LOGINAmara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.
Dengan ragu, Amara menariknya mendekat. “Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan. Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah. Kebaya. Kebaya pengantin. Amara terdiam. Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya. “Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat. Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering. Secepat ini? Bahkan tanpa aku siap? Tiba-tiba— KREKK. Pintu kamarnya terbuka. Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu. Di ambang pintu berdiri Anisa. Wajah perempuan itu kaku. Tatapannya tajam, dingin, dan sama sekali tidak bersahabat. Ia memandang Amara dari ujung kepala hingga kaki, lalu pandangannya jatuh pada kebaya di tangan Amara. Bibir Anisa melengkung… bukan senyum, melainkan senyum sinis. “Oh,” katanya datar, penuh ejekan. “Sudah dapat juga, ya?” Amara refleks menunduk. “Bu… Anisa…” “Cantik,” potong Anisa, melangkah masuk tanpa diundang. Sepatu haknya berbunyi pelan di lantai kamar. “Pantas. Memang cocok untuk perempuan yang tahu caranya mengambil tempat orang lain.” Kata-kata itu menghantam Amara seperti tamparan. “Saya… saya tidak bermaksud—” “Tidak bermaksud?” Anisa terkekeh pendek. “Lalu kau pikir kau ada di sini karena apa? Karena cinta?” Anisa berdiri tepat di depan Amara. Jarak mereka hanya sejengkal. Aroma parfumnya menusuk hidung Amara, membuatnya semakin tertekan. “Kau tahu,” lanjut Anisa dengan suara rendah namun tajam, “aku yang memilih kebaya itu.” Amara mengangkat wajahnya perlahan, terkejut. “Supaya kau tahu,” Anisa mencondongkan tubuhnya sedikit, “bahwa bahkan di hari yang katanya ‘bahagia’ itu… kau tetap berada di bawah bayanganku.” Mata Amara berkaca-kaca. “Saya tidak pernah ingin menggantikan siapa pun,” suaranya bergetar. “Saya hanya—” “Diam,” hardik Anisa pelan namun dingin. Lalu, tanpa peringatan— BRAKK! Anisa membanting pintu kamar Amara dengan keras. Amara tersentak hebat. Tubuhnya terlonjak, kebaya itu hampir terlepas dari tangannya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu. Pintu yang tertutup rapat itu terasa seperti penjara. Air mata akhirnya jatuh. Amara berdiri mematung, menangis tanpa suara. Tangannya mencengkeram kain kebaya itu erat-erat, seolah kain itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh sepenuhnya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menyiksa. Lalu terdengar ketukan pelan. “Non Amara?” Suara Sari. Amara cepat-cepat menyeka air matanya. “I-iya.” Pintu terbuka perlahan. Sari masuk dengan wajah penuh kehati-hatian. Begitu melihat mata Amara yang memerah, Sari langsung paham—tapi ia tidak bertanya. Pandangan Sari tertuju pada kebaya di tangan Amara. “Oh…” gumamnya pelan. Sari mendekat. “Non, saya diperintahkan… untuk membantu Non mencoba baju pengantin itu.” Amara menelan ludah. “Sekarang?” “Iya, Non.” Amara ingin berkata tidak. Ingin menolak. Ingin berteriak bahwa semuanya terlalu cepat, terlalu berat, terlalu menyakitkan. Namun yang keluar hanya anggukan kecil. “Baik.” Sari membantu Amara mengganti pakaian dengan hati-hati. Gerakannya lembut, seolah takut menyakiti hati yang sudah rapuh. Saat kebaya itu akhirnya melekat di tubuh Amara, Sari merapikan bagian bahu dan pinggang. Ia mundur selangkah. “Non… kalau saya boleh jujur,” katanya pelan, “Non terlihat sangat cantik.” Amara menatap cermin. Gadis dalam pantulan itu memang cantik. Anggun. Sempurna secara visual. Tapi matanya kosong. Senyumnya tidak ada. Dan di balik kebaya itu, ada hati yang dipenuhi ketakutan. “Cantik untuk siapa?” Amara berbisik lirih. Sari terdiam. Amara mengangkat tangannya perlahan, menyentuh bordiran emas di dadanya. Ini bukan mimpi indah, pikirnya. Ini adalah kenyataan yang harus aku jalani… apakah aku siap atau tidak. Air mata kembali mengalir, jatuh membasahi kebaya itu. Dan Amara berdiri di sana— seorang gadis muda, berbalut pakaian pernikahan, namun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketidakpastian. Hari itui setelah kebaya, dicoba menjadi rangkaian waktu yang berjalan lambat bagi Amara. Rumah besar itu berdiri megah, dindingnya menjulang, lantainya mengilap, dan setiap sudutnya terawat dengan sangat rapi. Namun bagi Amara, rumah itu tidak ubahnya seperti kurungan yang berlapis kemewahan. Sejak pagi hingga malam, ada aturan yang harus ditaati. Tidak tertulis di papan mana pun, namun terasa jelas dan mengikat seperti rantai tak kasatmata. Tidak boleh keluar kamar tanpa izin. Tidak boleh bertanya terlalu banyak. Tidak boleh membantah perintah siapa pun, terutama Anisa. Dan yang paling berat— tidak boleh menghubungi keluarga tanpa sepengetahuan Tuan Alex. Aturan terakhir itu seperti pisau yang menancap di dada Amara. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang sejak hari pertama berada di dalam laci dan hanya boleh dipakai jika diizinkan. Setiap malam, keinginannya sama: mendengar suara ibu. Mendengar tawa kecil adik-adiknya. Sekadar memastikan mereka baik-baik saja. Namun keinginan itu selalu kandas sebelum sempat menjadi tindakan. “Non Amara, sebaiknya istirahat,” kata Sari suatu malam saat mendapati Amara duduk termenung di dekat jendela. “Besok Non harus bangun pagi.” Amara mengangguk pelan. Selalu begitu. Ia selalu mengangguk. Di balik jendela kamar, langit tampak gelap dan sunyi. Angin malam menggerakkan tirai tipis, seolah ikut mengelus kegelisahan yang tidak pernah reda di dada Amara. Dalam kesunyian itu, kenangan datang tanpa diundang. Wajah ibunya muncul pertama kali. Ibu yang selalu bangun paling pagi, menyiapkan sarapan sederhana dengan senyum hangat. Ibu yang tangannya kasar karena bekerja, tapi selalu lembut saat mengusap kepala Amara. Ibu yang menangis saat melepasnya pergi, seolah tahu bahwa kepergian itu bukan sekadar bekerja. “Bu…” lirih Amara, suaranya nyaris tak terdengar. Air matanya jatuh satu per satu. Ia merindukan pelukan itu. Bau kain ibu. Doa-doa lirih yang selalu dibacakan sebelum tidur. Lalu wajah dua adiknya menyusul. Adik laki-lakinya yang selalu merengek minta dibelikan jajanan. Adik perempuannya yang sering tidur memeluk lengan Amara karena takut gelap. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa kakaknya tiba-tiba pergi dan tidak pulang. Apa mereka mencariku? Apa ibu baik-baik saja tanpa aku? Rindu itu semakin menyesakkan. Namun setiap kali kenangan tentang keluarga muncul, satu wajah lain ikut hadir— wajah bapaknya. Wajah yang dulu ia hormati. Wajah yang dulu ia percayai. Wajah yang kini hanya menyisakan rasa pahit. Amara mengepalkan tangan. Ia teringat jelas bagaimana bapaknya menghindari tatapannya sebelum menyerahkannya pada Alex. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Hanya kalimat singkat yang dibungkus alasan ekonomi. “Kamu bantu keluarga.” Kalimat itu kini terasa kejam. “Bantu?” Amara berbisik getir. “Atau dijual?” Rasa kecewa itu perlahan berubah menjadi kemarahan. Setiap malam, pertanyaan yang sama berputar di kepalanya. Bagaimana seorang ayah bisa menjual anaknya sendiri? Bagaimana seorang bapak bisa tidur nyenyak setelah menghancurkan hidup anaknya? Ia tidak lagi mampu memaafkan. Jika pada ibunya rindu terasa seperti luka yang perih, maka pada bapaknya, yang tersisa hanya kebencian yang membara pelan, dingin, dan menetap. Hari-hari berlalu dalam ritme yang sama. Bangun pagi. Sarapan dengan suasana dingin. Tatapan Anisa yang penuh penilaian. Langkah-langkah pelayan yang selalu menunduk. Dan Amara yang semakin mengecilkan diri. Ia belajar diam. Belajar menelan kata-kata. Belajar menundukkan pandangan. Belajar menyembunyikan air mata. Karena di rumah itu, suara Amara tidak pernah dianggap penting. Suatu sore, Anisa memanggilnya ke ruang tengah. “Duduk,” perintahnya singkat. Amara menuruti. “Kau harus ingat satu hal,” ujar Anisa tanpa menatapnya. “Selama kau tinggal di rumah ini, kau mengikuti aturanku. Tidak ada drama. Tidak ada tangisan. Dan jangan pernah berpikir kau setara denganku.” Setiap kata terasa seperti cambukan. “Saya mengerti,” jawab Amara pelan. “Bagus.” Anisa akhirnya menoleh. “Karena satu kesalahan kecil saja… hidupmu akan jauh lebih sulit.” Ancaman itu tidak perlu dijelaskan. Amara sudah cukup paham. Malamnya, Amara kembali ke kamar dengan langkah gontai. Ia menutup pintu, bersandar di sana, lalu perlahan meluncur duduk ke lantai. Tangisnya pecah. Bukan tangis keras. Bukan jeritan. Hanya isak teredam yang mengguncang bahunya. “Aku capek…” bisiknya. Capek menahan diri. Capek berpura-pura kuat. Capek hidup tanpa pilihan. Ia memeluk lututnya sendiri, seolah mencoba menggantikan pelukan yang seharusnya ia dapatkan dari keluarga. Di luar kamar, rumah itu tetap sunyi dan tertib. Tidak ada yang peduli pada gadis muda yang perlahan kehilangan dirinya sendiri. Namun di dalam hati Amara, sesuatu mulai berubah. Di antara rasa takut dan kepasrahan, ada satu hal yang mulai tumbuh— keinginan untuk bertahan. Bukan karena ia setuju. Bukan karena ia menerima. Melainkan karena ia ingin suatu hari nanti… bisa pulang dengan kepala tegak. Dan ketika hari itu tiba, ia tahu satu hal dengan pasti: Ia mungkin akan memaafkan ibunya. Ia akan selalu mencintai adik-adiknya. Tapi pada bapaknya— Amara tidak yakin masih ada tempat untuk pengampunan.Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang
Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan
PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny
Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya
Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex
Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan







