“Lebih baik, kamu istirahat aja di sini!” kata Aga sambil menatap Ara yang masih duduk di ujung sofa.
“Enggak ah,’’ Ara menggeleng cepat. ‘’kalau aku di sini lama-lama, nanti jadi gosip.” Ara menegakkan punggung, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski matanya masih berat dan tubuhnya jelas limbung. “Gosip selingkuh juga?” Aga mengangkat alis, mencoba membaca maksudnya. “Bukan!’’ Ara menjawab cepat, matanya melebar sebentar. “Lalu?” tanya Aga, kini dengan nada yang sedikit penasaran, sedikit curiga. “Gosip aku dapat nilai bagus gara-gara deketin CEO. Nanti ada yang lapor ke kampusku,” ujarnya sambil terkekeh. Aga hanya menggeleng, lalu menghela napas berat. Ia memandang Ara lama, cukup kagum dengan ketegaran gadis itu. Andai saja, Raffi bukan sahabatnya, mungkin sudah sejak lama Aga akan mendekati Ara. ‘’Astaga!’’ Aga segera menyadarkan dirinya saat pikiran buruk itu kembali menyerang pikiran nya. Aga kembali duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan angka, tabel, dan proposal yang harus ia revisi. Seharusnya, pagi ini ia sudah bisa tenggelam dalam pekerjaan seperti biasa menganalisis laporan, mengatur strategi, dan mempersiapkan presentasi penting untuk klien. Tapi entah kenapa, fokusnya buyar setiap kali jarum jam bergeser. Bayangan Ara kembali menyeruak, seolah menempel di dinding pikirannya. Senyumnya yang manis tapi penuh luka, tatapan matanya yang memohon sekaligus menantang, dan kalimat itu… "Mau jadi selingkuhan aku nggak?" Aga mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir ingatan itu. Ia mengetik beberapa baris laporan, lalu berhenti lagi. Tangannya menggantung di atas keyboard, tapi pikirannya kembali pada obrolannya tadi. "Astaga! Lama lama aku ikutan gila!’’ gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu, kalau ia terus memikirkan ini, ada kemungkinan besar ia akan membuat kesalahan bukan hanya di pekerjaan, tapi juga dalam hubungannya dengan Rafi. Dan itu akan jadi masalah besar. Pintu ruangan Aga di ketuk, Ara memasuki ruangan itu dengan membawa sebuah berkas. ‘’Pak, ini ada laporan anda minta revisi kemarin,” ‘’Letakkan disitu, nanti aku lihat!’’ jawab Aga, sengaja tidak melihat Ara karena ingin fokus bekerja. ‘’Baik Pak!’’ Aga menghela napas berat, mengira bahwa Ara sudah pergi. Tapi ternyata, gadis itu masih berada di depan meja nya. ‘’Ada apa lagi?’’ tanya Aga. ‘’Ada email dari klien yang minta revisi konsep dalam waktu dua hari,’’ kata Ara. Aga mengangguk, ‘’Kirimkan ke emailku!’’ ‘’Baik Pak,” ‘’Ada lagi?’’ ‘’Ada,” ‘’Katakan!’’ ucap Aga kembali fokus pada pekerjaannya di meja. ‘’Makan siang nanti, bapak ada jadwal gak?’’ Mendengar pertanyaan itu, Aga langsung mendongak dan menatap kearah Ara, ‘’Bukankah kamu yang tahu jadwal ku?’’ ‘’Iya sih,” Ara mengangguk ragu, ‘’Jadwal bapak kosong siang ini.” Aga tidak bicara, tapi dahinya dibuat mengernyit heran, sampai tiba-tiba Ara kembali melanjutkan pembicaraan. ‘’Jika bapak Aga tidak keberatan, bisakah temani saya makan siang?’’ ‘’Makan siang? Dengan siapa?’’ Aga seolah paham dengan tawaran yang diberikan oleh Ara. Gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Otomatis, jika Ara mengajaknya menemaninya, pasti Ara akan menemui seseorang. ‘’Tante Hera,’’ jawab Ara pelan dan ragu. Aga mengangguk, ‘’Ya udah.’’ Senyuman Ara langsung merekah, dia segera pamit keluar dan melanjutkan pekerjaan, menunggu makan siang tiba untuk bertemu dengan tante Hera, ibu kandung Raffi. ** J&F Caffe and Resto. Mobil yang ditumpangi Aga berhenti. Ia dan Ara segera turun dan masuk kedalam. Dan sesuai dugaan Ara, bahwa disana suda hada tante Hera, Raffi dan satu lagi, bagai tamu tak diundang, Annabella. ‘’Tante …” sapa Ara tersenyum. ‘’Sayang, Tante kangen banget sama kamu!’’ Ara dan Tante Hera berpelukan dan cipika-cipiki, lalu Tante Hera juga mengajak Ara agar duduk di sampingnya. Dan kini, meja makan itu di isi oleh lima orang. ‘’Ara, kenapa kamu bawa Aga kesini?’’ tanya Raffi membuka suara, matanya sesekali melirik kearah sahabatnya sendiri. Bukan tidak suka, hanya saja Raffi masih sedikit kesal lantaran tadi diusir oleh Aga. ‘’Kenapa? Kamu terganggu sama Aga?’’ kata Ara menatap tajam kearah Raffi. ‘’Bukan, hanya saja ini kan acara keluarga,” ‘’Oh ya? Lalu sejak kapan Anna jadi keluargamu? Kenapa dia bisa kamu bawa, dan Aga tidak?’’"Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah."Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu."Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi.Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi."Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama.""Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara."Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu?Rafi melirik ke
"Ara, Anna ini adik kamu," ucap Rafi pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang berusaha mendamaikan keadaan."Dan Aga juga sahabat kamu," balas Ara santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mulai terasa di meja makan itu."Ara!" tegur Rafi, matanya menatap tajam pada Ara."Sudah! Kenapa malah kalian berantem," lerai tante Hera. Wanita itu menghela napas, kedua matanya memandang penuh iba pada Ara."Maaf Tante," ucap Ara, menundukkan kepalanya."Gapapa sayang," tante Hera menggenggam tangan Ara dengan hangat, berusaha menenangkan suasana. "Aga kan juga sudah tante anggap anak Tante sendiri.""Terimakasih Tante," ucap Aga tulus, sedikit tersenyum sambil melirik Ara yang masih menunduk.Rafi mendengus kasar, jelas sekali rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Makan siang itu pun berlangsung hening. Suara sendok beradu dengan piring terdengar sayup-sayup, hanya sesekali Tante Hera dan Ara yang berusaha membuka percakapan. Suasana meja terasa kaku dan penuh tekanan.Hingga
“Lebih baik, kamu istirahat aja di sini!” kata Aga sambil menatap Ara yang masih duduk di ujung sofa. “Enggak ah,’’ Ara menggeleng cepat. ‘’kalau aku di sini lama-lama, nanti jadi gosip.” Ara menegakkan punggung, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski matanya masih berat dan tubuhnya jelas limbung. “Gosip selingkuh juga?” Aga mengangkat alis, mencoba membaca maksudnya. “Bukan!’’ Ara menjawab cepat, matanya melebar sebentar. “Lalu?” tanya Aga, kini dengan nada yang sedikit penasaran, sedikit curiga. “Gosip aku dapat nilai bagus gara-gara deketin CEO. Nanti ada yang lapor ke kampusku,” ujarnya sambil terkekeh. Aga hanya menggeleng, lalu menghela napas berat. Ia memandang Ara lama, cukup kagum dengan ketegaran gadis itu. Andai saja, Raffi bukan sahabatnya, mungkin sudah sejak lama Aga akan mendekati Ara. ‘’Astaga!’’ Aga segera menyadarkan dirinya saat pikiran buruk itu kembali menyerang pikiran nya. Aga kembali duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang
“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh. “Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!” Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling. “Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam. “Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri. “Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit. “Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat. Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?” “Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga. ‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah. Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk m
Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—” “Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.” Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu. Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya. Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu. Tok. Tok. "Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Suara Mama. Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungg
Aga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap.Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri.“Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum.“Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga.“Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam.“Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi.Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang. Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak. Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam.Menempuh