ramah, menyambut Meysa dengan senyum hangat.

"Ah, Meysa! Akhirnya kita bertemu. Selamat. Saya sangat bangga padamu," ucap Pak Adam, menjabat tangan Meysa dengan antusias. "Novelmu membuat sejarah kecil di platform kami."

"Terima kasih, Pak Adam," jawab Meysa sembari tersenyum kaku, merasa sedikit canggung.

Mereka duduk. Wildan diam di samping Meysa, membiarkan CEO berbicara.

"Baiklah. Langsung saja ke intinya," kata Pak Adam, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Saya panggil kamu, Meysa, untuk memastikan kamu sudah paham betul tentang kontrak eksklusif yang kamu tandatangani. Jika novel diadaptasi oleh pihak ketiga seperti ViewMax, royalti dibagi dua: untuk kamu dan untuk platform PenaKata yang menangani adaptasinya."

Meysa mengangguk. "Aku paham, Pak. Aku sudah baca kontraknya."

"Bagus. Yang kedua, dan ini bagian yang paling krusial, adalah kerja sama tim," lanjut Pak Adam, menatap bergantian antara Meysa dan Wildan. "Wildan adalah aset terbaik kami, dan dia punya rekam jejak yang fantastis. Dia yang mengubah 'kopi yang menguap' menjadi 'rudal yang meledak', bukan?"

Meysa menahan diri untuk tidak mendecak kesal.

"Untuk memastikan kalian berdua bisa bekerja secara maksimal dan benar-benar fokus menciptakan mahakarya yang fantastis untuk Season 2, kita harus melangkah lebih jauh. Kita harus menciptakan momentum kreatif tanpa gangguan," ucap Pak Adam, tersenyum misterius.

"Maksud Bapak?" tanya Meysa, mulai merasa firasat buruk. Wildan di sebelahnya hanya diam, ekspresinya tidak terbaca.

"Sederhana," jawab Pak Adam. "Kalian berdua akan tinggal di vila saya yang lain. Itu jauh dari keramaian, di Puncak. Lingkungannya hening dan nyaman. Saya yakin, dengan full immersion di lingkungan yang inspiratif, kalian akan menghasilkan naskah Season 2 yang akan lebih meledak di awal tahun 2026! Ini adalah retreat kreatif mendesak yang wajib kalian jalani."

“Apa? Aku harus tinggal berdua di viilla bersama Wildan?”

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Panas Editorku   Menuju Villa

    Meysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus

  • Sentuhan Panas Editorku   Ancaman sang Mantan

    Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara

  • Sentuhan Panas Editorku   Rencana absurt Pak CEO

    Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej

  • Sentuhan Panas Editorku   Pria terlarang

    [Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na

  • Sentuhan Panas Editorku   Editor yang menyebalkan

    “Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k

  • Sentuhan Panas Editorku   Kehangatan Rudal Paman Mantanku

    “Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status