LOGINAku baru saja keluar dari kamar mandi ketika suara notifikasi ponselku bergetar dua kali berturut-turut. Malam sudah lewat pukul sembilan, dan aku sama sekali tidak mengharapkan siapa pun menghubungiku, kecuali Maya yang biasanya spam voice note kalau lagi gosip gila. Tapi bukan nama Maya yang muncul di layar ponselku. Bukan juga pesan kerjaan dari kantor.
Arkana Rivard
Turun. Saya di depan.
Aku menatap layar ponselku selama beberapa detik, antara percaya dan tidak. Apa urusan CEO Aude’C Group nongol di depan apartemenku malam-malam begini? Setelah hari yang kacau di kantor karena gosip tolol soal aku jadi selingkuhan sepupuku sendiri aku pikir setidaknya malam ini aku bisa tenang. Ternyata salah. Sangat salah.
Aku membalas.
Loh ngapain pak?
Balasannya masuk dalam hitungan detik.
Saya Nggak suka ulang dua kali, Narine. Turun.
Aku memicingkan mata. Intens seperti biasa. Mengatur seperti biasa. Otoritatif seperti biasa. Dan entah kenapa aku turun juga. Sial.
Aku mengambil jaket denim dan sling bag kecil, lalu keluar dari unit apartemenku di lantai 18. Lift terasa lama seperti sengaja mempermainkanku. Begitu pintu lobby terbuka, mataku langsung menangkap sosok berdiri bersandar pada mobil hitam metalik di area drop off. Kemeja hitam, coat abu gelap, tangan satu masuk ke saku celana, tatapannya menusuk.
Arkana.
Dia menoleh pelan begitu melihatku. Tatapan pria itu seperti biasa membaca, menilai, menyingkap sesuatu dari balik wajahku tanpa perlu banyak kata.
“Turun,” katanya singkat. Cuek. Tanpa salam, tanpa basa-basi, tanpa menjelaskan apa-apa.
Aku langsung menarik tangan Arkana untuk masuk kedalam mobil, karena Maya sedang ada di dalam dan aku berpura-pura membuang sampah.
Kalau ketauan kan berabe.
“Jadi bapak ada keperluan apa malem-malem datang kesini, di dalem ada Maya” aku menyilangkan tangan.
“Saya cuma mau ngasih tau kalau besok saya akan jemput kamu, kita berangkat bareng ke kantor" Dia memposisikan badannya kehadapanku dan nggak tau kenapa ko degdegan juga ya.
“Kalau saya nggak mau?”
Arkana tidak menjawab. Dia hanya menatapku beberapa detik yang entah bagaimana cukup membuat kakiku bergerak sendiri masuk ke dalam mobil. Membuatku terasa kalah dalam diam. Lagi.
Dia dengan perlahan mendekatkan diri pada tubuhku, dan membenarkan helaian rambut dan menghalangi wajah ku.
“Kita partner mulai besok?” bisiknya sambil menyeringai.
"Saya udah gak sabar melihat kinerja partner saya ini, good luck" lanjutnya
DEG
Meskipun aku keder juga tapi kita harus tetep kelihatan berani, aku memberanikan diri membalas tatapan nya. Aku membelai wajah Arkana dengan pelan “Let's see, aku juga gak sabar merasakan seberapa menyenangkan nya ini .”
Arkana hanya tersenyum melihat tingkah ku yang akhhh kayak orang gila.
“Saya pulang dulu kalau gitu, mau nyicil dulu dari sekarang?”
"Nyicil?" tanyaku bingung.
"Kisses".
Aku memundurkan kepala dan langsung keluar dari mobil, bayar hutang kali ah nyicil segala.
Aku melihat dia yang tertawa lepas untuk pertama kalinya, Arkana memang setampan dan sematang itu.
Suara mesin mobil itu sudah menjauh meninggalkan aku yang masih terdiam dan memikirkan atas apa yang aku lakukan tadi.
"Sialan Narine lo tadi kenapa malah nyentuh muka Pak Arkana!!!"
****
POV Arkana
Basement kantor itu selalu punya bau oli dan karet ban yang membuat orang biasa merasa kecil. Aku memilih tempat ini bukan karena romantis justru sebaliknya. Di ruang yang remang dan sepi, segala tindakan terasa lebih nyata karena tidak ada saksi selain dinding beton dan kamera keamanan yang mungkin lagi tersambung ke server internal. Aku butuh bukti visual. Aku butuh narasi yang bungkam gosip sebelum kursi Kabinet gosip sempat mengunyahnya lebih jauh.
Narine berdiri di bawah lampu yang redup, tampak ringkih di balik jaket denimnya, tapi matanya tetap berapi. Itu yang paling aku suka kontradiksi antara tampilan rapuh dan sikap yang tak mudah ditaklukkan. Dia menolak ketika aku memintanya turun tadi, tapi datang juga. Itu artinya dia juga membaca permainan atau mungkin dia juga ingin tahu seberapa jauh aku akan pergi.
“Sebenernya rencana bapak apa?” suaranya menahan. Ada nada menantang di balik bisik itu.
"Jangan bapak dong emang saya bapak kamu, kan kita partner AKU KAMU" tekan ku.
“Biar mereka lihat,” jawabku. Aku membiarkan mobil tetap menyala, lalu keluar, langkahku pasti di lantai beton. Aku berjalan mendekat, mengambil jarak aman. “Kita bukan mau pamer mesra untuk orang lain. Kita mau pura-pura pacaran kan, kita mulai dari sini. Cukup jelas buat menutup mulut orang-orang bodoh.”
“Kita akan tampak seperti benar-benar dekat. Cukup dekat supaya satu foto di grup chat kantor jadi cukup untuk menutup spekulasi. Inget, kita tidak butuh cinta di foto itu. Kita butuh kepastian di kepala mereka.”
Tangannya meremas tepi jaket. “Kalau orang-orang nggak percaya?”
“Akan ada yang percaya,” aku bilang. “Dan yang nggak percaya? Mereka akan bingung, dan gosip kehilangan nyawanya.”
Aku melangkah pelan menuju Narine. Aroma parfum ringan menyergap manis yang mampu membuat siapa saja yang menghirup tersenyum. Aku tak menyentuhnya dulu. Hanya berdiri cukup dekat supaya napas kami hampir berbaur.
“Kamu siap?” tanyaku.
****
POV Narine
Adrenalin menari di nadiku, bukan cuma karena ide Arkana yang gila itu, tapi karena sensasi di tubuhku setiap kali dia mendekat sebuah magnetisme yang tak kutahu harus kutaklukkan atau kuikuti. Aku menatap pria itu, membaca keinginannya, dan sadar bahwa permainan ini juga memberiku sesuatu kontrol, kebebasan untuk memilih kapan menyerah dan kapan menahan.
“Siap,” kataku, suaraku lebih pelan dari yang kutujukan ke diriku sendiri.
Dia menggandeng lenganku dengan lembut, tapi pasti. Di bawah lampu neon yang berkedip, dia menekan punggung tangannya di pinggangku, isyarat yang cukup untuk menunjukkan kepemilikan, tapi tidak melewati batas. Ini terasa aneh dan menyenangkan sekaligus. Aku merasa seperti sedang memainkan peran dalam sesuatu yang dirancang oleh orang dewasa berbahaya: sensual tapi terukur.
Tepat saat itu, langkah kaki terdengar di kejauhan suara sepatu menapak pada beton. Kami berhenti. Jantungku berdetak cepat bukan hanya karena Arkana, tetapi karena ketegangan bahwa ini akan menjadi gosip panas lagi.
Seorang petugas keamanan lewat, menengok. Ia tak melihat kami langsung, tapi ponselnya menyala, kamera kecil di pojok. Dalam hitungan detik, dua sorot lampu dari kamera ponsel menangkap siluet kami Arkana membelai rambutku, aku menoleh, bibir kami hampir bersentuhan. Itu cukup.
Petugas itu melambaikan tangan, sekilas berbisik ke walkie-talkie, dan melanjutkan jalannya. Namun ponsel di sakunya tetap menyala. Di dunia sekarang, satu foto yang tersimpan di ponsel seseorang bisa menjadi bukti yang menyebar lebih cepat dari isu.
Arkana menarikku lebih dekat, menyentuh pipiku dengan ujung ibu jarinya gesture kecil, namun publik. “Ingat aturannya,” gumamnya, hampir tak terdengar. “Kita percaya, kita tenang, kita lakukan ini bukan untuk show, tapi untuk menutup mulut.”
Aku menutup mata sebentar, meresapi sentuhan itu ikut memainkan peran. Di dalam, aku bertanya-tanya siapa yang akan memegang kendali ketika foto itu menyebar, dan apakah permainan ini benar-benar akan membunuh gosip, atau justru menyalakannya lebih terang.
Untuk beberapa detik aku lupa bernapas. Arkana terlalu dekat. Terlalu intens. Ini bukan lagi sekadar aksi untuk kameranya satpam tadi. Ini terasa seperti sesuatu yang baru saja bergerak di antara kami.
“Ini belum selesai,” katanya.
Aku menatapnya, mencoba memastikan apakah dia serius atau hanya manipulatif.
'Mati lo Narine, pokoknya harus nyiapin telinga deh abis ini'
Dia tidak melepaskan genggamannya di pinggangku, malah semakin mengeratkan pelukannya “Ayo kita masuk, angkat kepala kamu dan jangan sampe gugup alami aja biar orang kantor percaya.”
Aku mengikuti instruksi yang Arkana katakan, berjalan tegak dan percaya diri.
Happy Reading guys❤️❤️
Arkana menyetir dengan satu tangan di setir, satu lagi bertumpu santai di konsol tengah. Lampu-lampu jalan Jakarta berpendar di kaca mobil, memantul seperti garis-garis cahaya yang bergerak lambat. Narine duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit menyandar ke pintu, menatap keluar jendela tanpa benar-benar fokus pada apa pun.Hening terlalu lama tidak seperti biasanya. Di saat-saat seperti ini ocehan dari bebek pribadinya itu sangat Arkana rindukan.“Irene itu…” Arkana akhirnya membuka suara, nadanya datar tapi jelas ada sesuatu yang ditahan. “Dia mantan pacar Rajan, dan orang yang sama yang ngebuat aku sama Rajan salah paham.”Narine menoleh. “Hmmm,” jawabnya pelan. “Dia cantik ya pantes kamu sama kak Rajan sampe musuhan gitu, apalagi kayaknya dia deket banget sama keluarga kamu.”Arkana menghembuskan napas pendek, seolah sudah menduga reaksi itu. “Papa mama sama orang tuanya Irene temenan dari dulu. Partner bisnis, sahabat, papa ku udah temenan dari SMA sama papinya Irene.” Rahangn
Setelah kembali dari kantin menyelesaikan makan siang nya, Narine menarik kursinya dengan keras sehingga suara nya memekakkan telinga. “Kamu tuh bener-bener ya, dikantin tadi banyak yang ngomongin kita.” omelnya sambil menyalakan laptop.Arkana menoleh. “Ya gapapa bek, biar mereka tau gimana ugal-ugalan nya kamu sama aku wkwk”“Mereka gak tau aja gimana rewelnya kamu.”“Eh itu apa?" Narine terdistrak oleh sesuatu yang ada di celana Arkana.Arkana menunduk, melirik dirinya sendiri. “Oh ini, tadi ada hewan terus nempel disini jadi kotor gini.”Arkana tersenyum kecil. “Kamu daritadi ternyata merhatiin nya kearah sini. Mau yaaaa, ngakuu.”Narine langsung menoleh tajam. “Aku nggak merhatiin.”“Oh?” Arkana menyandarkan punggung. “Kalo kamu mau bilang aja si sayang, kayak sama siapa aja.”“Orang gila!”“Gila akan cintamu.”“Sumpah ya, konyol banget kamu tuh belajar dari siapa si.” ujar Narine sambil senyum geli, siapa sangka bosnya yang galak itu kini sering menggombal yang alay pula.“Lihat
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin







