Tatapan itu membuat dada Aga makin sesak. Mata Ara yang baru saja terbuka memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan antara luka, lelah, dan sebuah ketulusan yang tidak pernah ia temukan sebelumnya.
“Ara…” bisik Aga, nyaris tak terdengar.Ara tak menjawab, hanya menatapnya beberapa detik sebelum kembali memejamkan mata. Gerakan kecil itu justru membuat Aga semakin goyah.Jakun Aga naik-turun, napasnya terasa berat. Tangannya yang tadinya memegang botol salep kini sedikit bergetar, masih menempel di kulit halus bahu Ara.Sementara Ara, meski dalam diam, bisa merasakan betapa dekatnya tubuh Aga. Kehangatan napas pria itu menyapu kulit wajahnya, membuat jantungnya ikut berpacu. Hatinya bimbang antara menolak atau membiarkan momen itu terjadi.Aga menunduk sedikit, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Ara. Aroma lembut sabun yang baru saja dipakai Ara setelah mandi membuatnya semakin sulit berpikir jernih.Tangannya bergerak pelan, bukan lagi untuk meAra menatap ibunya dengan mata berkaca. Hatinya berperang hebat antara rasa sakit yang masih segar, dan kasih sayang yang sulit ia bantah.“Aku sakit banget, Ma, rasanya hancur, rasanya Mama lebih pilih dia daripada aku,” suaranya pecah di sela isakan.Indri menggeleng keras, air matanya mengalir semakin deras.“Tidak, Nak! Demi Allah tidak! Kamu darah daging Mama, kamu bagian dari hidup Mama. Kalau Mama terlihat lebih peduli sama Ana, itu bukan karena Mama gak sayang kamu.’’‘’Tapi karena Mama merasa bersalah sama dia. Mama buta, Mama gak sadar kalau dalam proses itu Mama nyakitin kamu. Astaga, Ara, Mama ibu macam apa ini,”Tubuh Ara bergetar hebat. Ia meraih wajah ibunya dengan kedua tangan, menatap mata yang sembab itu.“Aku kecewa, Ma. Aku marah, tapi aku gak bisa benci Mama. Aku tetap sayang Mama,”Tangis keduanya pecah bersamaan. Ara akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Indri. Mereka berpelukan erat, seakan meleburkan semua duka dan penyesa
Ara masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu dibantingnya begitu saja hingga menimbulkan bunyi keras. Tubuhnya langsung jatuh ke ranjang, ia memeluk bantal sambil menangis histeris. Suara tangisnya pecah, sesenggukan bergema memenuhi ruangan.“Kenapa harus aku, Tuhan,? Kenapa harus aku yang disakiti seperti ini,?” bisiknya di sela isakan.Air matanya tak berhenti mengalir. Setiap kali mengingat ucapan Indri tentang donor jantung, tentang Ana sebagai anak kandung Umar hatinya terasa seperti diiris-iris. Rasa dikhianati, ditinggalkan, dan tidak dianggap menyatu menjadi satu.Sementara itu, di ruang tamu, Indri terduduk di sofa. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Sesekali ia memegangi dadanya, seakan rasa sesak itu terlalu berat. “Astaga, aku ibu macam apa ini,” gumamnya dengan suara parau, menundukkan kepala penuh penyesalan.Aga yang melihat keadaan itu hanya bisa menarik napas berat. Ia menatap Indri dengan tatapan dingin. “T
Begitu pintu apartemen tertutup rapat, ruangan terasa sesak. Hening. Hanya terdengar isakan lirih dari Ara yang sejak tadi menunduk dengan mata bengkak.Indri berdiri kaku di dekat pintu, tubuhnya gemetar. Perlahan ia melangkah maju, seolah setiap langkah adalah beban. Wajahnya sembab, matanya merah, bibirnya bergetar.“Ara,” panggilnya pelan, suara itu hampir terputus.Ara langsung mengangkat kepala, menatap dengan sorot penuh luka. Ia mundur dua langkah, tubuhnya kaku, matanya basah. “Jangan mendekat, Ma, aku masih belum bisa lihat Mama tanpa rasa sakit.”Kata-kata itu membuat jantung Indri seperti diremas. Ia terdiam, air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan.“Ara, Nak, dengar Mama sebentar saja, Mama mohon,” ucap Indri lirih, mencoba mendekat. “Mama tahu gak, waktu Mama bilang jantungku harus diambil buat nyelametin Ana,” Ara langsung memotong, suaranya pecah. ‘’Mama tahu, itu tuh rasanya kayak Mama sendiri yang bunuh aku hidup-hidup!
Setelah berkali-kali mencoba menghubungi Ara tanpa jawaban, Mama Indri terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit. Matanya sembab, suaranya serak. Tapi di lubuk hatinya ia tahu satu hal: dia tidak bisa hanya duduk diam. Kalau Ara tidak mau menjawab telepon, maka dia sendiri yang harus mendatangi anaknya.Dengan langkah goyah, Indri keluar dari rumah sakit. Sambil menyeka air matanya, ia menghubungi sopir pribadi untuk mengantarnya ke alamat apartemen Aga alamat yang dulu pernah dia ketahui dari Ara sendiri, saat Ara dengan polos bercerita kalau sering singgah di sana.Sepanjang perjalanan, Indri terdiam. Pikirannya kalut. ‘Ya Allah, bagaimana cara Mama meyakinkan dia kalau Mama cuma ingin bicara dari hati ke hati?’Mobil berhenti di depan apartemen. Indri menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perasaan berat. Tangannya dingin, jantungnya berdetak cepat.Sesampainya di lantai tempat unit Aga, Indri berdiri cukup lam
Indri mengusap air matanya dengan kasar, berusaha menegakkan kepala meski hatinya hancur. Tatapannya tajam menembus Umar.“Cukup, Umar! Aku tidak akan pernah mengizinkan Ara jadi donor untuk Ana! Tidak akan pernah!” suaranya lantang, penuh kepastian.Umar mendekat, matanya merah, napasnya memburu. “Indri, tolong! Ini masalah nyawa, Indri! Nyawa seorang anak! Nyawa Ana!”Indri bangkit berdiri, tubuhnya bergetar tapi tatapannya kokoh. “Nyawa anak siapa?! Dia memang anakmu, Umar, tapi dia bukan anakku! Ara itu anakku! Satu-satunya anakku! Dan aku tidak akan menyerahkan hidupnya hanya untuk menebus dosa-dosa masa lalu kamu!”Umar memukul dadanya sendiri, frustrasi. “Tapi dia juga anakku, Indri! Kamu tega lihat Ana mati begitu saja? Aku gak sanggup! Aku gak bisa biarin anakku yang lain mati di depan mataku lagi!”“Jangan bawa-bawa aku dalam kesalahan kamu!” Indri menunjuk wajah Umar dengan jari telunjuknya. “Kamu yang selingkuh! Kamu yang buat anak di luar sana! Kamu yang buang Clara! D
Indri menatapnya tajam. “Kenapa? Karena dia anak yang kamu lindungi? Karena dia darah dagingmu, sementara Ara harus selalu jadi korban?!”Lorong rumah sakit yang biasanya sunyi hanya diisi suara langkah perawat, kini berubah menjadi arena pertarungan batin dan kata-kata. Pintu ruang ICU di belakang mereka tertutup rapat, lampu merah tanda kritis menyala, tapi Umar dan Indri justru sibuk dengan luka lama yang akhirnya terbuka.“Ana dan Ara sama-sama anakku! Tapi Ara sudah bahagia sejak kecil!” suara Umar meledak, serak, penuh pembelaan yang terdengar lebih seperti jeritan.Indri terhenyak, wajahnya pucat pasi. “Apa maksud kamu, Umar?! Bahagia sejak kecil?’’‘’Kamu pikir semua ini tentang bahagia atau tidak bahagia?! Ara itu anakku! Anak kita! Anak kandung kita! Dia darah daging kita Dan sekarang kamu bilang dia terlalu bahagia?” suaranya melengking, bercampur tangis dan amarah.Umar menepuk dadanya, dadanya naik-turun tak terkendali. “Ara sejak lahir, se