تسجيل الدخول“Aku pastikan Jessica akan menerima hukuman atas semua yang dia lakukan. Ternyata dia tidak pernah jera. Apa yang dia lakukan membuat Rose.....” suara Arthur lirih tapi sarat amarah.
Rose memejamkan matanya, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Tuhan... Selama ini ia sudah menuduh Arthur padahal Arthur justru berusaha melindunginya.
Rose sangat merasa bersalah pada Papa mertuanya.
Selama dua hari itu juga, Rose terus merasa bersalah sangat besar pada Arthur.
Ia sudah tidak sanggup menahan rasa bersalah ini.
Rose tidak bisa tidur nyenyak.
Setiap ia memejamkan mata, wajah Arthur selalu muncul di benaknya.
Samar-samar kenangan malam itu terus berputar di kepalanya, tentang ciuman dan sentuhan yang membuat tubuhnya meledak-ledak serta ingatan samar tentang suara Arthur yang menyebut namanya di antara kabut gairah.
Rose ingat dengan jelas bagaimana selama seminggu ini ia menuduh Arthur sebagai pria tak tahu malu, pria yang memanfaatkan kelemahannya.
Rose menghindari Arthur.
Padahal dari percakapan yang tanpa sengaja ia dengar, Rose tahu kenyataannya sangat berbeda.
Arthur justru berusaha melindungi dirinya.
Air mata jatuh di pipi Rose. “Papa, tidak bersalah justru aku yang salah.”
Selama ini Arthur sangat baik dengannya yang hanya seorang menantu di rumah ini.
“Aku harus memperbaiki hubunganku dengan Papa, tapi bagaimana?” tanya Rose pada dirinya sendiri.
“Bi Arum… Ya Bi Arum. Aku harus minta bantuan Bi Arum,” ucap Rose yang langsung berjalan keluar kamar untuk mencari Bi Arum.
Rose yakin Bi Arum bisa membantunya.
Rose masuk ke dapur dan mendapati Bi Arum sedang menyiapkan teh.
“Bi....” Suara Rose terdengar lirih.
Perempuan paruh baya itu menoleh dan tersenyum hangat. “Non, kenapa wajahmu murung lagi? Belakangan ini, Bibi perhatikan Nona Rose seperti sedang banyak pikiran. Coba cerita sama Bi Arum. Siapa tahu Bi Arum bisa membantu, Nona Rose.”
Rose duduk di kursi sambil menggigit bibirnya dan menunduk.
Sebenarnya Rose malu ingin cerita dengan Bi Arum, tapi dia perlu solusi supaya Rose bisa memperbaiki hubungannya dengan Arthur. “Aku merasa bersalah dengan Papa, Bi. Aku marah dengan Papa tapi sebenarnya Papa tidak bersalah, atau lebih tepatnya situasi yang membuat Papa melakukan sesuatu padaku.”
Bi Arum menghampiri Rose, lalu ia duduk di kursi samping Rose. “Kamu tahu, Non? Sudah lebih seminggu ini, Tuan Arthur sering pulang cepat. Setiap Bibi tanya Tuan, pasti jawabannya biar bisa melihat keadaan Nona Rose. Pernah, Bibi melihat Tuan Arthur berdiri lama di depan kamar, Nona Rose. Tapi Tuan Arthur tidak jadi masuk dan langsung pergi ke kamarnya sendiri.”
Rose terkejut mendengar ucapan Bi Arum. “Serius, Bi?”
Bi Arum mengangguk pelan. “Tuan Arthur terlihat sangat khawatir. Nona tahu, sekarang ini Tuan Arthur terlihat lebih perhatian pada orang lain bahkan sama mendiang istrinya dulu Tuan tidak begitu. Tuan Arthur juga bertanya pada Bibi keadaan Nona. Bibi tahu, Tuan Arthur ingin menunjukkan perhatian pada Nona tapi Tuan tidak tahu cara nunjukinnya secara langsung.”
Air mata Rose kembali jatuh.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “ Aku jahat sama Papa, Bi. Aku ingin minta maaf sama Papa. Hiksss...”
Bi Arum mengusap punggung Rose dengan lembut. “Non, kadang orang itu menunjukkan perasaan bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan-tindakan kecil. Bibi sayang sama Nona. Kalau Nona Rose sedih begini, Bibi juga ikutan sedih.”
Rose mengangguk, meski air matanya masih mengalir di pipinya.
Tapi Rose tahu apa yang diucapkan Bi Arum benar.
Rose juga menyayangi Bi Arum.
Rose harus melakukan sesuatu.
Rose harus memperbaiki hubungannya dengan Arthur.
Rose meminta bantuan Bi Arum untuk menyiapkan makan malam istimewa.
Kali ini, ia sendiri turun tangan memasak makanan kesukaan Arthur yaitu sup iga dengan sambal kecap.
Bi Arum membantu Rose menyiapkan bahan-bahannya.
Sementara itu di kantor, Arthur sedang sibuk mencari tips untuk meminta maaf dengan wanita.
Ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungannya dengan Rose.
Ia tidak bisa membiarkan hal ini terlalu lama. Arthur tidak kuat untuk menghindari Rose lebih lama.
Hatinya sakit.
Setelah menjelajahi internet cukup lama, akhirnya Arthur tahu apa yang harus ia siapkan untuk Rose.
Cheesecake stoberi.
Iya, Arthur kue kesukaan Rose.
Tidak hanya itu, semua hal tentang Rose dia tahu.
Menjelang malam, Rose sedang bersiap-siap di kamarnya.
Rose memakai gaun renda putih tulang.
Ia sengaja memilih warna putih karena sangat pas dengan warna kulitnya.
Tidak lupa dia mengaplikasikan make up tipis agar wajahnya lebih tampak fresh.
Rose langsung turun ke bawah untuk memeriksa sajian makan malam yang sudah ia siapkan bersama Bi Arum.
Terdengar bunyi pintu terbuka. “Rose” suara berat itu menggema di ruangan.
Rose menoleh dan matanya melebar.
Arthur berdiri di sana masih dengan jas kerjanya dan di tangannya ada sebuah kotak kue.
Rose tahu betul kotak kue itu dari toke kue langganannya.
Dari kotak kue tampak cheesecake stoberi kesukaannya.
“Aku bawa sesuatu,” ucap Arthur canggung. “Aku ingat kamu suka kue ini.”
Rose tertegun.
Tuhan, apa ini hanya kebetulan?
Rose masak makanan kesukaan Papa mertuanya dan Arthur datang membawa kue kesukaannya.
Rose menatap Arthur dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga masak untuk Papa. Aku masak makanan kesukaan Papa. Sup iga dengan sambal kecap.”
Arthur tersenyum sambil menoleh ke meja makan lalu kembali menatap Rose.
Untuk pertama kalinya setelah seminggu, Rose melihat senyum tipis diwajahnya.
Senyum yang membuat dada Rose sesak entah karena apa.
Arthur dan Rose duduk berhadapan.
Makan malam berlangsung canggung di awal tapi perlahan suasana mulai mecair.
Sesekali tatapan mereka bertemu dan cepat-cepat saling mengalihkan pandangan.
Sesekali tampak senyum samar diantara keduanya.
“Sup iganya enak,” ucap Arthur saat dia baru saja menghabiskan makan malamnya.
Rose tersenyum mendengar ucapan Arthur. “Papa suka?”
“Suka. Aku selalu suka sup iga tapi kali ini sup iganya terasa berbeda. Mungkin karena siapa yang memasaknya” ucap Arthur membuat Rose langsung tersedak.
“Uhuk! Uhuk!”
Arthur langsung mengambilkan Rose air minum.
Rose langsung meminum air yang diberikan Arthur. “Maksud Papa apa?”
Arthur menatap Rose dengan tatapan yang sulit diartikan. “Rose, Papa….”
Ken dan AlanaBasement gedung kantor terasa lebih dingin daripada biasanya.Suara hujan dari atas semakin terdengar keras, seperti menabrak seluruh struktur bangunan.Ken berjalan sedikit di depan, sesekali menoleh memastikan Alana masih mengikutinya.Alana memeluk tasnya erat-erat, langkahnya pelan karena takut terpeleset di lantai parkiran yang sedikit lembap.“Pelan-pelan aja, Al. Lantainya licin,” ujar Ken tanpa menoleh.Alana mengangguk meski Ken tidak melihatnya. “Iya… aku tahu.”Tapi beberapa detik kemudian seperti sudah bisa ditebak Alana terpeleset kecil karena menginjak genangan tipis. Tubuhnya oleng ke samping.Refleks, Ken meraih lengannya. “Hei! Hati-hati.”Alana hampir melekat di dada Ken saking dekatnya jarak mereka.Wajah Alana langsungmemerah. “Maaf…”Ken mendengus pelan namunnya masih memegang lengan Alana “Aku suruh hati-hati juga nggak didengerin.”Nada Ken terdengar ketus. Tapi dari matanya tampak benar-benar khawatir.“…Kamu marah?” tanya Alana pelan.Ken melepas
Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua
Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m
Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata
Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag
Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose







