Share

Bab 3

Penulis: Mommy_Ar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 10:57:59

Aga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”

Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap.

Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri.

“Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum.

“Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga.

“Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam.

“Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi.

Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang.

Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak.

Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam.

Menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Ara pun tiba di rumahnya. Dia segera masuk dan langkahnya terhenti di ruang keluarga.

Di sana, sudah ada ayahnya yang duduk dengan wajah tegang. Ibunya menatapnya tajam dari ujung sofa.

Dan di sana, Anabela—gadis manis yang selama ini disebut “adik angkat”, duduk bersandar di bahu Rafi. Ya, Rafi, tunangan Ara yang semalam ingin mengejarnya namun ternyata kembali berbalik pada Ana.

Ara mencoba tetap tenang. Ia menarik napas, lalu melangkah mendekat. Namun belum sempat ia duduk atau sekadar membuka mulut,

Plak!

Sebuah tamparan keras menghantam pipinya. Kepala Ara menoleh ke samping, rambutnya berantakan.

Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti. Tangannya langsung memegang pipi yang memerah. Matanya melebar. Terkejut. Luka. Tapi dia tetap diam.

"Bagus! Hebat kamu, Arabella!" teriak ayahnya dengan wajah merah padam. "Apa ini yang Papa ajarkan selama ini, hah?!"

"M—maksud Papa apa?" tanya Ara menatap sang ayah tak percaya, bibirnya gemetar.

Kenapa dirinya yang ditampar? Bukankah seharusnya Ana dan Raffi yang diadili? Mengapa jadi dirinya?

Namun, belum sempat ayahnya menjawab, suara pelan tapi menyayat datang dari samping.

"Pa, jangan salahin Kakak. Ini salah Ana," gumam Ana lirih. Matanya sembab. Suaranya bergetar lembut, persis seperti pemeran utama dalam sinetron ikan terbang. "Ini salah Ana yang nggak bisa jaga diri, jangan salahin Kakak…"

Seketika, suasana menjadi lebih panas. Mata semua orang beralih menatap Ara seperti dia pelaku utama dalam drama ini.

Ara menahan tawa sinis yang nyaris meledak. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tak meledak.

"Apa sih? Drama apa lagi yang kamu mainin, Ana?!" ujar Ara kesal, menatap Ana dengan jijik. Tapi respons yang ia terima justru lebih menyakitkan.

"Diam, Ara!" bentak Umar—ayahnya. "Harusnya kamu minta maaf ke adik kamu! Bukan malah membentaknya!"

Ara menahan napas. Matanya mulai memanas, tapi bukan karena bersalah. Melainkan karena dipaksa merasa bersalah atas sesuatu yang bahkan tak ia lakukan.

"Minta maaf kenapa, Pa? Memangnya Ara melakukan apa?" suaranya mulai meninggi, tapi masih mencoba tegar.

Umar membalas dengan nada lebih tinggi, "Semalam kamu ke mana, hah?! Kamu tahu, adik kamu nungguin kamu sampai larut malam! Dia nungguin kamu di depan hotel, dia hampir dilecehkan orang!"

Ara tercekat. Ia memalingkan wajahnya pelan ke arah Ana.

Ana menangis. Dengan sempurna. Air mata jatuh tanpa suara, dan tubuhnya tampak gemetar di pelukan Rafi. Lelaki yang semalam ia lihat menggagahi Ana di kamar hotel. Lelaki yang sekarang justru memeluk "adik angkat"-nya dengan pelindungan yang tak pernah ia tunjukkan pada Ara sendiri.

Ara menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya kini mengepal begitu kuat sampai jemarinya memutih.

Sampai di titik ini, Ara sadar, tidak ada yang berubah. Tidak pernah.

“Sayang, kamu tahu kan, tubuh adik kamu lemah," ujar ibunya, Indri, kini berjalan mendekat. Suaranya lembut, menyentuh pipi Ara seolah mencoba bersikap hangat, tapi Ara tahu, itu hanya topeng. "Dia nggak bisa kena angin terlalu lama. Untung semalam ada Nak Rafi yang nolongin Ana, kalau enggak, Mama nggak tahu lagi gimana.”

Dan saat itu, sesuatu dalam diri Ara retak.

Oke. Jadi ini semua salah Ara. Seperti biasa. Seolah semua orang hidup hanya untuk menyalahkannya. Seolah Ana adalah gadis paling suci tak berdosa yang tak pernah bisa melakukan kesalahan.

Dan Ara? Selalu menjadi kambing hitam. Selalu menjadi pihak yang harus mengalah.

Ia tertawa kecil. Pahit. Tak bersuara. Matanya kini menatap satu per satu orang di ruang itu.

Ayahnya, yang memukul tanpa bertanya. Ibunya, yang hanya bisa menyalahkan dengan manisnya manipulasi.

Ana, si malaikat palsu.

Dan Rafi, lelaki yang sudah lama ia kenal, tapi ternyata tak pernah benar-benar membelanya.

Tak satu pun dari mereka berdiri di sisinya. Ara menyentuh pipinya yang masih panas karena tamparan tadi. Lalu ia menarik napas dalam dan pergi.

“Ara, tunggu!” Rafi berlari kecil, berhasil meraih pergelangan tangannya di tengah tangga. Ara menoleh cepat, tatapannya tajam bagai pisau.

“Apa? Kamu masih belum puas?” suaranya dingin, namun getarannya menunjukkan luka yang dalam. Mata itu, yang dulu penuh cinta, kini hanya menyimpan kebencian.

“Semalam aku udah coba buat jelasin ke kamu, Ra. Tapi kamu—”

“Kamu yang selingkuh di belakangku. Kamu yang nyakitin aku… tapi sekarang, kamu mau buat drama kayak gini?” sela Ara dingin. “Sejahat inikah orang yang selama ini kupercaya?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
Wachhh ternyata pemain drama semua keluarga ara dan si rafiah itu ya.......... Udahlah ara pergi sejauh mungkin kamu bisa dari keluarga toxic itu.........
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Jahat kalian ...
goodnovel comment avatar
Henny Aruan
gak tau diri si anak pungut. pake buat drama palsu lg.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status