Share

Bab 2

Author: Nabila Ara
last update Last Updated: 2025-08-11 13:50:50

“Pa-Papa, kita mau ke mana?” Rose sudah berpikiran buruk tentang Arthur. “Nggak. Aku nggak mau!”

Arthur hanya tertawa melihat tingkah aneh Rose.

Sepertinya, dia sadar kalau kejadian malam itu membuat dia dan menantunya sedikit canggung. “Kita hanya ke pesta ulang tahun temanku, Rose. Aku berencana membuatkan gaun yang mewah untukmu.”

“Kenapa harus aku? Biasanya, Papa minta ditemani Mas Ken.” Rose mengernyitkan dahi. “Apa Mas Ken sesibuk itu sampai harus aku yang jadi penggantinya Mas Ken?”

Wajah Arthur langsung dingin begitu mendengar Rose memanggil asisten pribadinya dengan sebutan Mas.

“Ken sibuk. Besok pagi dia baru bisa ditemui,” ketus Arthur.

Setelah mendengar itu, Rose langsung keluar dari ruangan gym.

Dari balik bayang-bayang matahari pagi, Arthur memandang Rose dengan tatapan yang sulit diartikan.

Bi Arum kemudian menemani Rose sarapan di ruang tengah.

Rose cerita tentang kondisi psikisnya yang akhir-akhir ini tidak stabil.

Bi Arum lantas menyarankan Rose pergi ke psikiater, tapi Rose terus-terusan menolak.

“Apa aku harus memberitahu Tuan Arthur tentang ini?” Bi Arum coba mengancam.

Dia bukannya ingin membela Arthur, tapi dia khawatir dengan kondisi Rose.

Pasalnya, selama enam bulan ini, Rose sering membantunya.

Dari sikap Rose, Bi Arum tahu, dia bukan wanita sosialita.

Cara gadis itu belajar memasak, mencuci, hingga menemaninya belanja, cukup menjadi bukti bahwa Rose ingin menjadi istri yang baik.

Sayang, Zumi menyia-nyiakannya begitu saja.

Ah, andai Rose menikah dengan Arthur, bukan Zumi, pasti hidup Rose sangat bahagia.

Bi Arum terus memikirkan itu.

Pasalnya, selama 20 tahun bekerja di sini, dia tahu betul sikap Arthur yang sangat perhatian.

Bahkan, kepada dirinya yang hanya seorang pembantu, Arthur merenovasi rumahnya dan menyediakannya supir pribadi andai Bi Arum ingin pulang kampung sewaktu-waktu.

“Aku tidak tahu psikiater di mana, Bi.” Ucapan Bi Arum tadi membuat Rose luluh.

Dia sendiri sadar, kejiawaannya semakin terguncang semenjak Zumi pergi ke Sydney. “Aku mau pergi, tapi Bi Arum harus ikut.”

Siang itu juga, mereka pergi ke psikiater.

Saat menceritakan keluhan, Rose mengatakan kalau dia merasa stress pasca Zumi tidak lagi memberi kabar.

Pelampiasannya hanya pada nafsu.

Dia hanya ingat kenangan terindahnya bersama Zumi saat malam pertama.

“Berapa lama Nona Rose sudah melakukan ini?” Pertanyaan dokter Sasa, agaknya membuat Rose kurang nyaman.

Sang dokter tahu, adanya Bi Arum menjadi penghalang pasiennya dalam menceritakan keluhan.

Bi Arum yang sadar, keluar dari ruangan dan menunggu di lobby.

Saat itu juga, Rose membuka semuanya.

Mulai dari kekhawatiran berlebihan seputar kondisi Zumi, hingga paranoid bahwa dia dicampakkan oleh laki-laki itu.

Rupanya, Rose diam-diam menaruh hati karena Arthur yang perhatian.

Fenomena ini membuat Dokter Sasa heran mengingat Arthur adalah ayahnya Zumi. “Ini tabu. Kalian tidak boleh berhubungan atau anak kalian–”

“Papa angkat,” pungkas Rose. “Aku baru tahu fakta itu sehari sebelum Zumi meninggalkanku.”

Dokter Sasa kemudian lanjut berbincang dengan Rose untuk mengetahui detil yang terjadi.

Mulanya, Dokter Sasa mengira Rose hanya mengalami kecemasan berlebih akibat ditinggal Zumi ke Sydney.

Semakin dalam Rose cerita, dokter semakin sadar kalau ada kelainan seksual pada diri Rose.

Nymphomania.

“Aku tidak perlu menjelaskan panjang-lebar masalah ini. Yang terpenting, Nona tidak boleh cemas berlebih agar gejalanya tidak semakin gawat. Nona masih masuk tahap awal gejala Nymphomania dan tidak perlu mengonsumsi obat-obatan sementara waktu. Cukup berpikir positif dan sering menghibur diri saja.” Dokter Sasa coba menyembunyikan kekhawatirannya karena dua hal.

Pertama, Rose menderita penyakit tersebut dan ada kemungkinan terjadi hubungan yang tidak diharapkan.

Kedua, yang terparah, Rose selama ini bukan membayangkan Zumi, tetapi Arthur.

Rose menderita kelainan ini karena sulit untuk mengendalikan gairah seksualnya.

Ada atau tidaknya kesempatan, ia selalu memikirkan dan ingin berhubungan seks dengan orang lain yang menurutnya menarik.

Ini dilatarbelakangi oleh kecemasan berlebih dan sering menjadikan hubugan intim sebagai pelarian, terutama di kala cemas, stres, dan kesepian.

Zumi yang pergi, menuntut Rose untuk bermain sendiri.

“Jadi, kejiwaanku masih aman, Dok?” Rose mengernyitkan dahi.

Dia tidak mengerti maksud kata-kata Dokter Sasa tadi.

“Selama pikiranmu terkontrol, tidak cemas berlebih, dan tidak memikirkan hal-hal yang tidak wajar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Rose yang meninggalkan ruangan Dokter Sasa, menghampiri Bi Arum dan menceritakan apa yang dikatakan Dokter Sasa tadi.

Bi Arum tentu mengangguk karena dia tidak tahu-menahu dunia medis.

Dia lantas mengajak Rose pergi ke butik langganan Arthur untuk melihat tiga model gaun yang sudah disiapkan untuk pesta malam nanti.

***

Rose sudah sudah siap dengan gaun bewarna hitam.

Gaun dengan model kemban dan ada belahan yang cukup tinggi sehingga menampakkan kaki jenjangnya.

Rose mengaplikasikan make up tipis di wajahnya sehingga membuat wajahnya semakin cantik.

Dia buru-buru keluar dari kamar karena takut Arthur lama menunggu.

Begitu tiba di lantai satu, Rose terpesona dengan penampilan Arthur yang menggunakan tuxedo hitam, celana levis, dengan rambut disisir rapi ke kanan.

Modis seperti ala-ala CEO muda tampan meski usianya sudah tidak muda lagi.

Arthur pun sama, langsung terpesona dengan Rose malam ini.

Melihat Rose menggunakan gaun hitam yang sangat pas di tubuh Rose, membuat hasratnya bergejolak. Arthur mendekati Rose dan berbisik di telinga Rose, “Rose, kamu cantik sekali malam ini.”

Rose manahan napasnya saat Arthur berbisik di telinganya.

Arthur tersenyum tipis melihat ekspresi Rose, “Ayo kita berangkat sekarang.”

“Baik, Pa.”

Arthur dan Rose berangkat menuju hotel dimana acara ulang tahun teman Arthur.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, mereka tiba di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta.

Arthur dan Rose langsung keluar dari dalam mobil.

Sebelum masuk ke dalam lobbi, Arthur memberikan kunci pada valet.

Arthur memberi kode pada Rose supaya mengandeng lengan Arthur.

Banyak mata langsung memandang Arthur dan Rose saat mereka masuk ke dalam ballroom hotel.

Banyak bisik-bisik yang membicarakan tentang mereka.

“Duda most wanted sudah mengandeng wanita.”

“Siapa wanita cantik itu.”

“Ternyata selera tuan Arthur adalah daun muda. Pantas saja dia betah menduda dalam waktu yang lama.”

“Mereka sangat serasi.”

Di saat banyak orang yang memuji Arthur dan Rose, ada satu wanita yang diam sambil mengepalkan tangannya.

Hatinya panas karena laki-laki yang sudah lama dia incar saat ini sedang bersama wanita muda dan cantik.

Dia adalah Jessica, rekan bisnis Arthur yang dulu pernah menjalin kerjasama tapi karena satu hal, Arthur memutuskan kerjasama mereka.

“Aku harus cari tahu siapa wanita itu. Arthur milikku, hanya milikku. Takkan kubiarkan wanita bodoh itu bisa mendapatkan hati Arthur!” Jessica yang sudah menyiapkan obat perangsang untuk Arthur, langsung menyiapkan rencana baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 72

    Ken dan AlanaBasement gedung kantor terasa lebih dingin daripada biasanya.Suara hujan dari atas semakin terdengar keras, seperti menabrak seluruh struktur bangunan.Ken berjalan sedikit di depan, sesekali menoleh memastikan Alana masih mengikutinya.Alana memeluk tasnya erat-erat, langkahnya pelan karena takut terpeleset di lantai parkiran yang sedikit lembap.“Pelan-pelan aja, Al. Lantainya licin,” ujar Ken tanpa menoleh.Alana mengangguk meski Ken tidak melihatnya. “Iya… aku tahu.”Tapi beberapa detik kemudian seperti sudah bisa ditebak Alana terpeleset kecil karena menginjak genangan tipis. Tubuhnya oleng ke samping.Refleks, Ken meraih lengannya. “Hei! Hati-hati.”Alana hampir melekat di dada Ken saking dekatnya jarak mereka.Wajah Alana langsungmemerah. “Maaf…”Ken mendengus pelan namunnya masih memegang lengan Alana “Aku suruh hati-hati juga nggak didengerin.”Nada Ken terdengar ketus. Tapi dari matanya tampak benar-benar khawatir.“…Kamu marah?” tanya Alana pelan.Ken melepas

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 71

    Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 70

    Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 69

    Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 68

    Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 67

    Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status