LOGIN“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh.
“Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!” Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling. “Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam. “Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri. “Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit. “Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat. Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?” “Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga. ‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah. Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk membuat Rafi akhirnya menghela napas kasar, lalu melepaskan genggamannya. Rahangnya mengeras, tapi ia tahu ia kalah untuk saat ini. Ara segera melangkah masuk ke lobi kantor, meninggalkan Rafi yang masih berdiri di luar bersama Aga. Udara di parkiran terasa berat campuran amarah, gengsi, dan rasa malu yang menempel di langkah Rafi saat ia berbalik meninggalkan tempat itu. ** Aga menutup pintu ruangannya pelan, lalu memberi isyarat pada Ara untuk duduk di sofa kulit hitam yang berada di sudut. Ara menjatuhkan tubuhnya di sana, meremas jemarinya sendiri, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Sementara itu, Aga duduk di kursi kerja di belakang meja, memijit pelipisnya perlahan. Ia tahu pagi ini akan panjang. “Jadi masalah kalian itu apa? Dia sampai datang ke kantorku,’’ kata Aga, sebenarnya dia enggan ikut campur. Tapi melihat Ara yang mabuk semalam, dan pagi ini keduanya membuat rusuh di perusahaannya, membuat Aga mau tak mau harus ikut campur. “Semalam aku mabuk karena aku lihat perselingkuhan dia.” “Iya, kamu udah bilang semalam, tapi kurang jelas.” Ara menelan ludah. “Rafi selingkuh sama Ana, Ga. Sementara kamu tahu sendiri kan gimana aku sama Ana? Kami nggak pernah akur. Maksud aku, kenapa harus dia? Wajar kan kalau aku mau batalin perjodohan ini?” Aga hanya diam mencoba jadi pendengar yang baik untuk Ara. Sampai Ara melanjutkan kembali ceritanya. “Aku mau berhenti. Aku nggak mau sama dia lagi, aku jijik, Ga. Aku nggak rela, menikah sama dia. Tapi—” Ara menghentikan ucapannya dan menggigit bibir. “Tapi apa?” tanya Aga. “Tapi gimana sama Tante Hera? Aku juga nggak tega lihat dia, Ga. Aku takut, nanti kesehatan tante Hera turun lagi kalau tahu aku sama Raffi putus, aku bingung…” Aga semakin terdiam, bingung untuk memberikan solusi apa. Di posisi Ara memang berat, dan Aga cukup paham akan hal itu. Mereka memang sudah saling mengenal cukup lama. Aga adalah sahabat Rafi sejak SMP. Dialah sosok yang tahu bagaimana Rafi tumbuh, berjuang, dan jatuh bangun dalam hidup. Sementara Ara adalah “jodoh masa kecil” Rafi—pilihan keluarga yang sudah diatur bahkan sebelum keduanya mengerti arti pernikahan. Sejak kecil, Ara selalu mengekor pada Rafi, seolah dunia hanya berputar di sekitarnya. Meski usia mereka terpaut tiga tahun, Rafi selalu mengayominya. Namun, sejak orang tua Ara mengadopsi Ana, kebersamaan itu perlahan berubah. Setiap Ara ingin jalan dengan Rafi, Ana selalu ikut, entah dengan alasan apa. Lama-kelamaan, Rafi pun mulai sering mengajak Aga sebagai “penengah” agar suasana tetap nyaman. Dari situlah Aga dan Ara mulai saling mengenal lebih dekat, meski tak pernah melampaui batas pertemanan. Sampai hari ini, ketika batas itu mulai terasa samar oleh keadaan. Aga menghela napas panjang. Di dalam hatinya, ada rasa ingin membela dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia merasa harus memilih berpihak. “Ga, kalau aku balas selingkuh juga, menurut kamu adil nggak?’’ tanya Ara tiba-tiba. “Hah?” Aga menatap Ara heran, sedikit tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh gadis itu. Apakah patah hati membuatnya semakin gila? “Ga,” Ara bersandar di sofa, memiringkan kepala, senyum miris muncul di bibirnya. “Mau jadi selingkuhan aku nggak?” “Jangan gila, Ra!” suara Aga meninggi, tapi nadanya lebih ke peringatan daripada marah. Ia menatap tajam, mencoba menembus kabut mabuk di kepala Ara. “Padahal yang gila… sahabat kamu, Ga.” Kata-kata itu terdengar lirih, namun menusuk. “Karena dia udah gila, kamu jangan ikut gila,” ucap Aga mengusap wajahnya dengan kasar. Ara tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak terdengar bahagia, lalu menggeleng pelan. “Gimana aku nggak gila, kalau semua orang menggila di belakangku, Ga…” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Hening sejenak. Suara detik jam di ruang tamu terdengar jelas, seolah waktu ikut memperlambat langkahnya. “Aku merasa… dunia ini sangat nggak adil buat aku,” imbuh Ara, menatap kosong ke lantai. Aga menatapnya lama. Di satu sisi, ia marah pada Rafi, marah pada keadaan. Tapi di sisi lain, ia takut Ara benar-benar akan melakukan sesuatu yang akan ia sesali selamanya. Aga memperhatikan dari samping. Ia tahu, luka yang dirasakan gadis itu bukan luka semalam. Ini luka lama, yang hanya menunggu satu kejadian untuk terbuka lebar dan mengalirkan semua racun yang selama ini disimpan. “Aga…” panggil Ara sekali lagi. “Ya?” “Kamu mau bantu aku?” “Bantu apa?” Ara terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Cari selingkuhan, di mana aku bisa menemukannya?” Aga menggeram pelan, benar-benar tak habis pikir. Ingin rasanya ia menyumpal mulut gadis itu dengan bantal. “Kamu nggak mau jadi selingkuhan aku kan?” ujar Ara, tidak memedulikan raut Aga yang mulai keruh. “Jadi aku harus cari target lain. Rasanya nggak adil kalau aku nikah sama Rafi. Dia udah bekas Anna, sementara aku masih original. Aku nggak rela kasih perawanku buat dia!” Aga langsung terdiam, matanya mengerjap, mencerna lagi apa yang dikatakan oleh Ara beberapa detik yang lalu. “Kamu cari selingkuhan atau—” “Partner sex!’’ jawab Ara cepat, memotong pertanyaan Aga. Mata Aga membola, menatap tajam ke arah Ara, “Jangan gila, Arabella!” Ara terkekeh. “Kamu tahu, Ga, terkadang memang kita harus gila untuk tetap waras!” sahutnya ringan. “Kamu mau?”Feby menelan ludah. “Tuh cewek… duduk sebangku sama Miko.”Dinda masih diam.Tapi bahunya tegang.Jarinya yang memegang sedotan bergetar sedikit.Feby melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi jelas berbahaya.“Dan… gue dengar dari anak-anak tadi pagi… Miko yang anterin cewek itu ke ruang guru.”Dinda membeku.“Banyak yang lihat mereka deket banget,” tambah Feby, semakin menjerumuskan suasana.Keheningan turun ke meja kecil itu. Kantin tetap bising, tapi semua suara seolah meredup di telinga Dinda.Ia menatap jusnya, tapi pikirannya tidak di sana. Rahangnya mengeras. Nafasnya naik turun perlahan, menahan sesuatu dalam dirinya.Satu kalimat akhirnya keluar pelan, dingin, dan menusuk.“Miko nganterin dia?” Feby mengangguk cepat, takut sekaligus penasaran.Dinda menggigit bibir bawahnya, matanya meredup dengan emosi yang sulit ditebak cemburu, marah, atau merasa tersaingi.Ia diam. Beberapa detik. Beberapa detik yang panjang. Feby menela
Tubuh Kayla terpental sedikit, dan ia terjatuh ke lantai dengan kedua telapak tangan menahan tubuhnya. Kaget, malu, dan sakit bercampur jadi satu. Ranselnya tergelincir ke depan, dan rambutnya menutupi sebahagian wajahnya.“Aduh…” gumamnya pelan.Saat ia hendak bangkit sendiri, sebuah tangan terulur ke arahnya. Tangan besar, tegap, dengan jari-jari panjang yang menunjukkan pemiliknya sering beraktivitas fisik. Sentuhan udara dari tangan itu membuat Kayla mendongak.Begitu melihat wajah pemiliknya, matanya langsung melebar dan senyumnya muncul begitu cepat, begitu tulus.“Miko!” serunya tak bisa menahan rasa senang itu.Wajah Miko yang semula datar berubah menjadi sedikit terkejut, kemudian melunak. Suaranya keluar dengan nada yang tidak menyembunyikan keheranan.“Lo ngapain kesini?” tanyanya.Kayla hampir ingin tertawa saking leganya bertemu orang yang ia kenal. Di kota besar seperti Jakarta, di sekolah sebesar ini, bertemu Miko terasa sepe
Hari pertama masuk sekolah.Kayla Anastasia hampir tidak bisa tidur semalaman karena terlalu bersemangat. Begitu alarm berbunyi pukul lima pagi, ia langsung bangun, merapikan kosan kecilnya yang hanya berisi tempat tidur single, lemari plastik, dan meja lipat sederhana. Udara pagi masih lembap ketika Kayla keluar sambil menuntun sepeda tuanya sepeda yang ia bawa jauh dari kampung halaman sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa ia andalkan.“Bismillah,” gumamnya pelan sebelum mengayuh pedal.Perjalanannya menuju sekolah memakan waktu sekitar lima belas menit, melewati ruko-ruko yang baru buka, beberapa pedagang sarapan, dan jalan besar yang mulai ramai oleh mobil para pekerja. Meski sesekali ia harus menepi karena motor dan mobil yang saling berebut jalan, Kayla tetap tersenyum. Hari ini adalah permulaan baru sekolah unggulan, beasiswa penuh, dan kesempatan mengubah hidup.Ketika gerbang sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kayla melambatkan kayuhan sepeda. Matanya membesa
“Assalamualaikum! Mamaaa, anaknya pulang nih!” Suara Miko menggema memenuhi ruang tamu begitu pintu utama dibuka. “Waalaikumsalam! Kenapa sih harus teriak begitu? Heran deh ah!” Marsha yang sedang memotong buah di meja makan langsung menoleh dan mengomel, walau tatapannya tetap lembut. “Hehehe, maaf Ma.” Miko nyengir, menurunkan tas sekolahnya ke sofa, lalu menggaruk tengkuk tanpa rasa bersalah. “Buruan mandi sana, abis itu makan. Mama masak sop ayam kesukaan kamu.” ucap Marsha sambil berjalan menghampiri anak semata wayangnya. “Papa belum pulang?” tanya Miko sambil melepas sepatu dan melemparkan tubuhnya ke sofa. “Besok,” jawab Marsha singkat. Miko langsung memutar kepala. “Loh, kok besok? Katanya hari ini?” Marsha menghela napas panjang. Nampak jelas wajah lelah seorang istri yang sudah terlalu sering mendengar kata “besok” dari suaminya. “Ada urusan mendadak di sana.” “Apa lagi sih, Ma?” Miko bangkit duduk. “Papa tuh terlalu sibuk di luar.” “Miko.” Nada Marsha mengeras.
“Udah, ayo gue anter. Lo mau kemana? Gue baik, gue bukan preman. Gue masih sekolah, nih seragam gue.” Miko sampai membuka jaketnya sambil memaksa gadis itu melihat logo SMA Gaharu di dada kirinya. “Kalau gue macem-macem, lo bisa laporin ke polisi!” Dia bicara cepat, panjang, dan terlihat sangat ingin membuktikan dirinya bukan penjahat. Gadis itu terpaku beberapa detik. Matanya meneliti seragam Miko, lalu beralih ke wajahnya. “Kamu anak Gaharu?” tanya Kayla sedikit terkejut. “Nah!” Miko mengangkat tangan, lega. “Lo tahu sekolah gue?” Gadis itu mengangguk pelan, meski ekspresinya masih waspada. “Ya udah ayo gue bantu. Gue cuma mau tanggung jawab doang elah!” kata Miko setengah mengeluh, tapi tetap menunduk mengambil kardus gadis itu. ‘’Tapi—“ ‘’Gak usah tapi-tapian. Masih untung lo ketemunya sama malaikat kaya gue, sama kaya yang lo bilang, Jakarta itu keras. Daripada lo nanti ketemu preman beneran, mending gue anter, ayo buruan!’’ Akhirnya, setelah tarik ulur bati
Pulang sekolah, halaman parkiran sudah mulai lengang. Beberapa murid bergegas pulang, beberapa nongkrong sambil memesan es teh di kantin kecil dekat gerbang. Di antara deretan motor yang berjejer, Miko baru saja mengeluarkan helm dari dalam jok ketika dua sahabat karibnya, Rizky dan Ryan mendekat sambil mengunyah permen karet. Rizky menyikut lengan Miko dengan gaya sok akrab. “Gimana tadi pagi? Cancel lagi putusnya?” Miko menghembuskan napas, memasang wajah bangga. “Iyalah. Sampai mati juga gak bakal gue biarin kita putus!” jawabnya mantap sambil mengetuk dadanya sendiri. Ryan langsung tertawa pecah. “Hahahaha! Lo gak capek apa, Mik? Putus nyambung mulu!” Rizky ikut menimpali sambil menyandarkan diri ke motor Miko. “Gue hitung-hitung, dari SMP sampai sekarang… kayaknya udah lewat seratus kali kalian putus-nyambung. Sumpah! Seratus, Mik! Harusnya kalian bikin kartu stamp gitu, setiap sepuluh kali putus dapat voucher baikan!” “Asli! Drama kalian tuh lebih panjang dari e







