Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”
Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.
“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”
“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”
Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”
Arthur menggeram pelan, rahangnya mengeras. “Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Rose. Aku hanya… aku hanya manusia biasa, Rose. Aku juga bisa luluh jika dalam keadaan seperti semalam. Apalagi aku….”
“Tidak!” Rose menggeleng keras. “Papa seharusnya melindungiku, bukan… bukan mengambil kesempatan padaku!”
Arthur terdiam, dadanya naik turun karena emosi. Ia baru sadar jika dia sudah berkata kasar dengan Rose. Ada rasa menyesal yang langsung menyergap, tapi terlambat Rose sudah menatapnya dengan luka yang tak bisa ia tarik kembali.
Rose langsung turun dari ranjang dan mengambil gaunnya yang tergeletak di lantai. Rose buru-buru mengenakan gaunnya dan berlari keluar kamar.
Arthur menatap kepergian Rose dengan penuh rasa penyesalan. Seharusnya ia bisa menguatkan pertahanannya. Tapi ia kalah dengan godaan dan rasa gairah itu. Dan lebih parah lagi, ia juga telah mengucapkan kata-kata kasar yang meninggalkan luka di hati Rose.
Saat tiba di kamar, Rose langsung jatuh terduduk di balik pintu. Tangis Rose pecah. Rose menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Sementara itu, Arthur langsung menghubungi Ken untuk mencari tahu siapa yang menaruh obat perangsang di minumannya.
“Ken, cari tahu siapa yang berani memberi obat itu. Aku ingin hasilnya secepat mungkin,” ucap Arthur dingin.
“Baik, Tuan.” Terdengar suara Ken di seberang telepon.
Arthur menghela napas panjang. Ia akan menyusut tuntas dan memberikan hukuman pada orang yang ingin menjebaknya. Ada satu nama yang langsung terlintas di benaknya.
Arthur memegang bibirnya, kenangan malam panas bersama Rose langsung teringat. Satu hal yang Arthur yakini, setelah kejadian semalam hubungannya dengan Rose tidak akan pernah sama lagi.
Sudah seminggu sejak malam itu.
Seminggu penuh keheningan, seminggu penuh rasa canggung yang membuat Rose merasa terasing di rumah Papa mertuanya. Arthur dan Rose seperti dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Mereka saling menghindar satu sama lain. Jika Arthur berada di ruang tamu, Rose lebih memilih berada di dalam kamarnya. Saat mendengar langkah kaki Arthur menuju dapur, Rose lebih memilih menunggu sampai Arthur selesai sebelum beranjak.
Makan malam yang biasanya hangat tak lagi sama. Dulu, Rose selalu melayani Arthur saat makan malam, tapi sudah seminggu ini mereka lebih memilih masing-masing. Saat ini hanya ada denting sendok dan garpu yang terdengar beradu dengan piring. Rose sengaja menunduk, tak berani menatap wajah Arthur.
Rose merasakan ada sesuatu yang berubah. Arthur lebih banyak diam, ya.... diamnya bukan acuh. Ada sesuatu di balik tatapannya yang sesekali sempat tertangkap oleh mata Rose. Rasa bersalah barangkali atau... Rose hanya berhalusinasi?
Di balik sikap Rose yang mengindari Arthur, Rose tersiksa. Kenangan malam panas bersama Arthur terus menghantuinya. Hampir setiap malam Rose terus melakukan itu sendirian. Memuaskan dirinya sendiri.
Rose duduk di teras samping sambil membaca buku. Angin sore bertiup lembut membuat pikirannya menjadi tenang. Cukup lama ia berada di sana sambil menikmati sore hari.
Rose kembali masuk ke dalam rumah dan ingin naik ke kamarnya yang ada di lantai dua. Rose melewati ruang kerja Arthur. Tanpa sengaja telinganya mendengar percakapan antara Arthur dan Ken dari dalam ruang kerja Arthur. Pintu itu tidak tertutup rapat, membuat suara mereka terdengar cukup jelas.
“Bagaimana Ken?” terdengar suara Arthur.
“Semua rekaman CCTV saat acara ulang tahun Tuan Dave ada di sini. Saya sudah mengamankan pelayan yang mengantarkan minuman itu di meja Tuan. Obat perangsang yang dicampur dalam minuman itu, dosisnya cukup tinggi bahkan untuk orang dengan kondisi normal. Wajar saja Nona Rose kehilangan kendali” suara Ken terdengar dengan tegas.
Arthur memang memberi tahu Ken kejadian malam itu bagaimana efek obat perangsang yang membuat Rose kehilangan kendalinya. Tapi Arthur tidak memberitahu tentang malam panasnya bersama Rose.
Di balik pintu ruang kerja Arthur, tubuh Rose menegang mendengar percakapan Arthur dan Ken.
“Saya sudah menemukan pelakunya, Tuan. Sesuai dugaan Tuan, pelakunya orang yang sama” suara Ken terdengar kembali.
“Jessica?” tanya Arthur.
Jessica? Wanita yang Rose temui saat di pesta itu. Jantung Rose langsung berdegung kencang.
“Aku pastikan Jessica akan menerima hukuman atas semua yang dia lakukan. Ternyata dia tidak pernah jera. Apa yang dia lakukan membuat Rose.....” suara Arthur lirih tapi sarat amarah.
Rose memejamkan matanya, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Tuhan... Selama ini ia sudah menuduh Arthur padahal Arthur justru berusaha melindunginya.
Rose sangat merasa bersalah pada Papa mertuanya.
Selama dua hari itu juga, Rose terus merasa bersalah sangat besar pada Arthur. Ia sudah tidak sanggup menahan rasa bersalah ini. Rose tidak bisa tidur nyenyak. Setiap ia memejamkan mata, wajah Arthur selalu muncul di benaknya. Samar-samar kenangan malam itu terus berputar di kepalanya, tentang ciuman dan sentuhan yang membuat tubuhnya meledak-ledak serta ingatan samar tentang suara Arthur yang menyebut namanya di antara kabut gairah.
Rose ingat dengan jelas bagaimana selama seminggu ini ia menuduh Arthur sebagai pria tak tahu malu, pria yang memanfaatkan kelemahannya. Rose menghindari Arthur. Padahal dari percakapan yang tanpa sengaja ia dengar, Rose tahu kenyataannya sangat berbeda. Arthur justru berusaha melindungi dirinya.
Air mata jatuh di pipi Rose. “Papa, tidak bersalah justru aku yang salah.” Selama ini Arthur sangat baik dengannya yang hanya seorang menantu di rumah ini.
“Aku harus memperbaiki hubunganku dengan Papa, tapi bagaimana?” tanya Rose pada dirinya sendiri.
“Bi Arum… Ya Bi Arum. Aku harus minta bantuan Bi Arum,” ucap Rose yang langsung berjalan keluar kamar untuk mencari Bi Arum. Rose yakin Bi Arum bisa membantunya.
Rose masuk ke dapur dan mendapati Bi Arum sedang menyiapkan teh.
“Bi....” suara Rose terdengar lirih.
Perempuan paruh baya itu menoleh dan tersenyum hangat. “Non, kenapa wajahmu murung lagi? Belakangan ini, Bibi perhatikan Nona Rose seperti sedang banyak pikiran. Coba cerita sama Bi Arum. Siapa tahu Bi Arum bisa membantu, Nona Rose.”
Rose duduk di kursi sambil menggigit bibirnya dan menunduk. Sebenarnya Rose malu ingin cerita dengan Bi Aru, tapi dia perlu solusi supaya Rose bisa memperbaiki hubungannya dengan Arthur. “Aku merasa bersalah dengan Papa, Bi. Aku marah dengan Papa tapi sebenarnya Papa tidak bersalah, atau lebih tepatnya situasi yang membuat Papa melakukan sesuatu padaku.”
Bi Arum menghampiri Rose, lalu ia duduk di kursi samping Rose. “Kamu tahu, Non? Sudah lebih seminggu ini, Tuan Arthur sering pulang cepat. Setiap Bibi tanya Tuan, pasti jawabannya biar bisa melihat keadaan Nona Rose. Pernah, Bibi melihat Tuan Arthur berdiri lama di depan kamar, Nona Rose. Tapi Tuan Arthur tidak jadi masuk dan langsung pergi ke kamarnya sendiri.”
Rose terkejut mendengar ucapan Bi Arum. “Serius, Bi?”
Bi Arum mengangguk pelan. “Tuan Arthur terlihat sangat khawatir. Nona tahu, sekarang ini Tuan Arthur terlihat lebih perhatian pada orang lain bahkan sama mendiang istrinya dulu Tuan tidak begitu. Tuan Arthur juga bertanya pada Bibi keadaan Nona. Bibi tahu, Tuan Arthur ingin menunjukkan perhatian pada Nona tapi Tuan tidak tahu cara nunjukinnya secara langsung.”
Air mata Rose kembali jatuh. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “ Aku jahat sama Papa, Bi. Aku ingin minta maaf sama Papa. Hiksss...”
Bi Arum mengusap punggung Rose dengan lembut. “Non, kadang orang itu menunjukkan perasaan bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan-tindakan kecil. Bibi sayang sama Nona. Kalau Nona Rose sedih begini, Bibi juga ikutan sedih.”
Rose mengangguk, meski air matanya masih mengalir di pipinya. Tapi Rose tahu apa yang diucapkan Bi Arum benar. Rose juga menyayangi Bi Arum.
Rose harus melakukan sesuatu. Rose harus memperbaiki hubungannya dengan Arthur.
Rose meminta bantuan Bi Arum untuk menyiapkan makan malam istimewa. Kali ini, ia sendiri turun tangan memasak makanan kesukaan Arthur yaitu sup iga dengan sambal kecap. Bi Arum membantu Rose menyiapkan bahan-bahannya.
Sementara itu di kantor, Arthur sedang sibuk mencari tips untuk meminta maaf dengan wanita. Ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungannya dengan Rose. Ia tidak bisa membiarkan hal ini terlalu lama. Arthur tidak kuat untuk menghindari Rose lebih lama. Hatinya sakit.
Setelah menjelajahi internet cukup lama, akhirnya Arthur tahu apa yang harus ia siapkan untuk Rose.
Cheesecake stoberi.
Iya, Arthur kue kesukaan Rose. Tidak hanya itu, semua hal tentang Rose dia tahu.
Menjelang malam, Rose sedang bersiap-siap di kamarnya. Rose memakai gaun renda putih tulang. Ia sengaja memilih warna putih karena sangat pas dengan warna kulitnya. Tidak lupa dia mengaplikasikan make up tipis agar wajahnya lebih tampak fresh.
Rose langsung turun ke bawah untuk memeriksa sajian makan malam yang sudah ia siapkan bersama Bi Arum.
Terdengar bunyi pintu terbuka. “Rose” suara berat itu menggema di ruangan.
Rose menoleh dan matanya melebar. Arthur berdiri di sana masih dengan jas kerjanya dan di tangannya ada sebuah kotak kue.
Rose tahu betul kotak kue itu dari toke kue langganannya. Dari kotak kue tampak cheesecake stoberi kesukaannya.
“Aku bawa sesuatu,” ucap Arthur canggung. “Aku ingat kamu suka kue ini.”
Rose tertegun. Tuhan, apa ini hanya kebetulan. Rose masak makanan kesukaan Papa mertuanya dan Arthur datang membawa kue kesukaannya.
Rose menatap Arthur dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga masak untuk Papa. Aku masak makanan kesukaan Papa. Sup iga dengan sambal kecap.”
Arthur tersenyum sambil menoleh ke meja makan lalu kembali menatap Rose. Untuk pertama kalinya setelah seminggu, Rose melihat senyum tipis diwajahnya. Senyum yang membuat dada Rose sesak entah karena apa.
Arthur dan Rose duduk berhadapan. Makan malam berlangsung canggung di awal tapi perlahan suasana mulai mecair. Sesekali tatapan mereka bertemu dan cepat-cepat saling mengalihkan pandangan. Sesekali tampak senyum samar diantara keduanya.
“Sup iganya enak” ucap Arthur saat dia baru saja menghabiskan makan malamnya.
Rose tersenyum mendengar ucapan Arthur. “Papa suka?”
“Suka. Papa selalu suka sup iga tapi kali ini sup iganya terasa berbeda. Mungkin karena siapa yang memasaknya” ucap Arthur membuat Rose langsung tersedak.
“Uhuk! Uhuk!”
Arthur langsung mengambilkan Rose air minum.
Rose langsung meminum air yang di kasih oleh Arthur. “Maksud Papa apa?”
Arthur menatap Rose dengan tatapan yang sulit diartikan. “Rose, Papa….”
“Papa…” Rose langsung memeluk Arthur. Tangisnya semakin pecah saat dipelukan Papa mertuanya.Rose sangat bingung saat ini. Dia tidak tahu alasan Zumi ingin menceraikannya. Rose sangat merindukan Zumi, ia begitu senang saat melihat notifikasi pesan dari sang suami.Bagai di sambar petir, Rose sangat terkejut membaca pesan dari Zumi yang ingin menceraikannya.Arthur mengusap punggung Rose untuk menenangkan Rose. Bucket bunga mawar yang ia bawa tadi sudah tergeletak di lantai. Hatinya bagai di remas saat melihat menangis dipelukannya.“Papa, aku harus bagaimana? Hiksss… Zumi ingin menceraikanku.”“Apa yang ada di pikiran Zumi,” ucap Arthur dingin. Rasa marah pada Zumi langsung menyeruak. Dia tidak tega melihat Rose hancur seperti ini.“Aku gak tahu alasannya Zumi ingin menceraikan aku, Pa. Aku harus bagaimana?” tanya Rose sambil melepaskan pelukannya dengan Arthur.Wajah Rose memerah karena menangis sejak tadi. Matanya sembab.Arthur mengusap air mata di pipi Rose. “Aku akan membantu kam
Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mert
“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka angg
Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”Ar
Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur."Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak
Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal. Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian. Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan. Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”Rose menelan ludah. Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran