LOGINAga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”
Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap. Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri. “Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum. “Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga. “Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam. “Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi. Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang. Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak. Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam. Menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Ara pun tiba di rumahnya. Dia segera masuk dan langkahnya terhenti di ruang keluarga. Di sana, sudah ada ayahnya yang duduk dengan wajah tegang. Ibunya menatapnya tajam dari ujung sofa. Dan di sana, Anabela—gadis manis yang selama ini disebut “adik angkat”, duduk bersandar di bahu Rafi. Ya, Rafi, tunangan Ara yang semalam ingin mengejarnya namun ternyata kembali berbalik pada Ana. Ara mencoba tetap tenang. Ia menarik napas, lalu melangkah mendekat. Namun belum sempat ia duduk atau sekadar membuka mulut, Plak! Sebuah tamparan keras menghantam pipinya. Kepala Ara menoleh ke samping, rambutnya berantakan. Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti. Tangannya langsung memegang pipi yang memerah. Matanya melebar. Terkejut. Luka. Tapi dia tetap diam. "Bagus! Hebat kamu, Arabella!" teriak ayahnya dengan wajah merah padam. "Apa ini yang Papa ajarkan selama ini, hah?!" "M—maksud Papa apa?" tanya Ara menatap sang ayah tak percaya, bibirnya gemetar. Kenapa dirinya yang ditampar? Bukankah seharusnya Ana dan Raffi yang diadili? Mengapa jadi dirinya? Namun, belum sempat ayahnya menjawab, suara pelan tapi menyayat datang dari samping. "Pa, jangan salahin Kakak. Ini salah Ana," gumam Ana lirih. Matanya sembab. Suaranya bergetar lembut, persis seperti pemeran utama dalam sinetron ikan terbang. "Ini salah Ana yang nggak bisa jaga diri, jangan salahin Kakak…" Seketika, suasana menjadi lebih panas. Mata semua orang beralih menatap Ara seperti dia pelaku utama dalam drama ini. Ara menahan tawa sinis yang nyaris meledak. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tak meledak. "Apa sih? Drama apa lagi yang kamu mainin, Ana?!" ujar Ara kesal, menatap Ana dengan jijik. Tapi respons yang ia terima justru lebih menyakitkan. "Diam, Ara!" bentak Umar—ayahnya. "Harusnya kamu minta maaf ke adik kamu! Bukan malah membentaknya!" Ara menahan napas. Matanya mulai memanas, tapi bukan karena bersalah. Melainkan karena dipaksa merasa bersalah atas sesuatu yang bahkan tak ia lakukan. "Minta maaf kenapa, Pa? Memangnya Ara melakukan apa?" suaranya mulai meninggi, tapi masih mencoba tegar. Umar membalas dengan nada lebih tinggi, "Semalam kamu ke mana, hah?! Kamu tahu, adik kamu nungguin kamu sampai larut malam! Dia nungguin kamu di depan hotel, dia hampir dilecehkan orang!" Ara tercekat. Ia memalingkan wajahnya pelan ke arah Ana. Ana menangis. Dengan sempurna. Air mata jatuh tanpa suara, dan tubuhnya tampak gemetar di pelukan Rafi. Lelaki yang semalam ia lihat menggagahi Ana di kamar hotel. Lelaki yang sekarang justru memeluk "adik angkat"-nya dengan pelindungan yang tak pernah ia tunjukkan pada Ara sendiri. Ara menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya kini mengepal begitu kuat sampai jemarinya memutih. Sampai di titik ini, Ara sadar, tidak ada yang berubah. Tidak pernah. “Sayang, kamu tahu kan, tubuh adik kamu lemah," ujar ibunya, Indri, kini berjalan mendekat. Suaranya lembut, menyentuh pipi Ara seolah mencoba bersikap hangat, tapi Ara tahu, itu hanya topeng. "Dia nggak bisa kena angin terlalu lama. Untung semalam ada Nak Rafi yang nolongin Ana, kalau enggak, Mama nggak tahu lagi gimana.” Dan saat itu, sesuatu dalam diri Ara retak. Oke. Jadi ini semua salah Ara. Seperti biasa. Seolah semua orang hidup hanya untuk menyalahkannya. Seolah Ana adalah gadis paling suci tak berdosa yang tak pernah bisa melakukan kesalahan. Dan Ara? Selalu menjadi kambing hitam. Selalu menjadi pihak yang harus mengalah. Ia tertawa kecil. Pahit. Tak bersuara. Matanya kini menatap satu per satu orang di ruang itu. Ayahnya, yang memukul tanpa bertanya. Ibunya, yang hanya bisa menyalahkan dengan manisnya manipulasi. Ana, si malaikat palsu. Dan Rafi, lelaki yang sudah lama ia kenal, tapi ternyata tak pernah benar-benar membelanya. Tak satu pun dari mereka berdiri di sisinya. Ara menyentuh pipinya yang masih panas karena tamparan tadi. Lalu ia menarik napas dalam dan pergi. “Ara, tunggu!” Rafi berlari kecil, berhasil meraih pergelangan tangannya di tengah tangga. Ara menoleh cepat, tatapannya tajam bagai pisau. “Apa? Kamu masih belum puas?” suaranya dingin, namun getarannya menunjukkan luka yang dalam. Mata itu, yang dulu penuh cinta, kini hanya menyimpan kebencian. “Semalam aku udah coba buat jelasin ke kamu, Ra. Tapi kamu—” “Kamu yang selingkuh di belakangku. Kamu yang nyakitin aku… tapi sekarang, kamu mau buat drama kayak gini?” sela Ara dingin. “Sejahat inikah orang yang selama ini kupercaya?”Feby menelan ludah. “Tuh cewek… duduk sebangku sama Miko.”Dinda masih diam.Tapi bahunya tegang.Jarinya yang memegang sedotan bergetar sedikit.Feby melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi jelas berbahaya.“Dan… gue dengar dari anak-anak tadi pagi… Miko yang anterin cewek itu ke ruang guru.”Dinda membeku.“Banyak yang lihat mereka deket banget,” tambah Feby, semakin menjerumuskan suasana.Keheningan turun ke meja kecil itu. Kantin tetap bising, tapi semua suara seolah meredup di telinga Dinda.Ia menatap jusnya, tapi pikirannya tidak di sana. Rahangnya mengeras. Nafasnya naik turun perlahan, menahan sesuatu dalam dirinya.Satu kalimat akhirnya keluar pelan, dingin, dan menusuk.“Miko nganterin dia?” Feby mengangguk cepat, takut sekaligus penasaran.Dinda menggigit bibir bawahnya, matanya meredup dengan emosi yang sulit ditebak cemburu, marah, atau merasa tersaingi.Ia diam. Beberapa detik. Beberapa detik yang panjang. Feby menela
Tubuh Kayla terpental sedikit, dan ia terjatuh ke lantai dengan kedua telapak tangan menahan tubuhnya. Kaget, malu, dan sakit bercampur jadi satu. Ranselnya tergelincir ke depan, dan rambutnya menutupi sebahagian wajahnya.“Aduh…” gumamnya pelan.Saat ia hendak bangkit sendiri, sebuah tangan terulur ke arahnya. Tangan besar, tegap, dengan jari-jari panjang yang menunjukkan pemiliknya sering beraktivitas fisik. Sentuhan udara dari tangan itu membuat Kayla mendongak.Begitu melihat wajah pemiliknya, matanya langsung melebar dan senyumnya muncul begitu cepat, begitu tulus.“Miko!” serunya tak bisa menahan rasa senang itu.Wajah Miko yang semula datar berubah menjadi sedikit terkejut, kemudian melunak. Suaranya keluar dengan nada yang tidak menyembunyikan keheranan.“Lo ngapain kesini?” tanyanya.Kayla hampir ingin tertawa saking leganya bertemu orang yang ia kenal. Di kota besar seperti Jakarta, di sekolah sebesar ini, bertemu Miko terasa sepe
Hari pertama masuk sekolah.Kayla Anastasia hampir tidak bisa tidur semalaman karena terlalu bersemangat. Begitu alarm berbunyi pukul lima pagi, ia langsung bangun, merapikan kosan kecilnya yang hanya berisi tempat tidur single, lemari plastik, dan meja lipat sederhana. Udara pagi masih lembap ketika Kayla keluar sambil menuntun sepeda tuanya sepeda yang ia bawa jauh dari kampung halaman sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa ia andalkan.“Bismillah,” gumamnya pelan sebelum mengayuh pedal.Perjalanannya menuju sekolah memakan waktu sekitar lima belas menit, melewati ruko-ruko yang baru buka, beberapa pedagang sarapan, dan jalan besar yang mulai ramai oleh mobil para pekerja. Meski sesekali ia harus menepi karena motor dan mobil yang saling berebut jalan, Kayla tetap tersenyum. Hari ini adalah permulaan baru sekolah unggulan, beasiswa penuh, dan kesempatan mengubah hidup.Ketika gerbang sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kayla melambatkan kayuhan sepeda. Matanya membesa
“Assalamualaikum! Mamaaa, anaknya pulang nih!” Suara Miko menggema memenuhi ruang tamu begitu pintu utama dibuka. “Waalaikumsalam! Kenapa sih harus teriak begitu? Heran deh ah!” Marsha yang sedang memotong buah di meja makan langsung menoleh dan mengomel, walau tatapannya tetap lembut. “Hehehe, maaf Ma.” Miko nyengir, menurunkan tas sekolahnya ke sofa, lalu menggaruk tengkuk tanpa rasa bersalah. “Buruan mandi sana, abis itu makan. Mama masak sop ayam kesukaan kamu.” ucap Marsha sambil berjalan menghampiri anak semata wayangnya. “Papa belum pulang?” tanya Miko sambil melepas sepatu dan melemparkan tubuhnya ke sofa. “Besok,” jawab Marsha singkat. Miko langsung memutar kepala. “Loh, kok besok? Katanya hari ini?” Marsha menghela napas panjang. Nampak jelas wajah lelah seorang istri yang sudah terlalu sering mendengar kata “besok” dari suaminya. “Ada urusan mendadak di sana.” “Apa lagi sih, Ma?” Miko bangkit duduk. “Papa tuh terlalu sibuk di luar.” “Miko.” Nada Marsha mengeras.
“Udah, ayo gue anter. Lo mau kemana? Gue baik, gue bukan preman. Gue masih sekolah, nih seragam gue.” Miko sampai membuka jaketnya sambil memaksa gadis itu melihat logo SMA Gaharu di dada kirinya. “Kalau gue macem-macem, lo bisa laporin ke polisi!” Dia bicara cepat, panjang, dan terlihat sangat ingin membuktikan dirinya bukan penjahat. Gadis itu terpaku beberapa detik. Matanya meneliti seragam Miko, lalu beralih ke wajahnya. “Kamu anak Gaharu?” tanya Kayla sedikit terkejut. “Nah!” Miko mengangkat tangan, lega. “Lo tahu sekolah gue?” Gadis itu mengangguk pelan, meski ekspresinya masih waspada. “Ya udah ayo gue bantu. Gue cuma mau tanggung jawab doang elah!” kata Miko setengah mengeluh, tapi tetap menunduk mengambil kardus gadis itu. ‘’Tapi—“ ‘’Gak usah tapi-tapian. Masih untung lo ketemunya sama malaikat kaya gue, sama kaya yang lo bilang, Jakarta itu keras. Daripada lo nanti ketemu preman beneran, mending gue anter, ayo buruan!’’ Akhirnya, setelah tarik ulur bati
Pulang sekolah, halaman parkiran sudah mulai lengang. Beberapa murid bergegas pulang, beberapa nongkrong sambil memesan es teh di kantin kecil dekat gerbang. Di antara deretan motor yang berjejer, Miko baru saja mengeluarkan helm dari dalam jok ketika dua sahabat karibnya, Rizky dan Ryan mendekat sambil mengunyah permen karet. Rizky menyikut lengan Miko dengan gaya sok akrab. “Gimana tadi pagi? Cancel lagi putusnya?” Miko menghembuskan napas, memasang wajah bangga. “Iyalah. Sampai mati juga gak bakal gue biarin kita putus!” jawabnya mantap sambil mengetuk dadanya sendiri. Ryan langsung tertawa pecah. “Hahahaha! Lo gak capek apa, Mik? Putus nyambung mulu!” Rizky ikut menimpali sambil menyandarkan diri ke motor Miko. “Gue hitung-hitung, dari SMP sampai sekarang… kayaknya udah lewat seratus kali kalian putus-nyambung. Sumpah! Seratus, Mik! Harusnya kalian bikin kartu stamp gitu, setiap sepuluh kali putus dapat voucher baikan!” “Asli! Drama kalian tuh lebih panjang dari e







