Share

Bab 6

Author: Nabila Ara
last update Last Updated: 2025-09-15 19:39:07

Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya. “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”

Rose terdiam, napasnya terengah-engah.

Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.

“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” Bentak Rose dengan suara bergetar.

Air matanya mengalir di pipinya.  “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”

“Rose!” Suara Arthur meninggi.

Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”

Wajah Rose  memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”

Arthur menggeram pelan, rahangnya mengeras. “Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Rose. Aku hanya… aku hanya manusia biasa, Rose. Aku juga bisa luluh jika dalam keadaan seperti semalam. Apalagi aku….”

“Tidak!” Rose menggeleng keras. “Papa seharusnya melindungiku, bukan… bukan mengambil kesempatan padaku!”

Arthur terdiam, dadanya naik turun karena emosi.

Ia baru sadar jika dia sudah berkata kasar dengan Rose.  

Ada rasa menyesal yang langsung menyergap, tapi terlambat Rose sudah menatapnya dengan luka yang tak bisa ia tarik kembali.

Rose langsung turun dari ranjang dan mengambil gaunnya yang tergeletak di lantai.

Rose buru-buru mengenakan gaunnya dan berlari keluar kamar.

Arthur menatap kepergian Rose dengan penuh rasa penyesalan.

Seharusnya ia bisa menguatkan pertahanannya.

Tapi ia kalah dengan godaan dan rasa gairah itu.

Dan lebih parah lagi, ia juga telah mengucapkan kata-kata kasar yang meninggalkan luka di hati Rose.

Saat tiba di kamar, Rose langsung jatuh terduduk di balik pintu.

Tangis Rose pecah.

Rose menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sementara itu, Arthur langsung menghubungi Ken untuk mencari tahu siapa yang menaruh obat perangsang di minumannya.

“Ken, cari tahu siapa yang berani memberi obat itu. Aku ingin hasilnya secepat mungkin,” ucap Arthur dingin.

Baik, Tuan.” Terdengar suara Ken di seberang telepon.

Arthur menghela napas panjang.

Ia akan menyusut tuntas dan memberikan hukuman pada orang yang ingin menjebaknya.

Ada satu nama yang langsung terlintas di benaknya.

Arthur memegang bibirnya, kenangan malam panas bersama Rose langsung teringat.

Satu hal yang Arthur yakini, setelah kejadian semalam hubungannya dengan Rose tidak akan pernah sama lagi.

Sudah seminggu sejak malam itu.

Seminggu penuh keheningan, seminggu penuh rasa canggung yang membuat Rose merasa terasing di rumah Papa mertuanya.

Arthur dan Rose seperti dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama.

Mereka saling menghindar satu sama lain.

Jika Arthur berada di ruang tamu, Rose lebih memilih berada di dalam kamarnya.

Saat mendengar langkah kaki Arthur menuju dapur, Rose lebih memilih menunggu sampai Arthur selesai sebelum beranjak.

Makan malam yang biasanya hangat tak lagi sama.

Dulu, Rose selalu melayani Arthur saat makan malam, tapi sudah seminggu ini mereka lebih memilih masing-masing.

Saat ini hanya ada denting sendok dan garpu yang terdengar beradu dengan piring.

Rose sengaja menunduk, tak berani menatap wajah Arthur.

Rose merasakan ada sesuatu yang berubah.

Arthur lebih banyak diam, ya.... diamnya bukan acuh.

Ada sesuatu di balik tatapannya yang sesekali sempat tertangkap oleh mata Rose.

Rasa bersalah barangkali atau...

Rose hanya berhalusinasi?

Di balik sikap Rose yang mengindari Arthur, Rose tersiksa.

Kenangan malam panas bersama Arthur terus menghantuinya.

Hampir setiap malam Rose terus melakukan itu sendirian.

Memuaskan dirinya sendiri. 

Rose duduk di teras samping sambil membaca buku.

Angin sore bertiup lembut membuat pikirannya menjadi tenang.

Cukup lama ia berada di sana sambil menikmati sore hari.

Rose kembali masuk ke dalam rumah dan ingin naik ke kamarnya yang ada di lantai dua.

Rose melewati ruang kerja Arthur.

Tanpa sengaja telinganya mendengar percakapan antara Arthur dan Ken dari dalam ruang kerja Arthur.

Pintu itu tidak tertutup rapat, membuat suara mereka terdengar cukup jelas.

“Bagaimana Ken?” terdengar suara Arthur.

“Semua rekaman CCTV saat acara ulang tahun Tuan Dave ada di sini. Saya sudah mengamankan pelayan yang mengantarkan minuman itu di meja Tuan. Obat perangsang yang dicampur dalam minuman itu, dosisnya cukup tinggi bahkan untuk orang dengan kondisi normal. Wajar saja Nona Rose kehilangan kendali” suara Ken terdengar dengan tegas.

Arthur memang memberi tahu Ken kejadian malam itu bagaimana efek obat perangsang yang membuat Rose kehilangan kendalinya.

Tapi Arthur tidak memberitahu tentang malam panasnya bersama Rose.

Di balik pintu ruang kerja Arthur, tubuh Rose menegang mendengar percakapan Arthur dan Ken.

“Saya sudah menemukan pelakunya, Tuan. Sesuai dugaan Tuan, pelakunya orang yang sama.” Suara Ken terdengar kembali.

“Jessica?” tanya Arthur.

Jessica? Wanita yang Rose temui saat di pesta itu.

Jantung Rose langsung berdegung kencang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 72

    Ken dan AlanaBasement gedung kantor terasa lebih dingin daripada biasanya.Suara hujan dari atas semakin terdengar keras, seperti menabrak seluruh struktur bangunan.Ken berjalan sedikit di depan, sesekali menoleh memastikan Alana masih mengikutinya.Alana memeluk tasnya erat-erat, langkahnya pelan karena takut terpeleset di lantai parkiran yang sedikit lembap.“Pelan-pelan aja, Al. Lantainya licin,” ujar Ken tanpa menoleh.Alana mengangguk meski Ken tidak melihatnya. “Iya… aku tahu.”Tapi beberapa detik kemudian seperti sudah bisa ditebak Alana terpeleset kecil karena menginjak genangan tipis. Tubuhnya oleng ke samping.Refleks, Ken meraih lengannya. “Hei! Hati-hati.”Alana hampir melekat di dada Ken saking dekatnya jarak mereka.Wajah Alana langsungmemerah. “Maaf…”Ken mendengus pelan namunnya masih memegang lengan Alana “Aku suruh hati-hati juga nggak didengerin.”Nada Ken terdengar ketus. Tapi dari matanya tampak benar-benar khawatir.“…Kamu marah?” tanya Alana pelan.Ken melepas

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 71

    Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 70

    Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 69

    Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 68

    Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 67

    Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status