LOGINSuasana di ruang tengah rumah Narine sore itu bener-bener awkward. Suara TV yang lagi nayangin re-run sitkom sama sekali nggak bisa ngeredam hawa dingin yang memancar dari Rajan. Narine yang lagi asyik scrolling TikTok di sofa sebelah kakaknya itu sebenernya udah ngerasa ngga nyaman lewat tatapan maut Rajan sejak sepuluh menit yang lalu."Nar, lo denger nggak sih omongan gue selama ini?" Rajan akhirnya buka suara, nadanya datar tapi nusuk.Narine nggak nengok. Jempolnya masih sibuk swipe up. "Denger, Kak. Lo bilang Arkana itu red flag, blablabla. Hafal banget gue."Rajan langsung matiin TV pakai remote dengan gerakan kasar. "Gue serius. Arkana itu bukan tipe cowok yang bener buat lo. Dia itu troublemaker, Nar. Lo kan udah tau sama masalalu dia? Semuanya lo udah tau, tapi gue liat-liat lo masih tetep berhubungan sama tu laki. Lo itu adek gue, gue nggak mau lo kena imbasnya cuma gara-gara lo ngerasa dia ganteng atau tipe lo atau apalah terserah."Narine naruh HP-nya di meja dengan bunyi
Pagi itu, kediaman keluarga Arkana udah kayak kubura alias sepi banget gak ada yang ngobrol. Arkana baru aja turun ke meja makan dengan muka yang lebih kusut daripada cucian kotor seminggu. Rambutnya berantakan, matanya merah karena kurang tidur efek semaleman kepikiran gimana caranya biar bisa baikan lagi sama bebek kesayangan nya. Mamahnya, lagi asyik nyeruput green juice sambil baca majalah fashion di iPad-nya. Begitu liat Arkana duduk dengan aura mendung, beliau cuma senyum tipis yang bikin Arkana makin pengen teriak."Mah, stop it," geram Arkana tanpa pembukaan.Bu Rosa naikin alisnya, "Apalagi sih, Ar? Pagi-pagi udah bad mood gitu. Gak ganteng lagi nanti.""Gak usah pura-pura lupa. Maksud Mamah apa bilang ke Narine kalau aku cocok sama Irene? Mah, Irene itu... dia itu nightmare! Mamah gak inget emang gimana dia ngehancurin persahabatan aku sama Rajan dulu!! Dia itu cewek paling gak ada sopan-sopannya dan childish yang pernah aku kenal!" Arkana numpahin sereal ke mangkoknya deng
Pintu ruang ganti itu terbanting keras hingga engselnya mengerang, menimbulkan suara dentum yang mengguncang seisi ruangan. Maya masuk dengan aura yang sanggup membekukan darah siapa pun yang melihatnya. Wajahnya merah padam, matanya berkilat-kilat oleh amarah murni yang sudah tidak bisa lagi ia bendung. Kehadiran Irene di acara tadi benar-benar menjadi pemicu ledakan besar dalam dirinya, terutama setelah melihat bagaimana jalang itu memperlakukan Narine."Si lampir Irene itu bener-bener udah bosen hidup! Bener-bener minta dicabut nyawanya!" Maya berteriak histeris, suaranya menggema tajam di antara dinding-dinding kaca. "Bisa-bisanya dia nyindir-nyindir dan ngancem lo di depan semua orang, Narine?! Orang stress tuh?! Hah!! Dia tu gak punya malu banget ya anjir, dan sekarang dia sekarang merasa punya hak untuk ngomong seenaknya sama lo gitu setelah apa yang dia lakuin di masa lalu sama persahabatan kakak lo? Bajingan benar-benar nggak tahu diri!"Maya menendang sebuah kursi di depanny
Hujan di luar gedung pencakar langit itu belum sepenuhnya reda, menyisakan kabut tipis yang menyelimuti Jakarta. Di dalam ruangan kerjanya yang luas, Narine duduk mematung di balik meja komputer yang masih menyala. Matanya kosong menatap deretan angka di layar yang tidak lagi bisa ia cerna. Sejak kejadian di Hotel Grand Mahakam semalam, fokusnya menguap. Setiap kali ia mencoba bekerja, bayangan Arkana yang menggenggam tangan Irene kembali muncul, menusuk ulu hatinya dengan rasa perih yang sama.Ponsel di atas meja bergetar lagi. Getaran itu terasa konsisten, menuntut perhatian. Narine melihat layar itu sekilas. Panggilan ke-15 dari Arkana. Dengan jari yang kaku, Narine akhirnya menggeser ikon hijau itu. Ia tidak ingin berbicara, namun ia merasa jika ia tidak mengangkatnya sekarang, Arkana mungkin akan terus menerornya di tengah kondisi mentalnya yang sudah di ujung tanduk.Narine menempelkan ponsel itu ke telinganya. Ia diam. Benar-benar diam."Rine? Narine, akhirnya kamu angkat," sua
Malam itu, Jakarta diguyur hujan tipis yang membuat aspal jalanan tampak mengkilap seperti kulit ular. Di dalam mobil SUV hitamnya, Rajan menggenggam kemudi dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di sampingnya, Narine duduk dengan wajah cerah, sesekali merapikan dress bunga-bunga sederhananya melalui cermin kecil."Kak, beneran nggak apa-apa aku ikut?" tanya Narine lembut. "Katanya Kakak ada pertemuan penting sama kolega dari Singapura di hotel ini?"Rajan menelan ludah yang terasa menyumbat tenggorokannya. Kebohongan itu terasa seperti empedu di lidahnya. "Iya, Rin. Mereka mau kenal keluarga Kakak juga. Sekalian kita makan malam bareng-bareng, kan udah lama kita nggak keluar berdua. Sibuk mulu."Narine tersenyum manis, senyum yang membuat hati Rajan mencelos. "Oke. Oh iya, tadi Arkana sempet telepon, dia bilang mungkin malam ini dia bakal sibuk urusan kantor, jadi nggak bisa mampir ke rumah."Rajan hanya mendehem kaku. Sibuk urusan kantor, batinnya pahit. Arkana memang a
Lampu neon redup dari papan nama bar tua di sudut Jakarta Selatan itu berkedip-kedip ritmis, seolah sedang sekarat. Tempat ini sengaja dipilih Irene sebuah bar bawah tanah yang dulunya adalah saksi bisu kejayaan persahabatan Arkana dan Rajan, sebelum semuanya hancur berkeping-keping karena kehadirannya.Irene duduk di sudut paling gelap, menyesap red wine dengan gerakan yang sangat tenang. Ia memakai terusan hitam ketat yang ditutup dengan trench coat cokelat susu. Sederhana, tapi mematikan. Matanya terus tertuju pada pintu masuk yang berderit setiap kali ada pengunjung datang.Lalu, sosok itu muncul.Rajan berjalan dengan langkah lebar, bahunya tegang, dan matanya menyapu ruangan dengan sorot tajam yang siap meledak. Ia terlihat lebih dewasa, lebih "karismatik" dengan setelan jas tanpa dasi, namun aura amarah yang dulu sering Irene lihat masih ada di sana.Tanpa permisi, Rajan menarik kursi di hadapan Irene. Ia tidak memesan minum. Ia hanya menatap Irene seolah perempuan itu adalah vi







