LOGINPERTEMUAN SETELAH SARAPAN.
Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembunyikannya. Namun dingin di sorot matanya tidak bisa disamarkan. “Selamat pagi,” ucap Anisa singkat. Para pelayan yang masih berada di sekitar meja langsung membungkuk sopan. “Selamat pagi, Bu.” Amara berdiri tergesa-gesa, hampir menjatuhkan kursinya sendiri. “P-pagi, Bu Anisa.” Anisa tidak langsung menjawab. Matanya menyapu Amara dari ujung kepala hingga kaki—perlahan, teliti, dan tanpa ekspresi ramah sedikit pun. Bukan tatapan menghina, bukan pula marah. Lebih seperti tatapan seseorang yang sedang mengukur luka di dadanya sendiri. Anisa kemudian duduk di kursi utama, tepat di sisi kosong yang biasanya ditempati Alex. “Duduklah,” katanya datar. Amara kembali duduk dengan canggung. Jari-jarinya meremas ujung gamis tipis yang dikenakannya. Ia bisa merasakan tatapan para pelayan—tidak berani terang-terangan menatap, tapi jelas memperhatikan dari sudut mata. Anisa mengambil cangkir teh di depannya, menyeruput sedikit dengan gerakan anggun. Ia sama sekali tidak menyentuh Amara dengan pandangan lagi, seolah gadis itu tidak ada. Hening. Hening yang menyesakkan. Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar dari arah pintu samping. Alex muncul. Pria itu mengenakan kemeja abu-abu gelap, lengan digulung rapi, wajahnya tegas seperti biasa. Begitu melihat Anisa, rautnya sedikit melunak. “Nis,” panggil Alex. Anisa menoleh dan—untuk pertama kalinya pagi itu—tersenyum. Senyum yang hangat. Senyum yang tidak pernah Amara terima. “Kamu sudah selesai urusan kantor?” tanya Anisa lembut. Alex mengangguk. “Aku hanya sebentar. Mau sarapan.” Anisa berdiri, menghampiri Alex tanpa ragu. Di depan Amara, di depan para pelayan, Anisa merapikan kerah kemeja suaminya dengan gestur penuh kepemilikan. “Kamu selalu lupa merapikan ini,” ucap Anisa sambil tersenyum kecil. Alex tidak menolak. Bahkan tangannya terangkat, menyentuh pinggang Anisa dengan natural. Amara menunduk semakin dalam. Ada sesuatu yang menekan dadanya dengan keras. Bukan cemburu—ia tahu dirinya tidak punya hak. Tapi rasa sadar akan posisi… itu jauh lebih menyakitkan. Anisa kemudian duduk kembali, Alex di sampingnya. Anisa menyendokkan makanan ke piring Alex dengan tangannya sendiri. “Kamu harus makan,” katanya manis. “Kamu terlalu sering melewatkan sarapan.” “Terima kasih,” jawab Alex singkat. Amara memejamkan mata sejenak. Pahit. Sarapan pagi terasa pahit di lidahnya. Ia memaksa dirinya menelan suapan kecil. Tapi tenggorokannya terasa sempit, seolah menolak menerima apa pun. Anisa melirik sekilas ke arah Amara. “Bagaimana sarapannya?” tanya Anisa, nada suaranya terdengar biasa… terlalu biasa. “Ba-baik, Bu,” jawab Amara lirih. Anisa mengangguk kecil. “Syukurlah.” Kemudian, seolah baru teringat sesuatu, Anisa menoleh ke arah Alex. “Oh ya, kamu belum menjelaskan pada staf, kan?” Alex berhenti mengunyah. “Tentang apa?” “Tentang Amara.” Kalimat itu membuat Amara menegang. Alex meletakkan sendoknya. Ia menatap sekeliling ruangan—para pelayan yang masih ada, kepala pelayan yang berdiri sedikit menjauh, dan Amara yang duduk dengan kepala tertunduk. Alex berdiri. “Semuanya, mohon perhatian sebentar.” Para pelayan langsung menghentikan aktivitas mereka. Beberapa berdiri tegak, beberapa menunduk hormat. Alex menatap Amara sejenak—tatapan yang sulit dibaca—lalu kembali menghadap para pelayan. “Mulai hari ini,” ucap Alex tegas, “Amara adalah bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menggema di ruang makan. Tidak ada reaksi spontan. Tidak ada gumaman. Tidak ada pertanyaan. Para pelayan hanya diam. Kepala pelayan, seorang wanita bernama mbok Mun, menunduk lebih dalam dari yang lain. Ia tahu. Ia sudah lama bekerja di rumah ini. Ia tahu perjanjian itu bukan sekadar formalitas biasa. Namun sebagai kepala pelayan, ia juga tahu satu hal: diam adalah bentuk kesetiaan paling aman. Alex melanjutkan, “Perlakukan dia dengan hormat. Tidak ada bisik-bisik. Tidak ada sikap merendahkan. Semua kebutuhannya akan dipenuhi sesuai aturan rumah.” “Baik, Tuan,” jawab para pelayan serempak. Anisa duduk tenang, wajahnya tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tetapi tangannya—yang berada di atas meja—perlahan mengepal. Amara merasa kepalanya semakin berat. Ia ingin berkata sesuatu. Ingin menolak. Ingin menghilang. Namun yang keluar hanya suara napas yang bergetar. Alex menoleh ke arah Amara. “Amara.” Gadis itu tersentak. “Y-ya, Tuan?” “Kamu tidak perlu canggung. Anggap rumah ini sebagai tempat tinggalmu.” Amara menelan ludah. “Baik, Tuan.” Anisa tiba-tiba berdiri. “Maaf,” katanya sambil tersenyum tipis. “Aku ada janji pagi ini.” Ia berjalan mendekati Alex, membenarkan posisi dasinya dengan lembut. “Jangan terlalu memforsir diri.” Alex mengangguk. “Hati-hati.” Anisa kemudian melirik Amara—tatapan itu dingin, terkontrol, dan penuh jarak. “Semoga kamu cepat beradaptasi,” ucapnya singkat. Amara berdiri dan menunduk sopan. “Terima kasih, Bu.” Anisa pergi tanpa menoleh lagi. Begitu langkahnya menghilang, udara di ruang makan terasa berubah. Tidak lebih hangat—justru lebih berat. Alex duduk kembali, melanjutkan sarapannya seolah tidak ada yang terjadi. Amara masih berdiri, ragu apakah ia boleh duduk lagi atau tidak. “Kamu boleh duduk,” kata Alex tanpa menoleh. Amara kembali duduk perlahan. Namun selera makannya telah hilang sepenuhnya. Alex melirik piring Amara yang hampir tidak tersentuh. “Kamu tidak makan?” “Sa-saya sudah kenyang,” jawab Amara, meski jelas bohong. Alex tidak memaksa. Beberapa pelayan mulai berpencar kembali ke tugas masing-masing. Namun bisikan tetap tertahan di tenggorokan mereka. Semua tahu ada sesuatu yang tidak biasa—dan semua sepakat untuk tidak mengatakannya. Pak Surya melangkah mendekat, membungkuk hormat. “Tuan, apakah ada instruksi tambahan?” Alex menggeleng. “Tidak. Pastikan Amara dibantu beradaptasi.” “Baik, Tuan.” Amara menunduk lebih dalam. Saat akhirnya ia berdiri dan hendak pergi, Pak Surya sempat meliriknya sekilas—bukan dengan tatapan merendahkan, melainkan penuh iba. Amara menangkap tatapan itu. Dan untuk pertama kalinya pagi itu… ia hampir menangis. ☆☆☆☆☆☆☆☆ PERINTAH PAGI ITU Pagi belum sepenuhnya hangat ketika Alex berdiri dari kursinya. Sisa sarapan di piringnya masih utuh setengah, namun wajahnya sudah kembali pada ekspresi dingin khas seorang pemimpin yang selalu dikejar waktu. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor Pak Rudi, sopir pribadi Alex, sambil berdiri tegap di dekat pintu. Alex mengangguk singkat. Ia merapikan jam tangan di pergelangan tangannya, lalu melangkah menuju pintu tanpa menoleh ke belakang. Para pelayan kembali membungkuk hormat, termasuk Amara yang berdiri kaku di dekat meja makan. Namun langkah Alex mendadak terhenti. Seolah teringat sesuatu, pria itu berhenti tepat di ambang pintu, lalu berbalik. Sorot matanya langsung tertuju pada Amara. “Amara.” Gadis itu tersentak. “Y-ya, Tuan?” Alex menatapnya sebentar, seperti sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Lalu dengan suara datar namun tegas, ia berkata, “Ikut dengan Pak Rudi dan Sari.” Nada perintah itu tidak memberi ruang untuk bertanya. Amara membeku. “I-ikut… ke mana, Tuan?” tanyanya lirih, hampir tidak terdengar. Alex tidak menjawab pertanyaannya secara langsung. “Kamu perlu beberapa hal. Jangan membantah.” Selesai. Tanpa penjelasan. Tanpa pilihan. Alex kembali melangkah keluar rumah, diikuti Pak Rudi yang sempat menoleh singkat ke arah Amara. Tatapan itu netral, profesional—tatapan seseorang yang terbiasa menjalankan perintah tanpa bertanya. Amara berdiri terpaku. Sari, seorang ART muda yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya, melangkah mendekat. Wajah Sari ramah, tapi matanya menyiratkan kehati-hatian. “Non Amara,” panggilnya lembut. “Mari ikut saya.” Amara menelan ludah. “Sekarang?” “Iya, Non.” Tanpa sempat berpikir panjang, Amara mengangguk pelan. Ia mengambil tas kecil yang diberikan staf sebelumnya—tas yang terasa terlalu mewah untuk sekadar memuat barang-barang pribadinya. Langkahnya pelan ketika mengikuti Sari keluar rumah. Begitu melewati pintu besar itu, sinar matahari pagi menyilaukan mata Amara. Halaman luas rumah megah itu kembali menyadarkannya pada kenyataan bahwa ia bukan lagi gadis kampung yang bebas menentukan langkah. Mobil hitam sudah menunggu. Pak Rudi berdiri di samping pintu belakang, membukakannya dengan sopan. “Silakan, Non.” Amara masuk tanpa suara. Mobil melaju meninggalkan gerbang rumah itu, gerbang yang menutup perlahan seperti mengurung Amara dari dunia lamanya. Perjalanan berlangsung sunyi. Pak Rusdi fokus menyetir. Sari duduk di samping Amara, sesekali melirik dengan senyum kecil yang berusaha menenangkan. Namun Amara hanya menatap ke luar jendela, memperhatikan bangunan-bangunan tinggi yang berlalu begitu saja. Ia ingin bertanya. Ingin tahu ke mana mereka membawanya. Tapi lidahnya kelu. Ia sudah belajar sejak kemarin: bertanya terlalu banyak hanya akan membuatnya terlihat merepotkan. Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan, mobil memasuki kawasan pertokoan elit. Jalanannya rapi, bersih, dengan deretan toko berfasad kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Mobil berhenti di depan sebuah butik besar. Nama butik itu tertera dengan huruf emas, elegan dan asing bagi Amara. Ia menelan ludah. “Kita… ke sini?” tanyanya ragu. “Iya, Non,” jawab Sari lembut. “Tuan Alex yang memerintahkan.” Amara tidak bertanya lagi. Pak Rusdi turun lebih dulu, membukakan pintu. Begitu Amara menginjakkan kaki di trotoar butik itu, rasa canggung langsung menyerangnya. Orang-orang berpakaian rapi berlalu-lalang, beberapa melirik ke arahnya—bukan dengan hinaan, tapi dengan rasa ingin tahu. Pintu kaca butik terbuka otomatis. Begitu masuk, aroma parfum mahal menyambut Amara. Ruangan luas itu dipenuhi rak pakaian tertata rapi, manekin dengan gaun indah, serta pencahayaan lembut yang membuat segalanya terlihat sempurna. Seorang perempuan berpenampilan profesional mendekat dengan senyum ramah. “Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?” Pak Rusdi langsung berbicara, “Kami punya janji. Atas nama Tuan Alex Wiranata Kusuma.” Wajah perempuan itu langsung berubah lebih hormat. “Oh, silakan. Kami sudah diberi tahu.” Ia menoleh ke arah Amara, menatap dari kepala hingga kaki dengan cepat namun sopan. “Silakan ikut saya, Non.” Amara kembali terdiam. Ia mengikuti mereka menyusuri butik, masuk ke ruang khusus yang lebih privat. Di dalamnya terdapat sofa empuk, cermin besar, dan deretan gaun yang terlihat seperti mimpi—indah, mahal, dan jelas bukan untuk orang sepertinya. “Ini…” Amara berbisik pelan, “untuk apa?” Sari mendekat. “Untuk Non pakai.” Amara tercekat. “Tapi… saya sudah punya baju.” Sari tersenyum kecil, ada rasa iba di sana. “Non, maaf… tapi baju Non yang sekarang tidak sesuai dengan standar rumah Tuan.” Kalimat itu sederhana. Namun menghantam hati Amara dengan keras. Tidak sesuai standar. Berarti dirinya—apa adanya—juga tidak sesuai. Perempuan butik itu mulai menunjukkan beberapa gaun. “Kami akan menyesuaikan dengan ukuran dan kepribadian Non.” “Kepribadian?” Amara mengulang lirih. “Iya. Kami ingin Non tetap nyaman.” Nyatanya, Amara tidak merasa nyaman sama sekali. Satu per satu gaun disodorkan padanya. Warnanya lembut, bahannya halus, potongannya anggun. Semua tampak terlalu indah untuk disentuh. “Silakan coba ini, Non,” kata Sari sambil menyerahkan sebuah gaun berwarna biru muda. Amara memegangnya dengan tangan gemetar. “Harganya… pasti mahal.” Sari tersenyum tipis. “Tidak perlu dipikirkan, Non. Semua sudah diatur.” Amara masuk ke ruang ganti. Saat ia bercermin dengan gaun baru itu, ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gadis di cermin tampak berbeda—lebih dewasa, lebih rapi, lebih… asing. “Apakah ini… aku?” gumamnya. Ia keluar dari ruang ganti dengan langkah ragu. Semua mata langsung tertuju padanya. “Cantik sekali,” ujar perempuan butik itu tulus. Sari mengangguk setuju. “Cocok, Non.” Amara menunduk, pipinya memanas. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Satu per satu gaun lain dicoba. Sepatu, tas, bahkan pakaian rumah. Semua dipilih tanpa Amara benar-benar diminta pendapatnya. Ia hanya mengangguk. Diam. Menerima. Dalam hatinya, Amara berteriak. Kenapa semua orang mengatur hidupku? Kenapa aku tidak pernah diberi kesempatan memilih? Namun mulutnya tetap terkunci. Setelah semuanya selesai, Pak Rusdi menyelesaikan pembayaran tanpa Amara tahu berapa nominalnya. Tas-tas belanja berjejer rapi. Saat keluar dari butik, Amara menoleh sekali lagi ke dalam. Butik itu bukan sekadar tempat belanja. Itu adalah gerbang yang menandai perubahan hidupnya—perubahan yang tidak ia minta. Di dalam mobil, Amara duduk sambil memeluk tas kecilnya. Tangannya gemetar. “Sari…” panggilnya pelan. “Iya, Non?” “Apakah… Tuan Alex selalu seperti ini? Memberi perintah tanpa menjelaskan?” Sari terdiam sejenak sebelum menjawab hati-hati. “Tuan Alex orang yang terbiasa mengatur segalanya. Dia percaya… dengan begitu semua akan berjalan sesuai rencana.” Amara tersenyum pahit. “Lalu bagaimana dengan orang-orang di dalam rencananya?” Sari tidak menjawab. Karena ia tahu— di rumah itu, tidak semua pertanyaan memiliki jawaban. Mobil kembali melaju, meninggalkan butik mewah itu. Dan Amara bersandar ke kursi, menatap langit melalui kaca jendela, menyadari satu hal dengan sangat jelas: Ia sedang dibentuk. Diubah. Disiapkan. Bukan sebagai dirinya sendiri—melainkan sebagai peran yang harus ia jalani.Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang
Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan
PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny
Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya
Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex
Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan







