Share

Bab 5

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-07-09 11:43:09

“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh.

“Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!”

Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling.

“Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam.

“Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri.

“Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit.

“Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat.

Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?”

“Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga.

‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah.

Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk membuat Rafi akhirnya menghela napas kasar, lalu melepaskan genggamannya. Rahangnya mengeras, tapi ia tahu ia kalah untuk saat ini.

Ara segera melangkah masuk ke lobi kantor, meninggalkan Rafi yang masih berdiri di luar bersama Aga.

Udara di parkiran terasa berat campuran amarah, gengsi, dan rasa malu yang menempel di langkah Rafi saat ia berbalik meninggalkan tempat itu.

**

Aga menutup pintu ruangannya pelan, lalu memberi isyarat pada Ara untuk duduk di sofa kulit hitam yang berada di sudut.

Ara menjatuhkan tubuhnya di sana, meremas jemarinya sendiri, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.

Sementara itu, Aga duduk di kursi kerja di belakang meja, memijit pelipisnya perlahan. Ia tahu pagi ini akan panjang.

“Jadi masalah kalian itu apa? Dia sampai datang ke kantorku,’’ kata Aga, sebenarnya dia enggan ikut campur. Tapi melihat Ara yang mabuk semalam, dan pagi ini keduanya membuat rusuh di perusahaannya, membuat Aga mau tak mau harus ikut campur.

“Semalam aku mabuk karena aku lihat perselingkuhan dia.”

“Iya, kamu udah bilang semalam, tapi kurang jelas.”

Ara menelan ludah. “Rafi selingkuh sama Ana, Ga. Sementara kamu tahu sendiri kan gimana aku sama Ana? Kami nggak pernah akur. Maksud aku, kenapa harus dia? Wajar kan kalau aku mau batalin perjodohan ini?”

Aga hanya diam mencoba jadi pendengar yang baik untuk Ara. Sampai Ara melanjutkan kembali ceritanya.

“Aku mau berhenti. Aku nggak mau sama dia lagi, aku jijik, Ga. Aku nggak rela, menikah sama dia. Tapi—” Ara menghentikan ucapannya dan menggigit bibir.

“Tapi apa?” tanya Aga.

“Tapi gimana sama Tante Hera? Aku juga nggak tega lihat dia, Ga. Aku takut, nanti kesehatan tante Hera turun lagi kalau tahu aku sama Raffi putus, aku bingung…”

Aga semakin terdiam, bingung untuk memberikan solusi apa. Di posisi Ara memang berat, dan Aga cukup paham akan hal itu.

Mereka memang sudah saling mengenal cukup lama. Aga adalah sahabat Rafi sejak SMP. Dialah sosok yang tahu bagaimana Rafi tumbuh, berjuang, dan jatuh bangun dalam hidup.

Sementara Ara adalah “jodoh masa kecil” Rafi—pilihan keluarga yang sudah diatur bahkan sebelum keduanya mengerti arti pernikahan.

Sejak kecil, Ara selalu mengekor pada Rafi, seolah dunia hanya berputar di sekitarnya. Meski usia mereka terpaut tiga tahun, Rafi selalu mengayominya.

Namun, sejak orang tua Ara mengadopsi Ana, kebersamaan itu perlahan berubah. Setiap Ara ingin jalan dengan Rafi, Ana selalu ikut, entah dengan alasan apa.

Lama-kelamaan, Rafi pun mulai sering mengajak Aga sebagai “penengah” agar suasana tetap nyaman. Dari situlah Aga dan Ara mulai saling mengenal lebih dekat, meski tak pernah melampaui batas pertemanan. Sampai hari ini, ketika batas itu mulai terasa samar oleh keadaan.

Aga menghela napas panjang. Di dalam hatinya, ada rasa ingin membela dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia merasa harus memilih berpihak.

“Ga, kalau aku balas selingkuh juga, menurut kamu adil nggak?’’ tanya Ara tiba-tiba.

“Hah?” Aga menatap Ara heran, sedikit tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh gadis itu.

Apakah patah hati membuatnya semakin gila?

“Ga,” Ara bersandar di sofa, memiringkan kepala, senyum miris muncul di bibirnya. “Mau jadi selingkuhan aku nggak?”

“Jangan gila, Ra!” suara Aga meninggi, tapi nadanya lebih ke peringatan daripada marah. Ia menatap tajam, mencoba menembus kabut mabuk di kepala Ara.

“Padahal yang gila… sahabat kamu, Ga.”

Kata-kata itu terdengar lirih, namun menusuk.

“Karena dia udah gila, kamu jangan ikut gila,” ucap Aga mengusap wajahnya dengan kasar.

Ara tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak terdengar bahagia, lalu menggeleng pelan.

“Gimana aku nggak gila, kalau semua orang menggila di belakangku, Ga…” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Hening sejenak.

Suara detik jam di ruang tamu terdengar jelas, seolah waktu ikut memperlambat langkahnya.

“Aku merasa… dunia ini sangat nggak adil buat aku,” imbuh Ara, menatap kosong ke lantai.

Aga menatapnya lama. Di satu sisi, ia marah pada Rafi, marah pada keadaan. Tapi di sisi lain, ia takut Ara benar-benar akan melakukan sesuatu yang akan ia sesali selamanya.

Aga memperhatikan dari samping. Ia tahu, luka yang dirasakan gadis itu bukan luka semalam.

Ini luka lama, yang hanya menunggu satu kejadian untuk terbuka lebar dan mengalirkan semua racun yang selama ini disimpan.

“Aga…” panggil Ara sekali lagi.

“Ya?”

“Kamu mau bantu aku?”

“Bantu apa?”

Ara terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Cari selingkuhan, di mana aku bisa menemukannya?”

Aga menggeram pelan, benar-benar tak habis pikir. Ingin rasanya ia menyumpal mulut gadis itu dengan bantal.

“Kamu nggak mau jadi selingkuhan aku kan?” ujar Ara, tidak memedulikan raut Aga yang mulai keruh. “Jadi aku harus cari target lain. Rasanya nggak adil kalau aku nikah sama Rafi. Dia udah bekas Anna, sementara aku masih original. Aku nggak rela kasih perawanku buat dia!”

Aga langsung terdiam, matanya mengerjap, mencerna lagi apa yang dikatakan oleh Ara beberapa detik yang lalu.

“Kamu cari selingkuhan atau—”

“Partner sex!’’ jawab Ara cepat, memotong pertanyaan Aga.

Mata Aga membola, menatap tajam ke arah Ara, “Jangan gila, Arabella!”

Ara terkekeh. “Kamu tahu, Ga, terkadang memang kita harus gila untuk tetap waras!” sahutnya ringan. “Kamu mau?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
Hahahaha............ Ara sudah frustasi tidak tahu harus bagaimana.. Akhirnya timbul ide "gila" mencari partner diatas ranjang🫢🫢 demi menjaga kewarasan katanya......... Udahlah Aga terima aja ya.... drpd kamu menyesal ara sama orang lain......
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Ayo Aga mau ajalah terima ajakan Ara
goodnovel comment avatar
Henny Aruan
gmn iman ga aman????
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status