"Ah itu… lift mati! Jadi tadi naik tangga!" Aga buru-buru memberi alasan, meski jantungnya masih berdebar cepat.
"Ckckckc… kok bisa kantor sebesar itu lift mati?" kata Rafi menghela napas panjang, terdengar frustrasi. Aga menegakkan tubuhnya, nada suaranya tiba-tiba menajam, menegaskan dominasi, mencoba menutupi rasa gugupnya. "Kamu telfon mau nanyain Ara apa mau nanyain lift kantor ku?" Rafi mendesah berat, terdengar seperti ingin memarahi tapi tak bisa. "Ya udah, nanti aku kesana aja. Tolong bilangin ke Ara, aku jemput pulang nanti." "Hemm," Aga langsung menutup panggilan, jari-jarinya masih bergetar sedikit saat meletakkan ponsel di atas meja. Lalu ia menoleh ke arah Ara. Tatapan mereka bertemu. Mata Ara masih menunduk sedikit, pipinya merah, napasnya masih terengah akibat ciuman panas yang baru saja terjadi. Aga merasakan dadanya sesak, detak jantungnya cepat, setiap helaan napas Ara seperti membakar seluruhAra masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu dibantingnya begitu saja hingga menimbulkan bunyi keras. Tubuhnya langsung jatuh ke ranjang, ia memeluk bantal sambil menangis histeris. Suara tangisnya pecah, sesenggukan bergema memenuhi ruangan.“Kenapa harus aku, Tuhan,? Kenapa harus aku yang disakiti seperti ini,?” bisiknya di sela isakan.Air matanya tak berhenti mengalir. Setiap kali mengingat ucapan Indri tentang donor jantung, tentang Ana sebagai anak kandung Umar hatinya terasa seperti diiris-iris. Rasa dikhianati, ditinggalkan, dan tidak dianggap menyatu menjadi satu.Sementara itu, di ruang tamu, Indri terduduk di sofa. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Sesekali ia memegangi dadanya, seakan rasa sesak itu terlalu berat. “Astaga, aku ibu macam apa ini,” gumamnya dengan suara parau, menundukkan kepala penuh penyesalan.Aga yang melihat keadaan itu hanya bisa menarik napas berat. Ia menatap Indri dengan tatapan dingin. “T
Begitu pintu apartemen tertutup rapat, ruangan terasa sesak. Hening. Hanya terdengar isakan lirih dari Ara yang sejak tadi menunduk dengan mata bengkak.Indri berdiri kaku di dekat pintu, tubuhnya gemetar. Perlahan ia melangkah maju, seolah setiap langkah adalah beban. Wajahnya sembab, matanya merah, bibirnya bergetar.“Ara,” panggilnya pelan, suara itu hampir terputus.Ara langsung mengangkat kepala, menatap dengan sorot penuh luka. Ia mundur dua langkah, tubuhnya kaku, matanya basah. “Jangan mendekat, Ma, aku masih belum bisa lihat Mama tanpa rasa sakit.”Kata-kata itu membuat jantung Indri seperti diremas. Ia terdiam, air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan.“Ara, Nak, dengar Mama sebentar saja, Mama mohon,” ucap Indri lirih, mencoba mendekat. “Mama tahu gak, waktu Mama bilang jantungku harus diambil buat nyelametin Ana,” Ara langsung memotong, suaranya pecah. ‘’Mama tahu, itu tuh rasanya kayak Mama sendiri yang bunuh aku hidup-hidup!
Setelah berkali-kali mencoba menghubungi Ara tanpa jawaban, Mama Indri terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit. Matanya sembab, suaranya serak. Tapi di lubuk hatinya ia tahu satu hal: dia tidak bisa hanya duduk diam. Kalau Ara tidak mau menjawab telepon, maka dia sendiri yang harus mendatangi anaknya.Dengan langkah goyah, Indri keluar dari rumah sakit. Sambil menyeka air matanya, ia menghubungi sopir pribadi untuk mengantarnya ke alamat apartemen Aga alamat yang dulu pernah dia ketahui dari Ara sendiri, saat Ara dengan polos bercerita kalau sering singgah di sana.Sepanjang perjalanan, Indri terdiam. Pikirannya kalut. ‘Ya Allah, bagaimana cara Mama meyakinkan dia kalau Mama cuma ingin bicara dari hati ke hati?’Mobil berhenti di depan apartemen. Indri menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perasaan berat. Tangannya dingin, jantungnya berdetak cepat.Sesampainya di lantai tempat unit Aga, Indri berdiri cukup lam
Indri mengusap air matanya dengan kasar, berusaha menegakkan kepala meski hatinya hancur. Tatapannya tajam menembus Umar.“Cukup, Umar! Aku tidak akan pernah mengizinkan Ara jadi donor untuk Ana! Tidak akan pernah!” suaranya lantang, penuh kepastian.Umar mendekat, matanya merah, napasnya memburu. “Indri, tolong! Ini masalah nyawa, Indri! Nyawa seorang anak! Nyawa Ana!”Indri bangkit berdiri, tubuhnya bergetar tapi tatapannya kokoh. “Nyawa anak siapa?! Dia memang anakmu, Umar, tapi dia bukan anakku! Ara itu anakku! Satu-satunya anakku! Dan aku tidak akan menyerahkan hidupnya hanya untuk menebus dosa-dosa masa lalu kamu!”Umar memukul dadanya sendiri, frustrasi. “Tapi dia juga anakku, Indri! Kamu tega lihat Ana mati begitu saja? Aku gak sanggup! Aku gak bisa biarin anakku yang lain mati di depan mataku lagi!”“Jangan bawa-bawa aku dalam kesalahan kamu!” Indri menunjuk wajah Umar dengan jari telunjuknya. “Kamu yang selingkuh! Kamu yang buat anak di luar sana! Kamu yang buang Clara! D
Indri menatapnya tajam. “Kenapa? Karena dia anak yang kamu lindungi? Karena dia darah dagingmu, sementara Ara harus selalu jadi korban?!”Lorong rumah sakit yang biasanya sunyi hanya diisi suara langkah perawat, kini berubah menjadi arena pertarungan batin dan kata-kata. Pintu ruang ICU di belakang mereka tertutup rapat, lampu merah tanda kritis menyala, tapi Umar dan Indri justru sibuk dengan luka lama yang akhirnya terbuka.“Ana dan Ara sama-sama anakku! Tapi Ara sudah bahagia sejak kecil!” suara Umar meledak, serak, penuh pembelaan yang terdengar lebih seperti jeritan.Indri terhenyak, wajahnya pucat pasi. “Apa maksud kamu, Umar?! Bahagia sejak kecil?’’‘’Kamu pikir semua ini tentang bahagia atau tidak bahagia?! Ara itu anakku! Anak kita! Anak kandung kita! Dia darah daging kita Dan sekarang kamu bilang dia terlalu bahagia?” suaranya melengking, bercampur tangis dan amarah.Umar menepuk dadanya, dadanya naik-turun tak terkendali. “Ara sejak lahir, se
“Aga, kamu… apa-apaan ini? Jangan bicara sembarangan!” suaranya pecah, setengah marah, setengah takut.Aga hanya memicingkan mata. “Sembarangan? Tante lihat sendiri isinya. Itu bukan omong kosong saya. Semua ada hitam di atas putih.”Umar yang sedari tadi berusaha menjaga wibawa, akhirnya bersuara. “Kamu anak kecil, jangan seenaknya menuduh tanpa bukti!” Suaranya berat, mencoba menekan situasi, tapi jelas terlihat ada getaran di sana.Aga tertawa sinis, sebuah tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. “Bukti? Itu yang sedang Tante Indri pegang. Mau saya bacakan keras-keras supaya semua orang di rumah sakit ini dengar, Pak Umar?”Umar terdiam. Rahangnya mengeras, matanya melirik sekilas ke arah Indri yang sedang membuka lembar demi lembar hasil tes DNA.“Papa,” suara Indri nyaris berbisik, penuh luka, penuh ketidakpercayaan. “Kamu tega…”“Ma, Mama dengarkanPapa dulu—” Umar buru-buru bersuara, tapi Indri langsung menyambar.“Dengarkan apa?!” suara