“Pa-Papa, kita mau ke mana?” Rose sudah berpikiran buruk tentang Arthur. “Nggak. Aku nggak mau!”
Arthur hanya tertawa melihat tingkah aneh Rose. Sepertinya, dia sadar kalau kejadian malam itu membuat dia dan menantunya sedikit canggung. “Kita hanya ke pesta ulang tahun temanku, Rose. Aku berencana membuatkan gaun yang mewah untukmu.”
“Kenapa harus aku? Biasanya, Papa minta ditemani Mas Ken.” Rose mengernyitkan dahi. “Apa Mas Ken sesibuk itu sampai harus aku yang jadi penggantinya Mas Ken?”
Wajah Arthur langsung dingin begitu mendengar Rose memanggil asisten pribadinya dengan sebutan Mas.
“Ken sibuk. Besok pagi dia baru bisa ditemui,” ketus Arthur. Setelah mendengar itu, Rose langsung keluar dari ruangan gym. Dari balik bayang-bayang matahari pagi, Arthur memandang Rose dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bi Arum kemudian menemani Rose sarapan di ruang tengah. Rose cerita tentang kondisi psikisnya yang akhir-akhir ini tidak stabil. Bi Arum lantas menyarankan Rose pergi ke psikiater, tapi Rose terus-terusan menolak.
“Apa aku harus memberitahu Tuan Arthur tentang ini?” Bi Arum coba mengancam. Dia bukannya ingin membela Arthur, tapi dia khawatir dengan kondisi Rose. Pasalnya, selama enam bulan ini, Rose sering membantunya.
Dari sikap Rose, Bi Arum tahu, dia bukan wanita sosialita. Cara gadis itu belajar memasak, mencuci, hingga menemaninya belanja, cukup menjadi bukti bahwa Rose ingin menjadi istri yang baik.
Sayang, Zumi menyia-nyiakannya begitu saja.
Ah, andai Rose menikah dengan Arthur, bukan Zumi, pasti hidup Rose sangat bahagia. Bi Arum terus memikirkan itu. Pasalnya, selama 20 tahun bekerja di sini, dia tahu betul sikap Arthur yang sangat perhatian. Bahkan, kepada dirinya yang hanya seorang pembantu, Arthur merenovasi rumahnya dan menyediakannya supir pribadi andai Bi Arum ingin pulang kampung sewaktu-waktu.
“Aku tidak tahu psikiater di mana, Bi.” Ucapan Bi Arum tadi membuat Rose luluh. Dia sendiri sadar, kejiawaannya semakin terguncang semenjak Zumi pergi ke Sydney. “Aku mau pergi, tapi Bi Arum harus ikut.”
Siang itu juga, mereka pergi ke psikiater. Saat menceritakan keluhan, Rose mengatakan kalau dia merasa stress pasca Zumi tidak lagi memberi kabar. Pelampiasannya hanya pada nafsu. Dia hanya ingat kenangan terindahnya bersama Zumi saat malam pertama.
“Berapa lama Nona Rose sudah melakukan ini?” Pertanyaan dokter Sasa, agaknya membuat Rose kurang nyaman. Sang dokter tahu, adanya Bi Arum menjadi penghalang pasiennya dalam menceritakan keluhan.
Bi Arum yang sadar, keluar dari ruangan dan menunggu di lobby.
Saat itu juga, Rose membuka semuanya. Mulai dari kekhawatiran berlebihan seputar kondisi Zumi, hingga paranoid bahwa dia dicampakkan oleh laki-laki itu.
Rupanya, Rose diam-diam menaruh hati karena Arthur yang perhatian. Fenomena ini membuat Dokter Sasa heran mengingat Arthur adalah ayahnya Zumi. “Ini tabu. Kalian tidak boleh berhubungan atau anak kalian–”
“Papa angkat,” pungkas Rose. “Aku baru tahu fakta itu sehari sebelum Zumi meninggalkanku.”
Dokter Sasa kemudian lanjut berbincang dengan Rose untuk mengetahui detil yang terjadi.
Mulanya, Dokter Sasa mengira Rose hanya mengalami kecemasan berlebih akibat ditinggal Zumi ke Sydney. Semakin dalam Rose cerita, dokter semakin sadar kalau ada kelainan seksual pada diri Rose.
Nymphomania.
“Aku tidak perlu menjelaskan panjang-lebar masalah ini. Yang terpenting, Nona tidak boleh cemas berlebih agar gejalanya tidak semakin gawat. Nona masih masuk tahap awal gejala Nymphomania dan tidak perlu mengonsumsi obat-obatan sementara waktu. Cukup berpikir positif dan sering menghibur diri saja.” Dokter Sasa coba menyembunyikan kekhawatirannya karena dua hal.
Pertama, Rose menderita penyakit tersebut dan ada kemungkinan terjadi hubungan yang tidak diharapkan.
Kedua, yang terparah, Rose selama ini bukan membayangkan Zumi, tetapi Arthur.
Rose menderita kelainan ini karena sulit untuk mengendalikan gairah seksualnya. Ada atau tidaknya kesempatan, ia selalu memikirkan dan ingin berhubungan seks dengan orang lain yang menurutnya menarik.
Ini dilatarbelakangi oleh kecemasan berlebih dan sering menjadikan hubugan intim sebagai pelarian, terutama di kala cemas, stres, dan kesepian.
Zumi yang pergi, menuntut Rose untuk bermain sendiri.
“Jadi, kejiwaanku masih aman, Dok?” Rose mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti maksud kata-kata Dokter Sasa tadi.
“Selama pikiranmu terkontrol, tidak cemas berlebih, dan tidak memikirkan hal-hal yang tidak wajar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Rose yang meninggalkan ruangan Dokter Sasa, menghampiri Bi Arum dan menceritakan apa yang dikatakan Dokter Sasa tadi. Bi Arum tentu mengangguk karena dia tidak tahu-menahu dunia medis. Dia lantas mengajak Rose pergi ke butik langganan Arthur untuk melihat tiga model gaun yang sudah disiapkan untuk pesta malam nanti.
***
Rose sudah sudah siap dengan gaun bewarna hitam. Gaun dengan model kemban dan ada belahan yang cukup tinggi sehingga menampakkan kaki jenjangnya.
Rose mengaplikasikan make up tipis di wajahnya sehingga membuat wajahnya semakin cantik. Dia buru-buru keluar dari kamar karena takut Arthur lama menunggu.
Begitu tiba di lantai satu, Rose terpesona dengan penampilan Arthur yang menggunakan tuxedo hitam, celana levis, dengan rambut disisir rapi ke kanan. Modis seperti ala-ala CEO muda tampan meski usianya sudah tidak muda lagi.
Arthur pun sama, langsung terpesona dengan Rose malam ini.
Melihat Rose menggunakan gaun hitam yang sangat pas di tubuh Rose, membuat hasratnya bergejolak. Arthur mendekati Rose dan berbisik di telinga Rose, “Rose, kamu cantik sekali malam ini”
Rose manahan napasnya saat Arthur berbisik di telinganya.
Arthur tersenyum tipis melihat ekspresi Rose, “Ayo kita berangkat sekarang.”
“Baik Pa”
Arthur dan Rose berangkat menuju hotel dimana acara ulang tahun teman Arthur.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, mereka tiba di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta.
Arthur dan Rose langsung keluar dari dalam mobil. Sebelum masuk ke dalam lobbi, Arthur memberikan kunci pada valet.
Arthur memberi kode pada Rose supaya mengandeng lengan Arthur.
Banyak mata langsung memandang Arthur dan Rose saat mereka masuk ke dalam ballroom hotel.
Banyak bisik-bisik yang membicarakan tentang mereka.
“Duda most wanted sudah mengandeng wanita.”
“Siapa wanita cantik itu.”
“Ternyata selera tuan Arthur adalah daun muda. Pantas saja dia betah menduda dalam waktu yang lama.”
“Mereka sangat serasi.”
Di saat banyak orang yang memuji Arthur dan Rose, ada satu wanita yang diam sambil mengepalkan tangannya. Hatinya panas karena laki-laki yang sudah lama dia incar saat ini sedang bersama wanita muda dan cantik.
Dia adalah Jessica, rekan bisnis Arthur yang dulu pernah menjalin kerjasama tapi karena satu hal, Arthur memutuskan kerjasama mereka.
“Aku harus cari tahu siapa wanita itu. Arthur milikku, hanya milikku. Takkan kubiarkan wanita bodoh itu bisa mendapatkan hati Arthur!” Jessica yang sudah menyiapkan obat perangsang untuk Arthur, langsung menyiapkan rencana baru.
“Papa…” Rose langsung memeluk Arthur. Tangisnya semakin pecah saat dipelukan Papa mertuanya.Rose sangat bingung saat ini. Dia tidak tahu alasan Zumi ingin menceraikannya. Rose sangat merindukan Zumi, ia begitu senang saat melihat notifikasi pesan dari sang suami.Bagai di sambar petir, Rose sangat terkejut membaca pesan dari Zumi yang ingin menceraikannya.Arthur mengusap punggung Rose untuk menenangkan Rose. Bucket bunga mawar yang ia bawa tadi sudah tergeletak di lantai. Hatinya bagai di remas saat melihat menangis dipelukannya.“Papa, aku harus bagaimana? Hiksss… Zumi ingin menceraikanku.”“Apa yang ada di pikiran Zumi,” ucap Arthur dingin. Rasa marah pada Zumi langsung menyeruak. Dia tidak tega melihat Rose hancur seperti ini.“Aku gak tahu alasannya Zumi ingin menceraikan aku, Pa. Aku harus bagaimana?” tanya Rose sambil melepaskan pelukannya dengan Arthur.Wajah Rose memerah karena menangis sejak tadi. Matanya sembab.Arthur mengusap air mata di pipi Rose. “Aku akan membantu kam
Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mert
“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka angg
Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”Ar
Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur."Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak
Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal. Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian. Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan. Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”Rose menelan ludah. Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran