Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—”
“Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.” Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu. Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya. Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu. Tok. Tok. "Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Suara Mama. Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungguh peduli dengan jawabannya. Pintu terbuka perlahan, dan Indri muncul di sana, tetap dengan wajah khawatir, atau mungkin sekadar wajah yang terlatih untuk menunjukkan ekspresi seperti itu. “Kamu mau ke mana?” tanya Indri hati-hati. “Kerja,” jawab Ara sambil membuka lemari. Tangan gemetar menyentuh baju-baju yang tergantung rapi, tapi pikirannya berkecamuk tak karuan. Indri melangkah mendekat, berhenti di belakang Ara. “Sayang, bukankah kamu bilang hari ini libur? Kamu—” “Ma, Ara mau ganti baju. Tolong keluar dulu,” ucap Ara tanpa menoleh, tak ingin ibunya melihat matanya yang merah dan berkaca-kaca. Sesaat hening. Tapi Indri tidak langsung pergi. Seperti biasa. Selalu pura-pura peduli setelah menusuk diam-diam. “Sayang,” ucapnya pelan, “Kamu marah sama Mama?” Ara tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menatap jendela dengan mata kosong. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Tahan. Tahan. Tahan. Jangan meledak sekarang. Indri maju lagi satu langkah. “Sayang, maafin Mama ya? Mama nggak bermaksud menyalahkan kamu. Hanya saja, kamu kan tahu, Ana itu lemah.” Ara menutup mata. Kalimat itu lagi. Ana itu lemah. Ana itu yatim piatu. Ana itu perlu dimengerti. “Dia nggak punya siapa-siapa sejak kecil,” lanjut Indri. “Jadi Mama mohon pengertian kamu ya, Nak.” Sebuah tawa getir lolos dari bibir Ara. Senyum mengembang di wajahnya, tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum seorang gadis yang terlalu sering ditusuk dari belakang oleh orang yang seharusnya paling melindunginya. Ara menatap mata ibunya dalam-dalam. “Pengertian?” beo Ara, nyaris tak terdengar. “Ara udah ngasih itu seumur hidup, Ma.” Indri terdiam menatap putrinya yang penuh luka. Ara sudah mengalah dari kecil. Sewaktu Ana masuk ke rumah ini, Ara menerimanya dengan baik. Sewaktu orang tuanya lebih memilih membela Ana setiap kali mereka bertengkar, Ara hanya diam. Pun ketika Ara disalahkan atas semua yang tidak pernah ia lakukan, Ara tidak mengatakan apapun. Dan sekarang, setelah semua itu, ibunya meminta pengertian lagi? Indri hendak membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. “Ara bahkan udah nggak tahu lagi, siapa sebenarnya anak kandung Mama di rumah ini.” Ara lantas mengambil kemeja putih dari lemari, melangkah ke kamar mandi tanpa menatap ibunya lagi. Tapi sebelum menutup pintu, ia sempat berbisik pelan tapi cukup untuk menghantam jantung Indri. “Kadang Ara berpikir, kalau Mama bisa memilih, Mama pasti akan lebih memilih Ana yang lahir dari rahim Mama, bukan aku.” Ara melangkah cepat menuruni tangga dengan setelan kantornya yang rapi. Wajahnya datar, tatapannya kosong dan sulit dibaca. Ia langsung menuju pintu, tidak mengucap sepatah kata pun kepada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu. “Rafi, tolong kamu kejar Ara,” titah Indri dari belakang putrinya. “Baik, Tante!” Rafi segera berdiri. Ia tahu Ara masih marah, tapi ia tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, ia berlari keluar rumah, menembus udara pagi yang dingin. “Aku antar!” Rafi menyusul Ara yang baru saja membuka pintu mobilnya sendiri. “Nggak usah!” Ara menjawab tanpa menoleh, suaranya tegas. “Aku antar, Ra!” Rafi kembali mencoba, kali ini suaranya memohon. “Aku bilang enggak ya enggak! Lepas!” Ara menepis tangan Rafi yang mencoba menahan pintunya. “Ra, please! Kita bisa bicara baik-baik!” suara Rafi nyaris pecah. Ia berdiri di depan pintu mobil, menghalangi Ara yang ingin menutupnya. Ara mematung sesaat. Hatinya terasa seperti diremas, nyeri dan panas. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya terasa berat, dan dalam hati kecilnya, ada bagian yang masih ingin mendengar penjelasan. Akhirnya, tanpa kata, ia menyerah dan berpindah ke kursi penumpang. Rafi segera masuk ke sisi kemudi, menyalakan mesin, lalu melajukan mobil mereka ke jalan raya yang mulai ramai. Di dalam, hanya ada suara mesin dan detak jantung dua orang yang duduk berdampingan, namun dipisahkan jarak yang begitu jauh. Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh menit yang diisi dengan keheningan, akhirnya mobil milik Rafi tiba di depan gedung perkantoran modern tempat Ara magang—sekaligus milik sahabat Rafi. Ara segera meraih tasnya, siap keluar, namun tiba tiba terdengar bunyi klik. Rafi sengaja menekan tombol pengunci. Ara langsung menoleh dengan tatapan marah. “Buka pintunya!” “Ra,” Rafi menatapnya penuh penyesalan, jemarinya menggenggam erat setir. “Aku akui, aku salah. Maafin aku. Aku memang bajingan karena sudah tergoda sama Ana. Maafin aku, Ra.” Ara menghela napas kasar. “Kamu sadar kalau kamu bajingan.” “Maafin aku, Ra. Aku khilaf,” suaranya merendah, hampir seperti berbisik. Ara tersenyum getir. “Khilaf? Sudah berapa kali?” “Baru sekali ini, Ra, sungguh. Aku nggak pernah melakukan lebih sama dia.” Ara memalingkan wajah, menatap keluar jendela. “Berhenti bohongin aku, Raf.” “Ara, aku mohon sama kamu. Maafin aku, tolong, jangan batalkan pernikahan kita,” Rafi menatapnya lekat, suaranya bergetar. Ara langsung menoleh, tatapannya tajam menusuk. “Apa maumu, Raf? Kenapa kamu nggak nikahin Ana aja? Kenapa harus aku!?” suaranya pecah, penuh emosi. Rafi menghela napas panjang, matanya memohon. “Ara, kamu tahu jelas, Mamaku baru keluar rumah sakit. Mama nggak begitu suka sama Ana, karena Ana nggak jelas asal-usulnya. Mama cuma mau kamu, Ra.” Ara tertawa kecil, tapi nadanya penuh kepahitan. “Jadi maksud kamu, aku harus tetap menikah sama bajingan kayak kamu?” “Ra, please, perjodohan ini sudah ada sejak kita kecil.” Ara membalas dengan suara tinggi, matanya mulai basah. “Kamu tahu ini perjodohan sejak kita kecil, tapi kenapa kamu khianati aku, Raf?!” “Aku, minta maaf. Sungguh, aku bener-bener minta maaf. Aku janji akan perbaiki ini. Aku mohon, Ra,” Rafi menunduk, suaranya hampir hilang. Ara terdiam beberapa detik, napasnya berat. Ia memikirkan orang tua Rafi yang selama ini sangat menyayanginya, menganggapnya seperti anak sendiri. Namun bayangan pengkhianatan itu masih terlalu jelas di kepalanya. Ia tahu, meski hatinya masih ada sedikit rasa, luka itu terlalu dalam untuk diabaikan. Tangannya meraih pintu, membuka kunci dengan cepat. Tanpa menatap lagi, Ara keluar dari mobil dan melangkah menuju gedung, meninggalkan Rafi yang masih terpaku di kursi kemudi, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup. Ara keluar dari mobil dengan langkah cepat, wajahnya memerah karena marah. Rafi langsung ikut turun, napasnya terengah oleh ketegangan sejak pagi. “Ara! Tunggu!” Ia berlari mengejar, tapi Ara justru mempercepat langkahnya menuju pintu masuk kantor. Namun, tiba-tiba…. Bruk! Ara menabrak sesuatu yang keras. Atau lebih tepatnya, seseorang. Ara mendongak, dan pandangannya bertemu dengan dada bidang seorang pria berjas rapi. Wajahnya tampan, rahang tegas, dan sorot mata datar seperti tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk di sekitarnya. “Aga…” “Kalian lagi ada masalah apa sebenarnya?” suara pria itu datar, namun nada tegasnya membuat keduanya terhenti. “Bukan apa-apa!” jawab Rafi cepat. “Selesaikan di luar, jangan membuat keributan di kantorku!” ucap Aga singkat, suaranya mengandung perintah yang tak bisa dibantah."Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah."Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu."Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi.Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi."Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama.""Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara."Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu?Rafi melirik ke
"Ara, Anna ini adik kamu," ucap Rafi pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang berusaha mendamaikan keadaan."Dan Aga juga sahabat kamu," balas Ara santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mulai terasa di meja makan itu."Ara!" tegur Rafi, matanya menatap tajam pada Ara."Sudah! Kenapa malah kalian berantem," lerai tante Hera. Wanita itu menghela napas, kedua matanya memandang penuh iba pada Ara."Maaf Tante," ucap Ara, menundukkan kepalanya."Gapapa sayang," tante Hera menggenggam tangan Ara dengan hangat, berusaha menenangkan suasana. "Aga kan juga sudah tante anggap anak Tante sendiri.""Terimakasih Tante," ucap Aga tulus, sedikit tersenyum sambil melirik Ara yang masih menunduk.Rafi mendengus kasar, jelas sekali rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Makan siang itu pun berlangsung hening. Suara sendok beradu dengan piring terdengar sayup-sayup, hanya sesekali Tante Hera dan Ara yang berusaha membuka percakapan. Suasana meja terasa kaku dan penuh tekanan.Hingga
“Lebih baik, kamu istirahat aja di sini!” kata Aga sambil menatap Ara yang masih duduk di ujung sofa. “Enggak ah,’’ Ara menggeleng cepat. ‘’kalau aku di sini lama-lama, nanti jadi gosip.” Ara menegakkan punggung, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski matanya masih berat dan tubuhnya jelas limbung. “Gosip selingkuh juga?” Aga mengangkat alis, mencoba membaca maksudnya. “Bukan!’’ Ara menjawab cepat, matanya melebar sebentar. “Lalu?” tanya Aga, kini dengan nada yang sedikit penasaran, sedikit curiga. “Gosip aku dapat nilai bagus gara-gara deketin CEO. Nanti ada yang lapor ke kampusku,” ujarnya sambil terkekeh. Aga hanya menggeleng, lalu menghela napas berat. Ia memandang Ara lama, cukup kagum dengan ketegaran gadis itu. Andai saja, Raffi bukan sahabatnya, mungkin sudah sejak lama Aga akan mendekati Ara. ‘’Astaga!’’ Aga segera menyadarkan dirinya saat pikiran buruk itu kembali menyerang pikiran nya. Aga kembali duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang
“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh. “Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!” Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling. “Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam. “Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri. “Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit. “Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat. Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?” “Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga. ‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah. Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk m
Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—” “Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.” Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu. Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya. Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu. Tok. Tok. "Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Suara Mama. Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungg
Aga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap.Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri.“Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum.“Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga.“Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam.“Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi.Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang. Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak. Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam.Menempuh