Share

Bab 4

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-07-09 11:28:42

Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—”

“Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.”

Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh.

Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu.

Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya.

Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu.

Tok. Tok.

"Sayang, kamu nggak apa-apa kan?"

Suara Mama.

Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungguh peduli dengan jawabannya.

Pintu terbuka perlahan, dan Indri muncul di sana, tetap dengan wajah khawatir, atau mungkin sekadar wajah yang terlatih untuk menunjukkan ekspresi seperti itu.

“Kamu mau ke mana?” tanya Indri hati-hati.

“Kerja,” jawab Ara sambil membuka lemari. Tangan gemetar menyentuh baju-baju yang tergantung rapi, tapi pikirannya berkecamuk tak karuan.

Indri melangkah mendekat, berhenti di belakang Ara. “Sayang, bukankah kamu bilang hari ini libur? Kamu—”

“Ma, Ara mau ganti baju. Tolong keluar dulu,” ucap Ara tanpa menoleh, tak ingin ibunya melihat matanya yang merah dan berkaca-kaca.

Sesaat hening. Tapi Indri tidak langsung pergi. Seperti biasa. Selalu pura-pura peduli setelah menusuk diam-diam.

“Sayang,” ucapnya pelan, “Kamu marah sama Mama?”

Ara tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menatap jendela dengan mata kosong. Tangannya mengepal di sisi tubuh.

Tahan. Tahan. Tahan. Jangan meledak sekarang.

Indri maju lagi satu langkah. “Sayang, maafin Mama ya? Mama nggak bermaksud menyalahkan kamu. Hanya saja, kamu kan tahu, Ana itu lemah.”

Ara menutup mata. Kalimat itu lagi. Ana itu lemah. Ana itu yatim piatu. Ana itu perlu dimengerti.

“Dia nggak punya siapa-siapa sejak kecil,” lanjut Indri. “Jadi Mama mohon pengertian kamu ya, Nak.”

Sebuah tawa getir lolos dari bibir Ara. Senyum mengembang di wajahnya, tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum seorang gadis yang terlalu sering ditusuk dari belakang oleh orang yang seharusnya paling melindunginya.

Ara menatap mata ibunya dalam-dalam. “Pengertian?” beo Ara, nyaris tak terdengar. “Ara udah ngasih itu seumur hidup, Ma.”

Indri terdiam menatap putrinya yang penuh luka.

Ara sudah mengalah dari kecil. Sewaktu Ana masuk ke rumah ini, Ara menerimanya dengan baik. Sewaktu orang tuanya lebih memilih membela Ana setiap kali mereka bertengkar, Ara hanya diam. Pun ketika Ara disalahkan atas semua yang tidak pernah ia lakukan, Ara tidak mengatakan apapun.

Dan sekarang, setelah semua itu, ibunya meminta pengertian lagi?

Indri hendak membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.

“Ara bahkan udah nggak tahu lagi, siapa sebenarnya anak kandung Mama di rumah ini.”

Ara lantas mengambil kemeja putih dari lemari, melangkah ke kamar mandi tanpa menatap ibunya lagi.

Tapi sebelum menutup pintu, ia sempat berbisik pelan tapi cukup untuk menghantam jantung Indri.

“Kadang Ara berpikir, kalau Mama bisa memilih, Mama pasti akan lebih memilih Ana yang lahir dari rahim Mama, bukan aku.”

Ara melangkah cepat menuruni tangga dengan setelan kantornya yang rapi.

Wajahnya datar, tatapannya kosong dan sulit dibaca. Ia langsung menuju pintu, tidak mengucap sepatah kata pun kepada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu.

“Rafi, tolong kamu kejar Ara,” titah Indri dari belakang putrinya.

“Baik, Tante!” Rafi segera berdiri.

Ia tahu Ara masih marah, tapi ia tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, ia berlari keluar rumah, menembus udara pagi yang dingin.

“Aku antar!” Rafi menyusul Ara yang baru saja membuka pintu mobilnya sendiri.

“Nggak usah!” Ara menjawab tanpa menoleh, suaranya tegas.

“Aku antar, Ra!” Rafi kembali mencoba, kali ini suaranya memohon.

“Aku bilang enggak ya enggak! Lepas!” Ara menepis tangan Rafi yang mencoba menahan pintunya.

“Ra, please! Kita bisa bicara baik-baik!” suara Rafi nyaris pecah. Ia berdiri di depan pintu mobil, menghalangi Ara yang ingin menutupnya.

Ara mematung sesaat. Hatinya terasa seperti diremas, nyeri dan panas. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya terasa berat, dan dalam hati kecilnya, ada bagian yang masih ingin mendengar penjelasan.

Akhirnya, tanpa kata, ia menyerah dan berpindah ke kursi penumpang. Rafi segera masuk ke sisi kemudi, menyalakan mesin, lalu melajukan mobil mereka ke jalan raya yang mulai ramai.

Di dalam, hanya ada suara mesin dan detak jantung dua orang yang duduk berdampingan, namun dipisahkan jarak yang begitu jauh.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh menit yang diisi dengan keheningan, akhirnya mobil milik Rafi tiba di depan gedung perkantoran modern tempat Ara magang—sekaligus milik sahabat Rafi.

Ara segera meraih tasnya, siap keluar, namun tiba tiba terdengar bunyi klik. Rafi sengaja menekan tombol pengunci.

Ara langsung menoleh dengan tatapan marah. “Buka pintunya!”

“Ra,” Rafi menatapnya penuh penyesalan, jemarinya menggenggam erat setir. “Aku akui, aku salah. Maafin aku. Aku memang bajingan karena sudah tergoda sama Ana. Maafin aku, Ra.”

Ara menghela napas kasar. “Kamu sadar kalau kamu bajingan.”

“Maafin aku, Ra. Aku khilaf,” suaranya merendah, hampir seperti berbisik.

Ara tersenyum getir. “Khilaf? Sudah berapa kali?”

“Baru sekali ini, Ra, sungguh. Aku nggak pernah melakukan lebih sama dia.”

Ara memalingkan wajah, menatap keluar jendela. “Berhenti bohongin aku, Raf.”

“Ara, aku mohon sama kamu. Maafin aku, tolong, jangan batalkan pernikahan kita,” Rafi menatapnya lekat, suaranya bergetar.

Ara langsung menoleh, tatapannya tajam menusuk. “Apa maumu, Raf? Kenapa kamu nggak nikahin Ana aja? Kenapa harus aku!?” suaranya pecah, penuh emosi.

Rafi menghela napas panjang, matanya memohon. “Ara, kamu tahu jelas, Mamaku baru keluar rumah sakit. Mama nggak begitu suka sama Ana, karena Ana nggak jelas asal-usulnya. Mama cuma mau kamu, Ra.”

Ara tertawa kecil, tapi nadanya penuh kepahitan. “Jadi maksud kamu, aku harus tetap menikah sama bajingan kayak kamu?”

“Ra, please, perjodohan ini sudah ada sejak kita kecil.”

Ara membalas dengan suara tinggi, matanya mulai basah. “Kamu tahu ini perjodohan sejak kita kecil, tapi kenapa kamu khianati aku, Raf?!”

“Aku, minta maaf. Sungguh, aku bener-bener minta maaf. Aku janji akan perbaiki ini. Aku mohon, Ra,” Rafi menunduk, suaranya hampir hilang.

Ara terdiam beberapa detik, napasnya berat. Ia memikirkan orang tua Rafi yang selama ini sangat menyayanginya, menganggapnya seperti anak sendiri.

Namun bayangan pengkhianatan itu masih terlalu jelas di kepalanya. Ia tahu, meski hatinya masih ada sedikit rasa, luka itu terlalu dalam untuk diabaikan.

Tangannya meraih pintu, membuka kunci dengan cepat. Tanpa menatap lagi, Ara keluar dari mobil dan melangkah menuju gedung, meninggalkan Rafi yang masih terpaku di kursi kemudi, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup.

Ara keluar dari mobil dengan langkah cepat, wajahnya memerah karena marah. Rafi langsung ikut turun, napasnya terengah oleh ketegangan sejak pagi.

“Ara! Tunggu!” Ia berlari mengejar, tapi Ara justru mempercepat langkahnya menuju pintu masuk kantor. Namun, tiba-tiba….

Bruk!

Ara menabrak sesuatu yang keras. Atau lebih tepatnya, seseorang.

Ara mendongak, dan pandangannya bertemu dengan dada bidang seorang pria berjas rapi. Wajahnya tampan, rahang tegas, dan sorot mata datar seperti tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk di sekitarnya.

“Aga…”

“Kalian lagi ada masalah apa sebenarnya?” suara pria itu datar, namun nada tegasnya membuat keduanya terhenti.

“Bukan apa-apa!” jawab Rafi cepat.

“Selesaikan di luar, jangan membuat keributan di kantorku!” ucap Aga singkat, suaranya mengandung perintah yang tak bisa dibantah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
Udahlah ara... pergi sejauh mungkin dr keluargamu yang toxic......... apalagi si rafiah tuch dah kaya jualan obat aja... ......
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Rafi nyebelin banget dasar buaya
goodnovel comment avatar
Henny Aruan
jangan mau di kibuli bajingan ra. biar z mama y metong siapa suruh bertingkah ga mikirin perasaan mu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status